Oleh Emanuel Pratalaharja
Siswa desain Indonesia di luar negeri dianggap paling terampil menggunakan software dan hardware desain. Benarkah? Mitos ini saya dengar sewaktu saya sedang studi desain di Sidney, Australia. Sebetulnya rahasianya ada di penggunaan software bajakan yang murah dan dengan mudah dapat diakses oleh para pelajar kita, sehingga mereka sudah terbiasa menggunakannya jauh sebelum perkuliahan dimulai. Sementara pelajar lokal menghadapi kendala membeli dan mengakses software desain legal yang mahal. Di satu sisi hal ini melanggar hukum, tapi di sisi lain ada berkah terselubung yang menguntungkan para siswa yang dari Indonesia. Saya mencoba meninjau bagaimana kita dapat menyikapi hal ini, terutama dari bidang akademis.
Latar Belakang
Dalam industri seni dan desain, penggunaan software sebagai alat bantu pertama kali dipopulerkan oleh dunia cetak, tipografi, illustrasi, dan seni grafis. Setelah masa kejayaan Internet tiba, software pun berkembang fungsinya sehingga mampu digunakan untuk membuat website dan animasi yang interaktif. Bisa dikatakan perkembangan teknologi informasi memicu evolusi dalam industri desain, meliputi otomatisasi dan digitalisasi kreasi yang membuat pekerjaan desain semakin efisien, cepat, dengan hasil yang prima, sesuai dengan tuntutan pasar. Kendala yang pasti dialami bila ingin memperoleh hasil yang prima ini adalah jumlah dana yang harus diinvestasikan dalam peralatan, termasuk software. Bermula dari kendala dana inilah pada umumnya pembajakan software bertumbuh kembang dengan subur.
Menurut survey yang diterbitkan oleh BSA (Business Software Alliance) di tahun 2009, secara garis besar hanya 5% pengguna software di Indonesia yang memiliki lisensi legal, sisanya menggunakan software tanpa lisensi legal, atau istilah populernya, ‘bajakan’. Pemilik lisensi ini biasanya terpusat pada pengguna korporasi, lalu di bidang edukasi, tapi hanya sangat sedikit di pengguna pribadi. Seperti sudah disebutkan di atas, krisis ekonomi berkepanjangan yang mendera negeri ini menjadi alasan utama pengggunaan software bajakan menjamur, disamping minimnya dukungan dan insentif dari produsen perangkat lunak itu sendiri ke konsumennya di Indonesia.
Industri software khususnya di desain, bukannya tidak merespon masalah pembajakan, terutama yang bermuara pada tantangan ekonomi. Ada alternatif aplikasi desain grafis yang gratis dari komunitas Open Source untuk berbagai OS (Operating System), contohnya seperti aplikasi GIMP (format Raster), dan Inkspace (format Vector). Adapula aplikasi dengan harga lebih terjangkau seperti Photoshop Elements, Pixelmator, Lineform, dan masih banyak lagi. Walau sangat terjangkau dan cukup apik, aplikasi-aplikasi ini harus berjuang ekstra keras untuk merebut pasar dari para pemain lama (dan besar) industri software desain, terutama karena status mereka sebagai software “standar” di industri desain.
Kondisi di Indonesia
Saat ini mayoritas desainer di Indonesia biasa menggunakan aplikasi khusus desain seperti Adobe Creative Suite, CorelDraw, Quarkxpress, 3DMax, dan masih banyak lagi dimana aplikasi ini adalah jenis aplikasi berbayar dan memerlukan lisensi untuk menggunakannya. Di negara maju atau asal pencipta software tersebut, para pengguna software sudah terbiasa menggunakan versi yang berlisensi, dan memahami nilai dari lisensi yang mereka bayarkan.
Sebagai contoh, lisensi untuk aplikasi Adobe Creative Suite 5 Master Collection (koleksi dari 15 aplikasi desain) adalah $2599 untuk pengguna komersial atau $899 untuk pengajar dan siswa. Dengan membayar sejumlah itu mereka mendapatkan dukungan teknis dari penyedia software, baik call support maupun potongan harga untuk upgrade ke versi berikutnya, softwarenya dapat diupdate, serta akses ke fitur training mereka yang sekarang biasanya disediakan secara online. Sebagai perbandingan, versi ‘bajakan’ yang ada di pasaran biasanya menawarkan software desain dengan harga sekitar Rp. 50.000,- per keping DVD. Software ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa, hingga kadang malah menimbulkan masalah di komputer yang digunakan. Alternatifnya, bila memiliki ketrampilan dan kesabaran dalam menggunakan internet, software tersebut bisa langsung didapat dengan mengunduh menggunakan teknologi sharing berbasis peer-to-peer (contoh: torrent), direct download (contoh: rapidshare), dan lainnya.
