Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Slamet Abdul Sjukur


Sketsa oleh Wiwik Hidayat (almarhum)

[email protected]
Hp.: +62.81.596.747.02
Telp.: +62.21.856.1895
Komplek DISKUM AD Blok I / No. 3
Jl. Media-Masa, Cipinang-Muara
JAKARTA 13420

1

DAFTAR KARYA

• SANGKURIANG | Surabaya 1958

Libretto: Utuy T. Sontani

Opera a cappella

• BUNGA DI ATAS BATU | Surabaya 1960

Sajak: Sitor Situmorang

Soprano+Piano

WEEKEND | Surabaya 1960

Sajak: Sitor Situmorang

Soprano+Piano

KABUT | Surabaya 1960

Sajak: Sugiarto Sriwibowo

Soprano+Piano

BULAN HIJAU | Surabaya 1960

Klarinet Bb + Piano

TOBOR | Surabaya 1961

Untuk: Tiring Mayang Sari, anak-1

Piano. Durasi: 6’

EURASIA | Paris 1963

Koreografi: Frederic Franchini

Penari perempuan:

Saron pelog+Demung pelog+Kendang wadon+

Pianika+Piano sumbat+elektro akustik

Durasi: 10’

Pesanan: ORTF (radio televisi Perancis)

MAIS, CES OISEAUX… | Paris 1967

Sajak: Vincent Muselli

Soprano+Bariton+Klarinet Bb+Trio Gesek

POINT CONTRE | Paris 1969

Trompet+Perkusi+Arpa+Suara para pemain

Durasi: 12’

Pesanan (radio televisi Perancis) untuk Biennale de Paris

EN MAYEUR | Paris 1970

Untuk: Stéphanie, anak kedua

Kuartet Gesek

Durasi: 4 menit atau maksimal 31×24 jam

PARENTHESES I+II | Paris 1972

Koreografi: Dénis Carey

Penari Perempuan+Kursi menggantung+Cahaya+Piano Sumbat

Durasi: 90’

SVARA | Paris 1979

Untuk Svara (anak ketiga) + Renaud Gagneux (komponis)

Carillon, asalnya; sebagai tantangan improvisasi Gagneux

Piano (versi kemudian tanpa improv. untuk Ananda Sukarlan/ later version)

Durasi: 17’25

Paris

PARENTHESES IV | Paris 1973

Koreografi: Samuelina Tahiya

Pelukis +

2 gitar listrik+perkusi+synthesizer +

2 penari perempuan (kontemporer+tradisi Jawa+

Lukisan dalam proses +

Flut+piano sumbat+biolin+cello

Durasi: 40’

Pesanan: Festival Non-Stop des Menuires

Dokumentasi+Siaran: Film Gaumont

PARENTHESES III | Paris 1973-1975

Sajak: Ronald D. Laing

Koreografi: Samuelina Tahiya

Patung khusus dibuat oleh: Elisabeth Gleason

Empat kuartet;

1. flut, oboe, klarinet, fagot;

2. visual -

2 penari perempuan (kontemporer+tradisi Jawa),

Konduktor yang samar-samar mengikuti koreografi,

Patung raksasa;

3. vokal –

Soprano koloratura,

Narator bas bariton,

Suara kedua penari;

4. Kuartet gesek

Durasi: 40’

Pesanan: Kementerian Kebudayaan Perancis

ANGKLUNG | Paris 1975

1. TETABEUHAN SUNGUT, a cappella, 5’23”

2. MAK INANG, paduan suara+angklung, 5’38”

3. RONDA MALAM, angklung, 4’37”

4. HALLO-HALLO BANDUNG, paduan suara+angklung 2’18”

5. HELA-HELA ROTANE, a cappella, 2’57”

6. SEPUR MENDEM, paduan suara+angklung, 9’04”

7. LAILA MANJA, paduan suara+angklung, 5’04”

8. ORAK-ARIK, angklung, 4’53”

Pesanan KBRI di Paris untuk Festival des Musiques Folklores de Dijon

Mendapat: Disque d’Or / Piringan Emas dari Charles Cros Academie

KETUT CANDU | Jakarta 1976

Paduan suara à cappella

Durasi: 4’

JAKARTA 450 TAHUN | Jakarta 1977

Keheningan 1’ disusul bunyi kota Jakarta:

- sirene, bedug semua mesjid, lonceng-lonceng gereja, bel becak, klakson mobil, pesawat terbang, peluit kapal dan lain lain.

Tidak terlaksana karena pak Djayakusuma (panitia) lupa menyampaikannya pada gubernur Ali Sadikin.

PARENTHESES V | Jakarta 1981

Sajak: Chairil Anwar (Beta Pattirajawane)

Mezzo-Soprano + 4 Cello

Durasi: 21’

Pesanan: Mitra Budaya Jakarta

PARENTHESES VI | Jakarta 1983

Koreografi: Farida Feisol

Penari-penari perempuan +

Sebelas gangsingan (1,2,8 +)

Narator/Pelaku bariton+

2 gitar akustik+kendang lanang

Durasi: 25’

Pesanan: DKJ untuk Pekan Tari

ASTRAL | Christchurch 1984

Elektro-akustik.

Durasi: 9’

PARENTHESES VII/penutup | Jakarta 1985- ….

Instrumen gesek: 4.4.3.2.1.

7 kemungkinan: 1, 2, 1+2, 3, 3+2+1, 3+4, 4+4+3+2+1

Durasi: …

KANGEN | Jakarta 1986

3 Shakuhachi+Kokyu (sticks, ko-tsuzumi, ō-kawa)

Durasi: 12’

Pesanan: Pro Musica Nipponia

SUWUNG | Jakarta 1988

Mobil/bentuk terbuka untuk Flut

Durasi: 5’-8’

JI-LALA-JI | Stauffen 1989

Perkusi +Flut (piccolo, fl C, fl G)

Durasi: 15’

CUCUKU-CU | Jakarta 1990

Untuk: Gema (cucu pertama, anak Tiring Mayang Sari)

Gitar. Durasi: 2’

CUCUKU-CU | Jakarta 1992

Versi 5 piano masing-masing 4 tangan

NZ | Jakarta 1992

Piano sumbat

Durasi: 10’

LESUNG | Jakarta 1992

Synthesizer (asalnya improvisasi untuk 5 lesung, masing-masing dimainkan oleh 4 penutu perempuan)

Durasi: 12’

UWEK-UWEK | Jakarta 1992, diperbaiki 1995

Eksplorasi bunyi dua mulut + 2 jembe

Durasi: 12’

MINIMAX | Surabaya 1993

Instrumen apa saja buatan para awam yg terlibat dan memanfaatkan unsur ruang di alam terbuka

Durasi: 60’

Pesanan: PPLH/Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup di Trawas (hutan di Jawa Timur) untuk merayakan Hari Bumi

MIGRASI DI RUANG TAMU | Jakarta 1993

Sapu lidi, air dan bunyi-bunyi lain

Durasi: 80’

Untuk teater SAE;

Naskah: Afrizal Malna, skenografi Budi S. Otong

JAWARA | Jakarta 1993

Perkusi, satu pemain

Durasi: 12’

SPIRAL | Jakarta 1993

Untuk seorang sahabat Michael David yg kemudian menjadi suami Ary Sutedja

Flut+Piano+Penari perempuan

Berdasarkan: Gymnopédies-Erik Satie

AWANG-UWUNG | Solo 1994

Koreografi: Prapto Suryodarmo

Cahaya: Teguh Ostenrik

Penari laki-laki+Cahaya

+Gender slendro-pelog

Durasi: 28’

Festival Nur Gora Rupa

MARSINAH, nayanyian dari bawah tanah | Jakarta 1994

Instrumen bambu, kancing baju dll.

Durasi: 90’

Untuk Teater: Merah-Putih, naskah: Ratna Sarumpaet

ŌM | Jakarta 1995

Ansambel gesek: 4.4.3.2.1.

Durasi: 50’ (=50 th kemerdekaan RI)

Pesanan Dirjen Kebudayaan untuk festival ART SUMMIT

AKU PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI ITU | Jakarta 1996

Untuk film Aria Kusumadewa + Afrizal Malna

Durasi: …

YU-TAHA | Jakarta 1997

Untuk: Yuji Takahashi

Durasi: 15’

MUNI | Jakarta 1998

Paduan suara +

masing-masing penyanyi juga memainkan karunding bambu

Durasi: 12’

Pesanan: Paduan-suara Green Echo Nagoya (Akira Takahashi)

GELANDANGAN | Jakarta 1998, diperbaiki 1999/suara perempuan di panggung, bukan lagi hanya rekamannya

Karunding-bambu+sepatu+suara perempuan

Durasi: 20’

WANGI | Jakarta 1999

Cahaya+Penari perempuan+Gender pelog-slendro

Durasi: …

DEDICACE | Jakarta 2000

Arpegina atau biola

Durasi: 5’38”

THE SOURCE, where the sound returns | Jakarta 2000

Klarinet Bb+Piano sumbat +Cello

Durasi: 12’

Pesanan: Kedutaan Swiss di Jakarta

DEWA RUCI | Jakarta 2001

Instrumen dawai-tunggal (diapit bambu) bisa tegang/kendor (namanya?)