Mudahnya akses ke software-software bajakan ini - di luar potensi masalah teknis yang bisa ditimbulan - berperan menciptakan percepatan penyebaran pengetahuan di bidang teknologi informasi, dalam hal ini teknologi di industri desain. Selama perjalanan saya mengajar dan memberi training, saya melihat banyak siswa yang terbantu dalam studinya karena mereka dengan “mudah” memiliki akses ke software desain terkini. Kata kuncinya ada di ‘kemudahan akses sarana belajar dan bekerja’. Ini mirip dengan pengalaman saya saat sedang belajar dan bekerja di Australia sekitar 13 tahun yang lalu.
Kita Selangkah Lebih Unggul
Di masa 90-an, bersama dengan belasan rekan dari Indonesia, saya mengambil studi desain di suatu sekolah desain di Sidney, Australia. Kami belajar bersama para pelajar lain yang kebanyakan berasal dari Australia, dan juga beberapa dari Asia, Eropa, dan Afrika Selatan. Sewaktu di benua kangguru itulah saya merasakan adanya sebuah mitos yang berkembang tentang para murid dan desainer dari Indonesia, yang intinya adalah murid-murid dari Indonesia pasti mampu menggunakan software desain apapun. Mitos ini sangat terasa saat sedang kuliah. Walau tidak sepenuhnya benar, tapi secara garis besar hal ini menunjukkan adanya pengakuan atas keunggulan dari para orang Indonesia dalam penguasaan teknologi informasi, dalam hal ini software desain grafis.
Yang membuat para siswa dari Indonesia ini terkesan selangkah lebih unggul sebetulnya hanya karena kebanyakan dari kami sudah menyempatkan diri untuk belajar memakai software-software desain yang akan digunakan saat kuliah nanti. Sebelum berangkat ke Australia, banyak yang mencari tahu apa peralatan (terutama hardware dan software desain) yang akan digunakan saat kuliah, lalu menyempatkan diri untuk berburu barang tersebut. Kemudahan mendapatkan software tersebut - walaupun bajakan – dan menyempatkan diri untuk mempelajari penggunaannya sebelum kuliah dimulai, adalah faktor utama percepatan ilmu teknologi informasi kami, dibanding dengan siswa dari negara lain. Setelah lulus dan mulai bekerja, nampak banyak desainer asal Indonesia lebih mudah beradaptasi dengan teknologi baru dibandingkan dengan desainer lokal.
Menilik ke pengalaman di masa itu dan melihat relevansinya di masa sekarang, saya memperhatikan kemudahan mendapatkan software desain dalam bentuk ilegal dan perannya dalam membentuk ketrampilan para desainer Indonesia, terutama di bidang digital art. Sebagai contoh, bila anda termasuk yang sering aktif di situs DeviantArt (http://www.deviantart.com/), di situ dengan mudah ditemukan banyak artis dan pelajar kita yang sudah memiliki kemampuan luar biasa dalam menggunakan software tertentu untuk menciptakan karya seni. Kalau kita ‘iseng’ memasukkan kata ‘Indonesia’ di mesin pencari DeviantArt, kita akan menemukan sekitar 72000 karya seni bertema Indonesia, yang kemungkinan besar juga dibuat oleh orang-orang kita.
Disyukuri atau Disesalkan?
Ada 2 hal yang patut dicermati di sini. Pertama, kita bangga karya seni rekan-rekan dan para murid sudah diakui oleh khalayak internasional, terbukti bahwa mereka mampu menggunakan software desain seperti Photohoshop atau Poser untuk menciptakan karya seni yang indah dan (biasanya) bermanfaat. Kedua, kita juga patut prihatin, karena bisa dipastikan dari para artis ini hanya sedikit yang menggunakan software desain berlisensi legal. Hal ini berpengaruh pada pemahaman mereka tentang bagaimana semestinya menetapkan harga dari sebuah karya seni. Harga dari lisensi software yang mereka gunakan itu merupakan salah satu elemen pokok harga dari karya seni yang mereka ciptakan, karena tanpa itu perhitungan harga dari karya seni mereka cenderung ‘emosional’ dan tidak proporsional dengan nilai usaha yang sudah dilakukan untuk membuatnya.