Durasi: 20’

Pesanan: Jak@rt festival

ABG BaBu | Jakarta 2003

100 Kentongan bambu dimainkan anak-anak baru gede

Durasi: 25’

Pesanan: Jak@art festival

GAME-Land I | Jakarta 2003

Gamelan Sunda

Durasi: 23’20”

Pesanan: Haus der Kulturen der Welt (Berlin) untuk: Festival Räume und Schatten

SEKARSARI / FLEUR DE LUNE | 2004

Untuk: Elisabeth Sekarsari dan TRIO INNOVA

Tuba+Akordeon+Piano. Durasi: 6’ – 9’

GAME-Land II | Jakarta 2005

Gameland Jawa-Tengah slendro

Durasi: 20’19”

Pesanan: Festival Utrecht, Belanda

PAHA | 2006

2Trompet+Horn F+Trombon+Tuba

Durasi: 9’08”

Pesanan: Dutch Chamber Music Ensemble

SUWUNG (II) | Jakarta 2006

Elektro-akustik

Durasi: 24’56”

Pesanan Hanafi untuk pemeran tunggalnya “id” di Galeri Nasional Jakarta (diperdengarkan sebagai latar belakang sonor selama pameran)

KUTANG | Jakarta 2008

2 Trompet+Horn F+Trombon+Tuba

Durasi: 8’04”

Pesanan: Dutch Chamber Music Ensemble

GAME-Land III | Jakarta 2010

3 Trompet+Horn F+Trombon+Tuba

Durasi: 10’

Pesanan: Reinhold Friedrich

Sebagian dari daftar-karya tsb. sudah disebut di:

1. http://www.composers21.com/compdocs/sjukursa.htm

2. tulisan Dieter Mac dalam TIGA JEJAK seni pertunjukan Indonesia, Penerbit MSPI 2004, ISBN 979-9707-10-7

3. Dieter Mack: ZEITGENŐSSISCHE MUSIK IN INDONESIEN, Penerbit Olms 2004, ISBN 3-487-12562-5

2

MEMOAR

IBU—

- nama: CANNA (1917-1996).

- nama ayahnya: ARSJAD (keturunan Turki).

- nama ibunya: ASTIKEA (keturunan Eskimo).

AYAH—

- nama: ABDUL-SJUKUR (1911-1990).

- nama ayahnya: PARTO GUNDO (keturunan Jawa).

- nama ibunya: (mungkin tidak punya).

SLAMET A. SJUKUR

(waktu lahir diberi nama SOEKANDAR kemudian karena sering sakit maka diruwat; dua bersaudara dengan SOENARINGSIH menjadI ELISAWATI 4 tahun lebih muda)

LAHIR: Surabaya, Jawa Timur/East Java 30.06.1935.

ZODIAC: Cancer. SHIO: Babi.

ANAK-1: TIRING MAYANG SARI;

- lahir:1961, dari pernikahan dengan SITI SUHARSINI almarhumah.

ANAK-2: STĒPHANIE;

- lahir: 1969 dari hubungan dengan ELISABETH FAUQUET.

ANAK-3: SVARA;

- lahir: 1979 dari pernikahan dengan FRANCOISE MAZUREK.

PENDUDUKAN JEPANG (1941-1945)+

MENGUNGSI DARI SERANGAN BELANDA KEMBALI (1945-49): Mojoagung-Mojokerto- Blimbing-Malang-Blitar-Kediri; dua kenangan dahsyat masa kanak-kanak.

MUSIK KARENA BERKELAHI (1944-1952).

Ayah membelikan piano agar saya tidak berkelahi, karena cacad kaki sejak usia 8 bulan, maka kemudian anak-anak lain sering mengejek bahkan meludahi dan memukul, dan saya tidak pernah menyerah. Maka setelah ada piano di rumah, saya jadi tenggelam di situ dan tidak tertarik lagi berkelahi .

Guru-guru piano saya 1944-45: Nio, D.Tupan, Paneda (Philippina); 1949-1952:Ny.Schaap (Belanda), Josef Bodmer (Swis).

PIANIS-PENGIRING siaran anak-anak PODO MORO di RRI kota Malang (1947) kemudian Kediri (1948) dalam masa-pengungsian (1945-1949) karena pendudukan Belanda kembali.

SEKOLAH MUSIK INDONESIA (SMIND) (Yogyakarta 1952-1956).

Belajar di sana dan senang mendapatkan guru-guru yang sangat mengesankan a.l.: Soemaryo L.E.(direktur dan ngajar Pengantar Pengetahuan Musik/PPM serta Psikologi Musik), Nicolaj Varvolomeyeff (pemain cello dan penganut Krishna Mukti dan Subud) dan J.Bodmer (guru-piano lama saya.