Sebagai desainer dan juga pengajar, saya memiliki harapan akan tiba masanya para siswa saya bisa menjadi desainer yang memiliki ketrampilan dan integritas dalam berkarya. Saya bersyukur karena banyak murid saya yang memiliki talenta dan kemauan luar biasa untuk belajar desain, dan terbantu oleh mudahnya akses untuk mendapatkan dan mempelajari software tersebut. Agak disesalkan kalau mendengar mereka bangga mengerjakan karyanya dengan menggunakan software bajakan, walau memang itulah keadaan sekarang ini. Dari sisi saya, menyadari kalau siswa (terkadang) masih melihat pengajarnya sebagai panutan, saya juga mulai mencoba untuk selalu menggunakan software berlisensi legal, terutama untuk software-softare desain. Tidak mudah dan tidak murah, tetapi masih bisa diusahakan.
Harapan
Akhir kata, masih banyak dari para desainer, terutama yang bergerak di bidang akademis, menunggu adanya perhatian khusus dari vendor software desain yang terutama memiliki perwakilan di Indonesia. Yang kami (kita) harapkan terutama adalah harga yang lebih masuk nalar (terutama untuk kantong pelajar) serta layanan puna jual yang baik. Bila itu terjadi, akan menjadi kebanggaan dan kelegaan di hati saat menatap karya digital painting dari para artis kita. Selain indah dipandang, juga nyaman di perasaan. Mari kita wujudkan!
Emanuel Pratalaharja
Faculty Member | School of Arts & Design | BINUS INTERNATIONAL
Associate Editor of Babyboss Magazine
•••
Dulu, seorang CEO grup penerbitan di Eropa menanya saya mengapa panduan digital imaging menggunakan Adobe Photoshop dan Illustrator, bukankah itu software untuk profesional, kenapa tak pakai software lain untuk awam?
Dengan blak-blakan tapi malu saya mengaku bahwa yang paling banyak tersedia di pasar bajakan adalah itu.
Sebenarnya masalah harga dari software tersebut sulit diturunkan…mengingat software tersebut merupakan software profesional … bukan software awam…ibaratnya jika software awam harganya sekian …masa software profesional memiliki harga yang sama…? dan karena harga software tentunya memakai standar amerika dimana standar harga amerika dibandingkan indonesia jauh2 lebih tinggi daripada indonesia… dan developer adobe sendiri telah memberikan harga khusus bagi pelajar/pengajar , namun harga tersebut masih tergolong sangat tinggi untuk standard indonesia…mungkin jika ingin lebih murah…mengapa pihak desain grafis indonesia tidak menciptakan software desainnya sendiri..?tentunya akan menarik…
kemaren saya dengar dengar isunya asosiasi desain grafis bakal membuat sertifikasi untuk desainer2 yang berkompeten di bidangnya. nah sekalian aja kerja sama dengan vendor software desain, supaya desainer2 yang berkompeten tadi dapat membeli software dengan harga murah, terutama untuk para freelancer proffesional dan mahasiswa yang benar2 punya integritas dan punya rasa tanggung jawab dalam desain grafis..
dengan demikian karya kita juga akan bernilai tinggi…
Ada pilihan untuk menggunakan software berbasis open source namun biasanya kita enggan untuk memilih software tersebut, karena berarti pindah ke “agama” baru, butuh belajar lagi, adaptasi lagi.
Software image editing semisal PhotoShop seperti Gimp bisa diadu. Atau software 3D Blender, hasilnya juga nggak kalah dengan 3DsMax ataupun Cinema 4D. Juga Xara Extreme untuk vector (bakal rilis juga untuk MacOS). Bila ingin menggunakan software office document (word, excell, powerpoint) bisa menggunakan OpenOffice atau memanfaatkan fasilitas aplikasi yang diberikan oleh Google. Sekali lagi semuanya gratis.
Bila ada yang ingin melihat daftar software open source grafis lainnya, silakan mengunjungi link di bawah ini :
http://www.snap2objects.com/2007/07/20/45-best-freeware-design-programs/
http://www.snap2objects.com/2007/08/21/40_best_open_source_graphic_programs/
atau bila sudah ada yang menggunakannya salah satunya, monggo silakan di-sharing di sini
tentunya kesadaran diri sendiri untuk memakai software LEGAL, saya pribadi menggunakan software yang lisensi gratis seperti open source,.. karena belum mampu membeli,.. hihi
thanks yah ^_^ artikelnya sangat menguatkan saya, manfaat bgt daaahh