PARIS,AMSTERDAM,ABLASSERDAM and Dr.Soeharso SOLO (1956).

Dengan diantar ayah naik kapal ORDEBARNEVELD selama satu bulan dari Surabaya ke Amsterdam, bertujuan sekolah musik di Paris atas beaya sendiri. Waktu itu perjalanan dengan pesawat-terbang masih jauh lebih mahal dari kapal-laut. Di Amsterdam ditampung Ang Lan Hua (menjadi Magda Ang setelah menjadi Katolik dan kemudian menjadi Ny.Hasan setelah menikah dan masuk Islam) yang hidup bersama keluarga Dr.Kwee Liang Han. Meneruskan perjalanan ke Paris dengan kereta api. Ternyata disana musim liburan sekolah dan harus tunggu tiga bulan.Maka kembali ke Amsterdam dan (atas saran seseorang) operasi-kaki dulu di Ablasserdam. Tak lama kemudian seluruh Belanda dan Eropa tiba-tiba menjadi tegang, dihantui ‘perang dunia ke-3’ karena terusan Suez diblokir Mesir. Ayah terpaksa membawa saya pulang ke Jakarta melalui udara dan diteruskan dengan kereta-api ke Solo untuk dirawat Dr.Soeharso di rumah-sakitnya.

1957: bersama Ruba’I Katjasungkana (almarhum, waktu itu redaktur harian SURABAYA-POST) dan The Lan Ing (waktu itu baru pulang dari studi musiknya di Amsterdam) mendirikan: PERTEMUAN MUSIK SURABAYA (PMS) yang berdiri 25th (1957-1982) kemudian mati suri dan bangkit kembali sejak 2006./ Anggotanya sempat mencapai 1300 orang yg bayar iuran bulanan. Mantan anggota yang masih hidup: Solomon-Tong (sekarang direktur dan konduktor SURABAYA SYMPHONY ORCHESTRA), Prof.Dr.Cony Semiawan (mantan rektor IKIP Jakarta), Prof.Dr.Sri Edi Suasana yang sekarang terkenal, The Lan Ing dan saya sendiri

ALLIANCE FRANÇAISE di Surabaya saya dirikan (1961) bersama beberapa kawan atas dorongan kenalan orang-orang Perancis yang waktu itu sedang membangun lapangan udara Juanda. Tanpa diduga dapat perhatian Kedubes Perancis di Jakarta dan disuruh milih hadiah: buku-buku atau sejumlah piringan-hitam. Saya minta lain: kesempatan belajar ke Paris. Dikabulkan tapi hanya untuk satu tahun. Maka berangkatlah saya ke Paris (yang kedua kali) dengan kapal lagi, dan meninggalkan istri, anak yang baru berusia setahun dan perusahaan toko buku SLAMET & Co. Kapal berhenti di Itali kemudian dengan kereta-api ke Paris, di stasiun Gare de Lyon dijemput pelukis Salim yang waktu itu bekerja membantu Kedubes RI.

PARIS IMPIAN TERWUJUD (1962-1976). Belajar di dua sekolah: ECOLE NORMAL DE MUSIQUE DE PARIS (belajar piano pada Jules Gentil, musik kamar pada Victor Gentil, harmoni pada George Dandelot, kontrapung dan fuga pada Madame Simone-Plé Caussade, komposisi pada Henri Dutilleux) dan CONSERVATOIRE NATIONAL SUPERIEUR DE MUSIQUE DE PARIS (analisa pada Olivier Messiaen dan organologi pada Madame de Chambure). Jatah beasiswa hanya satu tahun, tapi berkat guru saya J.Gentil terbukalah berbagai pintu: beasiswa Ecole Normale, pekerjaan di Yayasan Albert Roussel dll sehingga bisa belajar sampai selesai selama 5 tahun (1962-1967) tanpa bayar sepeserpun. Bahkan bisa menembus GROUPE DE RECHERCHES MUSICALES radio-televisi Perancis yang dipimpin Pierre Scheffer (bapak musik elekto-akustik). Dan menetap di Paris sampai 1976, Bekerja serabutan sebagai komponis, pengiring-piano dan kinesi-terapis/tukang pijat di sekolah ballet, sebentar sebagai pegawai Kedubes RI, administrator hotel, konsultan i-ching, pengamen, main di sex live-show dll. Keluarga buyar, mertua saya di Indonesia memaksa saya milih: pulang atau cerai; milih tidak pulang dan tidak cerai, dunia formal memaksa cerai. Kembali ke Indonesia setelah terus-terusan dirayu guru lama yang saya kagumi: Soemaryo L.E. dan seorang sahabat Suka Hardjana.

INSTITUT KESENIAN JAKARTA (1976-1987; dulu LPKJ).

Atas desakan Soemaryo L.E. dan Suka Hardjana, maka saya pulang dari Paris (dengan ongkos sendiri) khusus untuk mengajar di situ. Sangat semangat karena minat luar biasa para mahasiswa. Tapi kemudian di pecat setelah 11 tahun mengajar dan pernah dipercayai menjadi dekan (1981-1983), karena menerima penghargaan ZOLTAN KODALY dari Hungaria yang menimbulkan alergi karena komunis, dan sebab berbagai intrik yang tidak jelas.

DEWAN KESENIAN JAKARTA (1977-1981).

Ketua Komite Musik.

FESTIVAL MUSIK KONTEMPORER PERANCIS (Jakarta 1981), menyelenggarakanya bersama CDMC(Pusat Dokumentasi Musik Kontemporer, Perancis), AFAA (Jaringan Kerjasama Kesenian Perancis), Kedubes Perancis, Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Institut Kesenian Jakarta dan Yayasan Musik Laras di Surabaya

Ton de LEEUW –komponis Belanda pemuja Indonesia– loka-karya, ceramah, pameran dan konser (selama satu bulan, Jakarta 1981). Kerjasama dengan IKJ, DKJ, TIM, Erasmus Huis, Donemus dan Kedubes Belanda.

PADEPOKAN LEMAH PUTIH (Surakarta 1987).

Mas Prapto Suryodarmo, beberapa kali mengundang saya menjadi guru tamu. Saya mengajarkan meditasi dengan telinga (dokumennya disimpan di website Yuji Takahashi).

SEKILAS MUSIK BARAT DI INDONESIA, serial 12 siaran di WERELD OMROEP, Hilversum/Belanda (1988).

NAFAS ZAMAN, siaran radio di SUARA SURABAYA tentang perkembangan musik kontemporer, siaran selama 2 jam setiap dua minggu (1991-1997),

ASOSIASI KOMPONIS INDONESIA (AKI), pendiri dan ketua (1994-1999). Dan berhasil AKI diterima ASIAN COMPOSERS LEAGUE (ACL) sebagai wakil Indonesia.

ASIAN COMPOSERS LEAGUE conference and festival

1997: Anggota Executive Committee of ACL.

1999: Direktur 20th ACL conference-Festival yang diselenggarakan di Yogyakarta dan Surakarta, atas dukungan Prof. Dr. Edi Sedyawati Direktur Dirjen. Kebudayaan.

AKADEMI JAKARTA (Jakarta 2000- ….)

Ditodong jadi anggota. Rapat, rapat, rapat… tiap bulan (seperti arisan tante-tante) Program, Seminar, itu-itu saja.

Honor tiga bulan sekali. Seperti Academie Française

SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA (Surakarta 2001-2006; sekarang Institur Seni Indonesia). Atas dorongan Dieter Mack, STI Surakarta meminta saya mengajar di sana, tapi 5 tahun kemudian saya “dipecat” karena: 1. lembaganya sendiri dan Ford Foundation tidak menyediakan dana lagi; 2. orang-orang lama sudah kembali ke Solo dari studinya di luar negeri; 3. fitnah bahwa saya menggunakan blue film untuk mengajarkan komposisi (pengalaman IKJ-gaya Indonesia yang penuh intrik tidak jelas—terulang).

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (Bandung 2006-2009).

Lembaga tersebut mengundang saya untuk mengajar di situ, atas dorongan Dieter Mack yang prihatin atas perlakuan STSI Solo terhadap saya. Semangat mengajar belum kapok, sekalipun telah dua kali pengalaman pahit di IKJ dan di STSI Solo. Para mahasiswa sangat sungguh-sungguh dan hasilnya cukup memuaskan. Sayang tiga tahun kemudian terasa ‘hangatnya tahi ayam’ mulai jadi dingin (sama sekali bukan dari fihak mahasiswa), keruwetan formalitas administrasi muncul dan saya bosan. Maka kali ini saya yang mencerainya.

MASYARAKAT BEBAS-BISING (sejak awal 2011).

Dengan dukungan Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta saya mengundang para ahli yang peduli pada masalah Kebisingan sebagai Polusi yang harus diatasi. Pertemuan para pakar (tht, neurologi, akustik dan lingkungan) dan para aktivis, menghasilkan MBB dan sekarang ini mempunyai jaringan cukup luas dengan berbagai komunitas yang punya semangat muda. Satu-satunya anggota Akademi Jakarta yang menghargai MBB hanyalah Rosihan Anwar almarhum.

3

PENGHARGAAN

PIRINGAN EMAS dari Academie Charles Cros, Perancis (1975). Untuk penampilan ANGKLUNG di Festival Musik Folklor di Dijon.

MEDAILLE COMMEMORATIVE ZOLTAN KODALY, Hungaria (1983).

Atas penyebar-luasan pendidikan musik yang sudah tertuang dalam cita-cita PERTEMUAN MUSIK SURABAYA (1957): “Kudjadikan Rakjatku Tjinta Musik”.

PIONIR MUSIK ALTERNATIF, majalah GATRA (1996)

MILLENNIUM HALL OF FAME,American Biographical Institute (1998).

OFFICIER DE L’ORDRE DES ARTS ET DES LETTRES, Perancis (2000).

4

ORANG-ORANG YANG MENGESANKAN SAYA

KAKEK (dari fihak ibu) seperti Abunawas dan Chuang Tzu.

NENEK (dari fihak ibu) cermat dan tegas dalam segala hal.

IBU dunia khusyuk sampai lupa waktu dan selalu terharu.

AYAH seperti Bung Karno.

PAK WAK TOKRAN (suami saudara sepupu ibu) Don Juan yang damai dan penyayang anak-anak.

RUBA’I KATJASUNGKANA guru saya karena wawasannya yang mengagumkan.

NICOLAJ VARVOLOMEYEFF orang hebat yang melarat.

HENRI DUTILLEUX humanis dan tak pernah terseret arus.

LA CONCIERGE nenek-nenek penjaga apartemen di Paris, orang kecil yang dahsyat di sebuah negara yang cerdas.

SUDARMADJI DAMAIS, kamus yang hidup dan sedap.

ERIC ANTONI sekaligus murid, sahabat dan guru saya.

RAMADHAN KH seperti dukun-bayi yang selalu menolong kelahiran, tak pernah memerintah bayi lahir menurut kemauannya.

OEI LIAN BING (ayah Soe Tjen) seorang Werkudoro.

HANNY KARDINATA kecemerlangan yang sangat lembut.

MBAK MARTI jujur, cerdas, disiplin yang luwes, anggun dan tidak peduli kedudukan. Dia hanya percaya tuhan, tidak pada yang lain.

ROSIHAN ANWAR hanya berpegang pada kebenaran yang terhormat.

5

PUBLIKASI

ARTIKEL yang terserak di berbagai penerbitan, belum sempat disusun. Website Desain Grafis Indonesia http://dgi-indonesia.com baru mengumpulkan beberapa diantaranya.

Karya tulis yang sudah terbit di DGI (catatan redaksi):

M U S I K, Bisa Dipegang Hidungnya?
Chopin 200 Tahun
Ketulian pada Pemusik
Indonesia “Generasi Hafalan”

6

L A M P I R A N

a. Artikel Duncan Grahan tentang saya.

b. Pidato Penerimaan Penghargaan Perancis.

(a) Indonesia Now with Duncan Graham Interpreting Indonesia with a Western perspective: Improving inter-cultural relationships.

Friday, March 31, 2006

SLAMET ABDUL SJUKUR
OF MATHS AND MUSIC, SEX AND SEDUCTION © Duncan Graham 2006

Indonesia has a problem with talented eccentrics.

They’re tolerated, but sidelined - unlikely to become national icons.

Those positions are usually reserved for politicians and the military. As though the life of this rich and complex country can be celebrated only by defence and administration.

So there’ll probably be no state funeral or heroes’ cemetery for composer and musician Slamet Abdul Sjukur, even though he’s done more to raise the intellectual profile of Indonesia overseas than a file of bureaucrats or a parade of generals.

Not that he’s planning for internment any day soon. He may be over 70 but he’s not interested in rocking-chair nostalgia. The present matters. There’s more to do, see and hear. More lovelies to cherish.

Slamet credits his grandmother with teaching him the value of silence and allowing the music to communicate. From the Taman Siswa (pre-Revolution nationalistic school) in Surabaya he learned the gamelan music of East Java. He then spent four years at Indonesia’s first conservatoire in Yogya.

He founded a philharmonic society in Surabaya. Later he headed the music committee of the Jakarta Arts Festival and has produced music for the stage, films, orchestras and individual instruments. Anything that makes a sound can get a place in his scores, from ambulance sirens to wood blocks.

Wrapping a mind around complex notes and notions demands concentration in a supportive environment. That’s not available in the house Slamet inherited from his father. The setting is Lewis Carroll; a plain door in a plain wall leading into a warren stacked with musty books and mysterious music

Unfortunately that’s where the dream ends. It’s in a dense Surabaya kampung where mosques compete to generate the loudest reminders to prayer, as though volume equals virtue.

It’s a semi quaver quieter in Jakarta where his house is bigger. But in a country that doesn’t pension its creative artists or provide inspirational rural retreats, Slamet has to follow the work trail and compose wherever he can.

Last year he spent three months in Germany where his commissioned piece Game Land was performed using gamelan players from Bali.

If you like Indonesian Idol and think the acned applicants’ performances enrich life then you won’t swoon on hearing Slamet’s compositions - unless you’re familiar with maths, Kabbal numerology and the Ferment spiral (r2 = ao) – all used in one of his works.

His grandfather introduced him to the numerology that’s influenced his compositions. A piece commissioned for the 50th anniversary of Independence was built around the Proclamation date - 17, 8 and 45. “Then I added the emotion,” he said.

It’s esoteric and uncompromising stuff, minimalist and elusive. His music pushes the listener to sweat brain cells. To call it contemporary is like grouping Monas with Borobudur. They’re both monuments so what’s the problem?

Enticed by the music of Maurice Ravel and powered by scholarships Slamet spent 14 years studying in France. He’s fed on European high culture for so long only his Javanese reticence remains.

He’s read many of the world’s great thinkers in their original languages. He knows the conservatoriums and concert halls. He’s played at the shrines to composers past; the great weight of history that inspires musicians is part of his eclectic soul. Slamet is Indonesia’s Renaissance man.

And he loves women.

“They are the greatest beauty in the world,” he said – and it’s not just talk. After his public performances there’s usually a bouquet of admirers seeking his company, and every one stellar.

James Bond look-alikes must wonder what they lack. Slamet is small and has been crippled since childhood. He can’t move far without sticks. His dress sense wouldn’t warrant a glance. He has no car and little money. He’s softly spoken and doesn’t brag.

He looks like the stunted 19th century French artist Henri de Toulouse-Lautrec, though Slamet’s territory is the salons of Surabaya’s tiny culture set.

Like that bohemian habitué of the Moulin Rouge, Slamet has an equal lust for life, plus the magnetism that draws women to creative and charismatic men. If research linking creativity to sexual success is right then Slamet is a gold medallist.

So far he’s had two marriages and 11 relationships in several countries.

“I treat women as equals and independent,” he said. “I was brought up to respect women. Sadly many men in Asia don’t do that.

“I don’t want to monopolise a woman, take her freedom or curb her independence. I like strong and clever women. We should be kind and gentle to every living thing. Even the ant can share my sugar.

“I give women full attention and they find that sensual. I’m gentle and not in a rush. I don’t talk nonsense. I listen. Women like that.

“A woman instinctively knows whether a man is sincere. She can feel the vibrations of love. I don’t look with lust - I always look in a woman’s left eye because that’s linked to the right side of her brain.”

Slamet’s unorthodox approaches don’t stop with sex. He unsuccessfully sought to have ‘Music’ listed as his religion on his identity card. He asks his students to compose one piece lasting 12 seconds and another running for 20 minutes.

“I tell them they must feel the timing, be like a pickpocket,” he said. “They must create beauty in the shortest time. Music must touch the essentials.

“The language of law is precise and seeks to avoid ambiguities. In the language of art there are limitless interpretations. What is so important is the beauty of the curve of the melody.”

And the inspirational beauty in the curve of a woman’s body?

“Of course. How precious is every moment in our lives! Yet we forget this in the rush and routine.”

(Slamet will run a two-hour workshop at Erasmus Huis in Kuningan, Jakarta on Wednesday 5 April. This will be prior to a performance of his new work Paha (thigh) by the Dutch Brass. Details www.erasmushuis.or.id )

(First published in The Jakarta Post 31 March 2006)

(b)

Remerciement de Slamet A. Sjukur

pour sa promotion de

L’Officier de l’Ordre des Arts et des Lettres

Jakarta le 24 Octobre 2002

Pernyataan terimakasih Slamet A. Sjukur

atas penghargaan

L’Officier de l’Ordre des Arts et des Lettres

(Tokoh dalam bidang Seni dan Sastera)

Jakarta 24 Oktober 2002

Monsieur l’Ambassadeur, Mesdames et Messieurs,

Bapak Duta Besar dan para hadirin sekalian.

C’est une grande joie pour moi d’être promu Officier dans l’ordre des

Arts et des Lettres

Suatu kegembiraan yang sangat bagi saya

dinobatkan sebagai Tokoh dalam bidang Seni dan Sastera

et l’honneur qui m’est fait restera gravé dans ma

mémoire au point de rester un moment inoubliable.

dan penghargaan ini akan melekat dalam ingatan saya

sehingga menandai saat yang tak terlupakan.

Ce soir, l’émotion qui me gagne, me renvoie à la disparition d’êtres

qui me sont chers. Ma mémoire se cristallise sur “ MES GRANDS ABSENTS ”.

Petang ini, keharuan yang saya rasakan

membuat saya teringat pada

kepergian orang-orang yang saya cintai.

Suatu ingatan yang meng-kristal pada

“Saat-saat penting yang tidak saya hadiri”

J’étais effectivement en France lorsque ma grand-mère décèda et

j’étais en Allemagne quand mon père disparut.

Saya masih di Perancis ketika nenek saya meninggal

dan saya sedang di Jerman waktu ayah saya tiada.

Je ne fus pas à ses côtés, comme elle l‘aurait souhaité, lorsque ma

mère passa à trépas.

Di saat ibu saya menghadapi sekaratul maut,

saya tidak disampingnya seperti yang beliau inginkan.

Cette cérémonie, en ravivant la présence de ceux qui m’ont quitté

“MES GRANDS ABSENTS” me donne, ce soir, l’impression d’assister à

mon proper enterrement.

Upacara petang ini

yang kembali mengingatkan pada mereka yang meninggalkan saya

di “saat-saat penting yang tidak saya hadiri”,

menimbulkan perasaan seolah-olah saya menghadiri

pemakaman diri saya sendiri.

La remise d’une décoration n’est-elle pas le premier pas vers la tombe ?

Pemberian penghargaan

bukankah ini langkah awal menuju kuburan?

La haute considération portée à celui don’t le passé mérite un hommage n’est-elle l’indication insistante que l’hommage n’est rendu qu’au passé de celui-ci comme s’il fallait mourir pour devenir quelqu’un ?

Penghormatan tinggi terhadap seseorang

yang masa lalunya patut mendapat sanjungan,

bukankah pertanda yang tegas bahwa

penghormatan hanya diperuntukkan pada

masa lalu orang itu?

Sepertinya dia akan mati untuk menjadi orang yang berarti?

Le troublant honneur de cette mise au tombeau me conduit d’autant

plus à apprécier la vie, sa fragilité bouleversante, sa beauté passagère . . .

Penghargaan yang mendebarkan

yang dipasang di atas kuburan ini

justru membuat saya semakin mengagumi kehidupan,

kerapuhannya yang membingungkan,

keindahannya yang hanya sesaat . . .

C’est dan ce même mouvement que je vous remercie très chaleureusement, Monsieur l’Ambassadeur.

Dalam penafsiran seperti itulah

saya menyampaikan terimakasih yang hangat

kepada Bapak Duta Besar.

Je suis aussi reconnaissant à Jean-Michel Phéline, ancien directeur

du CCF de Bandung et à Thierry Dumanoir, ancien attaché culturel de

l’Ambassade de France à Jakarta, aujourd’hui l’un et l’autre administrateurs au Centre des Monuments Nationaux, puisqu’ils furent à l’origine de cette proposition de décoration.

Saya juga berhutang budi kepada Jean Michel Phéline

mantan Direktur CCF di Bandung

dan Thierry Dumanoir

mantan atase kebudayaan Kedutaan Perancis di Jakarta

mereka keduanya sekarang penanggung jawab administrasi

di Pusat Monemen-Monumen Nasional.

Mereka berdua itulah yang mencalonkan saya

mendapat penghargaan sekarang ini

Enfin, tendrement, je remercie la France et sa République, ce pays qui m’a si profondément marqué.

Akhirnya, dengan mesra saya menyampaikan terimakasih

kepada Perancis dan Republiknya,

sebuah negara yang demikian mendalam

berkesan di hati saya.

Jakarta 24 Oktober 2002

Slamet A. Sjukur

•••


« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENT

  1. Tambahan pada Profile ‘Slamet Abdul Sjukur':

    DAFTAR KARYA

    GAME-Land V (Jakarta 2012)
    Piano+Gong Ageng+Kemanak+Tepuk Tangan+vokal, semuanya dimainkan oleh seorang pianis.
    Pesanan Institut Français d’Indonésie untuk TAHUN DEBUSSY 2012.
    Durasi: 20′

    MEMOAR

    BILIOTHEQUE NATIONAL: DEBUSSY 1889
    Diundang pemerintah Prancis (1982 ?) selama sebulan untuk meneliti dokumen tentang gamelan di L’Exposition Universelle 1889 dan hubungannya dengan Debussy.

    Alamat email di Yahoo sudah ditutup, yang baru: [email protected]

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly