Kisah sedih dialami Desak Suarti, seorang pengrajin perak dari Gianyar, Bali. Pada mulanya, Desak menjual karyanya kepada seorang konsumen di luar negeri. Orang ini kemudian mematenkan desain
tersebut. Beberapa waktu kemudian, Desak hendak mengekspor kembali karyanya. Tiba-tiba, ia dituduh melanggar Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Wanita inipun harus berurusan dengan WTO.
“Susah sekarang, kami semuanya khawatir, jangan-jangan nanti beberapa motif asli Bali seperti ‘patra punggal’, ‘batun poh’, dan beberapa motif lainnya juga dipatenkan” kata Desak Suarti dalam sebuah wawancara.
Kisah sedih Desak Suarti ternyata tidak berhenti sampai di sana. Ratusan pengrajin, seniman, serta desainer di Bali kini resah menyusul dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga negara asing. Tindakan warga asing yang mempatenkan desain warisan leluhur orang Bali ini membuat seniman, pengrajin, serta desainer takut untuk berkarya.
Salah satu desainer yang ikut merasa resah adalah Anak Agung Anom Pujastawa. Semenjak dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga asing, Agung kini merasa tak bebas berkarya. “Sebelumnya, dalam satu bulan saya bisa menghasilkan 30 karya desain perhiasan perak. Karena dihinggapi rasa cemas, sekarang saya tidak bisa menghasilkan satu desain pun,” ujarnya hari ini.
Potret di atas adalah salah satu gambaran permasalahan perlindungan budaya di tanah air. Cerita ini menambah daftar budaya Indonesia yang dicuri, diklaim atau dipatenkan oleh negara lain, seperti Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran Jepara, Kopi Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang Sayange, dan lain sebagainya.
LANGKAH KE DEPAN
Indonesia harus bangkit dan melakukan sesuatu. Hal inilah yang melatarbelakangi berdirinya Indonesian Archipelago Culture Initiatives (IACI), informasi lebih jauh dapat dilihat di http://budaya-indonesia.org/ Untuk dapat mencegah agar kejadian di atas tidak terus berlanjut, kita harus melakukan sesuatu. Setidaknya ada 2 hal perlu kita lakukan secara sinergis, yaitu:
1. Mendukung upaya perlindungan budaya Indonesia secara hukum. Kepada rekan-rekan sebangsa dan setanah air yang memiliki kepedulian (baik bantuan ide, tenaga maupun donasi) di bagian ini, harap menggubungi IACI di email: [email protected]
2. Mendukung proses pendataan kekayaan budaya Indonesia. Perlindungan hukum tanpa data yang baik tidak akan bekerja secara optimal. Jadi, jika teman-teman memiliki koleksi gambar, lagu atau video tentang budaya Indonesia, mohon upload ke situs PERPUSTAKAAN DIGITAL BUDAYA INDONESIA, dengan alamat http://budaya-indonesia.org/ Jika Anda memiliki kesulitan untuk mengupload data, silahkan menggubungi IACI di email: [email protected]
Lucky Setiawan
•••
HAKI, MELINDUNGI ATAU “MENJAJAH” KITA?
September 22, 2008, 7:35 am
Insan kreatif terkesiap beberapa minggu lalu mendapat kiriman email nan memilukan berjudul “Kisah Sedih Dari Bali”. Hampir di seluruh milis beredar dan segera menjadi sebuah perdebatan hangat. Berikut petikan emailnya:
Kisah sedih dialami Desak Suarti, seorang pengrajin perak dari Gianyar, Bali. Pada mulanya, Desak menjual karyanya kepada seorang konsumen di luar negeri. Orang ini kemudian mematenkan desain tersebut. Beberapa waktu kemudian, Desak hendak mengekspor kembali karyanya. Tiba-tiba, ia dituduh melanggar Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Wanita inipun harus berurusan dengan WTO.
“Susah sekarang, kami semuanya khawatir, jangan-jangan nanti beberapa motif asli Bali seperti `patra punggal’, `batun poh’, dan beberapa motif lainnya juga dipatenkan” kata Desak Suarti dalam sebuah wawancara.
Kisah sedih Desak Suarti ternyata tidak berhenti sampai di sana. Ratusan pengrajin, seniman, serta desainer di Bali kini resah menyusul dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga negara asing. Tindakan warga asing yang mempatenkan desain warisan leluhur orang Bali ini membuat seniman, pengrajin, serta desainer takut untuk berkarya.
Email itu adalah bagian kampanye perlindungan budaya yang dilakukan Indonesian Archipelago Culture Initiatives (IACI). Pada saat bersamaan memang sedang berjalan sidang gugatan masalah hak cipta desain perhiasan perak di pengadilan negeri Denpasar dan segera membuat HAKI menjadi sebuah pertanyaan besar bagi banyak kalangan terutama insan kreatif dan masyarakat pengerajin. Berikut petikan berita yang dilansir www.kompas.com :
Hak Kekayaan Intelektual
BEREBUT HASIL KREASI PERAJIN PERAK BALI
Minggu, 21 September 2008 | 00:55 WIB
Dengan mata berkaca-kaca, Ketut Deni Aryasa (32) di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Rabu (17/9), memohon agar dibebaskan dari segala tuduhan menjiplak hasil karya perhiasan perak yang diklaim milik warga Amerika Serikat.
”Ini sungguh menyakitkan hati. Peradilan saya juga menyakiti masyarakat Bali, khususnya perajin perak. Orang-orang asinglah yang meniru dan menjiplak hasil karya kami,” kata Deni di depan majelis hakim.
Deni terancam hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 5 juta. Ia disidangkan sejak bulan Juni 2008 dengan dakwaan melanggar Pasal 72 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Adalah PT Karya Tangan Indah (KTI), perusahaan milik warga Amerika Serikat, yang melaporkan bahwa Deni menjiplak dan memperbanyak perhiasan motif batu kali yang telah didaftarkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Padahal, perhiasan milik Deni disebut crocodile, idenya diambil dari corak kulit buaya. Secara kasatmata, saat kedua motif diperbandingkan di depan persidangan, sama sekali tidak mirip.
Motif batu kali milik KTI berbentuk oval mulus yang disusun berimpitan, sedangkan motif crocodile milik Deni seperti kulit buaya dengan bentuk tidak rata sehingga seperti berserat-serat. ”Saya bingung di mana kemiripannya,” ujar Deni.
Motif crocodile Deni juga telah terdaftar di Ditjen HKI tahun 2004. Artinya, kedua motif sama-sama diakui hak ciptanya.
Tahun 2000-2003, arsitek lulusan Universitas Udayana yang berdarah campuran Belanda-Cina dari ibu dan Bali dari ayah ini memang bekerja di PT KTI. Namun, ia mengaku tidak bekerja di bagian desain motif, tetapi di desain multimedia.
Salah satu saksi ahli di persidangan, Tjokorda Udiana Nindia Pemayun SSn SH MHum, dosen Institut Seni Indonesia Denpasar, menyatakan, hasil karya dari ide dasar yang berbeda tidak mungkin membuat hasil yang sama. Semua dipengaruhi oleh unsur substansial produk, seperti jenis material, proses penuangan, motif, dan tekstur.
Dampak dari kasus Deni, ribuan perajin perak Bali resah. Saat ini diperkirakan lebih dari 1.800 motif perhiasan perak Bali sudah diklaim hak ciptanya oleh warga asing, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Produk sejumlah perajin perhiasan perak sudah sering ditolak oleh negara tujuan ekspor dengan alasan melanggar hak cipta. Padahal, motif produk kerajinan mereka sudah dipakai sejak tahun 1970-an.
Para perajin perak kecewa terhadap pemerintah yang kurang proaktif dalam melindungi produk lokal. Ketika ada kasus di pengadilan dan ratusan orang meminta perlindungan, baru pemerintah dan wakil rakyat seperti tersadar dan bergerak.
Wakil Ketua Asosiasi Perajin Perak Bali Nyoman Mudita menyatakan, kasus ini menjadi momentum penting bagi pemerintah dan wakil rakyat. ”Kami meminta pemerintah mengayomi kami dari kekuatan kapitalis asing. Ada baiknya pemerintah mengecek ulang daftar hak cipta orang asing yang terdaftar di Indonesia. Jangan-jangan ada pencurian motif lokal,” ujarnya.
Bahkan, kata Mudita, ada motif tradisional Bali, seperti Batun Timun, Batun Poh, Kuping Guling, Parta Ulanda, dan Jawan, sudah didaftarkan pihak asing.
Di Desa Celuk, Kabupaten Gianyar, lebih dari 1.000 warganya menjadi perajin perak. Di sepanjang jalan di Celuk banyak galeri ataupun perajin yang tengah mengerjakan perhiasan perak.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali menunjukkan, ekspor kerajinan perak sepanjang Januari-Juli 2008 hanya Rp 60 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu mencapai Rp 1,4 triliun.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mengakui, pemerintah belum memberi perhatian cukup terkait hak kekayaan intelektual para perajin perak Bali.
Keduanya berjanji akan membentuk tim khusus guna menginventarisasi seluruh motif kerajinan perak Bali. (Ayu Sulistyowati)
Gubernur Bali Made Mangku Pastika bereaksi dan terjadi pertemuan dengan pihak yang tengah “bertikai” untuk mendengar dan menanyakan langsung kronologis permasalahannya. Ia mengatakan pihaknya bakal membentuk tim khusus untuk menangani masalah pencurian motif Bali oleh orang asing. “Itu harus kita bentuk untuk melakukan pencegahan,” tegasnya. Benarkah turun tangannya Mangku Pastika sebuah wujud berbenah bagi masalah hak cipta dimana Bali sangat rawan dengan kasus semacam ini ? Atau ini babak lain memasuki carut marutnya dunia “HAKI”
Mari melek HAKI, agar kita yakin bagaimana sesungguhnya fungsi dan perannya bagi kreatifitas yang telah diciptakan. Apakah benar hak cipta dibuat untuk melindungi kreatifitas atau hanya skenario global yang diciptakan untuk “menjajah” kembali Negara-negara dunia ke tiga.
Insan kreatif yang selalu mencipta tentulah galau berada dalam situasi semacam ini. Tapi jangan terburu bingung, ingin memperoleh referensi sebelum kita bertindak ? Hadiri acara diskusi yang diadakan oleh Walhi Bali dan Yayasan Manikaya Kauci dibawah ini :
“SKENARIO GLOBAL MENJERAT PENGERAJIN KECIL BALI”
Latar belakang
Saat ini pengerajin perak di Bali merasakan sebuah keresahan yang sama karena banyak motif-motof kerajinan Bali telah didaftarkan hak cipta oleh pengusaha asing seperti: pepatraan, jawan, jawan keplak, motif rantai tulang naga, motif dayak dan sebagainya yang sebenarnya merupakan hasil karya budaya bangsa yang telah diwariskan secara turun temurun.
Selain itu ketakutan untuk berkreatifitas juga disebabkan oleh terjadinya kriminalisasi dan gugatan hukum terhadap pengerajin kecil karena dianggap melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Meski penindakan hukum terhadap pengerajin ini terlihat legal karena diatur dalam UU HAKI, namun kita tidak bisa menungkiri bahwa lahirnya peraturan yang berkarakter liberal-induvidualistik ini merupakan skenario global.
Kelemahan masyarakat sipil untuk membaca politik hukum, didesakkan oleh kapitalisme global dan kemudian diberlakukan kepada rakyat-rakyat kecil dinegara berkembang, telah memuluskan jalan pengerukan keuntungan bagi korporasi (TNC/MNC) dengan jalan menindas hak-hak kolektif rakyat. Jika tidak terjadi kesadaran kolektif untuk melawan perampokan aset-aset kolektif rakyat ini, maka kriminalisasi, penindasan pengerajin kecil demi melipatgandakan keuntungan dengan berkedok HAKI akan terus menerus terjadi. Tinggal kemudian pertanyaannya adalah, siapa korban berikutnya?
Atas dasar keprihatinan atas kondisi ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali dan Yayasan Manikaya Kauci (YMK) dengan dukungan dari Third World Network memfasilitasi diskusi terkait isu tersebut diatas.
Maksud dan Tujuan
Disemininasi informasi tentang skenario global dalam penjajahan kembali negara-negara berkembang
Melahirkan kesadaran agar rakyat kecil di negara berkembang bangkit melawan skenario global yang menindas
Melindungi segenap hak kekayaan kolektif yang diwariskan oleh para leluhur sebagai hak atas budaya
Bentuk Kegiatan
Diskusi sambil menunggu berbuka puasa bersama (ngebuburit) bertema ”Skenario Global Menjerat Pengerajin Kecil Bali” dengan mitra diskusi:
1. Hira Jhamtani (Peneliti Bidang Globalisasi dan Lingkungan Hidup di Bali)
2. I Nyoman Mudita (Wakil Ketua Asosiasi Perak Bali)
Moderator: Ni Nyoman Sri Widhiyanti
Waktu dan Tempat
Hari/ tanggal : Selasa, 23 September 2008
Waktu : 15.00 wita
Tempat : Sekretariat Yayasan Manika Kauci. Jl. Noja, Gang 37 No. 16 Denpasar – Bali
Telp. (0361) 249630
Pelaksana
Acara ini dilaksanakan oleh WALHI Bali dan Yayasan Manikaya Kauci dengan dukungan dari Third World Network (TWN).
Sumber: Warta Komunitas Kreatif #3
Komunitas Kreatif Bali adalah kelompok masyarakat dan insan kreatif yang menaruh perhatian terhadap pengembangan industri kreatif di Bali sebagai penggerak ekonomi kreatif Bali. Didirikan sebagai organisasi sosial yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi terciptanya budaya kreatif, munculnya talenta kreatif baru, mendorong inovasi dan tumbuhnya semangat kewirausahaan. Ayo bergabung. Kirimkan tulisan Anda tentang : 1). Acara dan proyek Kreatif 2). Kiprah, karya dan profil insan kreatif atau komunitas kreatif 3). Opini dan artikel tentang komunitas kreatif kirimkan melalui email ke [email protected]
•••
BAHAN DISKUSI PADA ACARA “SKENARIO GLOBAL MENJERAT PENGERAJIN KECIL BALI”
Terkait posting di blog Komunitas Kreatif Bali dengan judul HAKI, MELINDUNGI ATAU “MENJAJAH” KITA? September 22, 2008, Kami memperoleh bahan diskusi yang disampaikan pada diskusi “SKENARIO GLOBAL MENJERAT PENGERAJIN KECIL BALI” yang dilaksanakan oleh WALHI Bali dan Yayasan Manikaya Kauci dengan dukungan dari Third World Network (TWN) pada Selasa, 23 September 2008 di Sekretariat Yayasan Manika Kauci. Jl. Noja, Gang 37 No. 16 Denpasar – Bali
Silakan mendownload dua tulisan yang disiapkan oleh Hira Jhamtani berikut ini :
1. siapa-berhak-atas-proses-sosial
2. memahami-rejim-hak-kekayaan-intelektual-terkait-perdagangan
•••
KONSEP WIPO: SKENARIO GLOBAL UNTUK MEMECAH INDONESIA?
Ada ribuan artefak budaya Indonesia yang diklaim oleh pihak asing, seperti Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran Jepara, Kopi Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang Sayange, dan lain sebagainya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, ia juga terdapat di banyak Negara berkembang lainnya. Untuk itu, WIPO (World Intellectual Property Organization), lembaga Intellectual Property internasional, mengusulkan sebuah alternatif penyelesaian. Usulan ini dimuat dalam “Revised Draft Provisions For The Protections Of Traditional Cultural Expressions/Expressions Of Folklore”.
Inti dari usul tersebut adalah menyerahkan kepemilikan atas ekspresi budaya tradisional kepada Kustodian atau komunitas. Ini dapat dilihat pada pasal 2 dan pasal 4 pada draft tersebut. Ekspresi budaya tradisional “X” yang dipelihara dan dikembangkan oleh komunitas “Y” akan menjadi milik komunitas “Y”. Misalnya komunitas batik dari Surakarta yang memelihara dan mengembangkan desain parang maka motif tersebut akan menjadi milik komunitas tersebut.
Namun dari hasil kajian yang dilakukan oleh Indonesian Archipelago Culture Initiatives atau IACI (www.budaya-indonesia.org), konsep ini membawa ancaman terhadap integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang pertama adalah masalah horizontal. Ia akan memicu konflik antar wilayah maupun antar komunitas dalam satu daerah. Orang Sunda tidak dapat berkreasi secara bebas mengembangkan Batik Jawa. Orang Jawa harus meminta lisensi ke orang Batak untuk dapat mengembangkan ulos. Orang Papua tidak merasa memiliki songket dari Palembang, demikian seterusnya. Lalu dimanakah posisi persatuan dan kesatuan Indonesia?
Selain mengikis rasa persatuan, konsep ini juga berpotensi konflik antar wilayah. Ada banyak artefak budaya Indonesia yang terdapat di lebih dari satu wilayah atau suku tertentu. Misalnya, ada sebuah
motif ukiran tertentu terdapat di dua wilayah atau suku yang berbeda. Lalu komunitas yang mana berhak untuk memilikinya? Akibatnya akan terjadi konflik antar wilayah atau antar suku. Pemekaran wilayah, yang hanya melibatkan dimensi pembagian administrasi pemeritahan saja, terbukti dapat menyebabkan jatuhnya korban. Apalagi jika ditambah dengan persoalan pembagian budaya tradisi. Setiap wilayah atau suku akan bertempur untuk mempertahankan warisan nenek moyaknya, merupakan “harga diri” komunitasnya.
Konflik yang mungkin muncul tidak hanya terjadi antar komunitas. Ia juga bisa terjadi di dalam komunitas itu sendiri. Dari sekian banyak komunitas Angklung di Bandung misalnya, siapakah yang berhak memilikiangklung? Siapa yang berhak memberikan izin lisensi angklung ke pihak lain, pimpinan komunitas tersebut atau rapat anggota? Posisi pimpinan komunitas budaya, yang pada awalnya hanya memperhatikan faktor kebijaksanaan semata, menjadi terpolitisir (akibat adanya faktor kekuasaan dan ekonomi di dalamnya). Konsep ini beresiko melahirkan konflik dan perpecahan pada komunitas-komunitas budaya di Indonesia.
Yang kedua adalah masalah vertikal. Konsep yang dibuat oleh WIPO akan mempermudah upaya eksploitasi budaya Indonesia oleh pihak asing. Sebuah perusahaan desain kaliber internasional hanya perlu datang membeli lisensi ke sebuah komunitas budaya lokal tertentu. Negosiasi tersebut tentu saja tidak seimbang. Adidas mungkin hanya perlu mengeluarkan beberapa juta rupiah untuk membeli sebuah desain batik tertentu, lalu mengkomodifikasi sedemikian rupa dan mendapatkan miliaran dolar dari desain tersebut.
Jika terjadi sengketa sengketa hukum, kemampuan untuk melakukan pembelaan tentu saja tidak akan seimbang. Apakah semua komunitas budaya di Indonesia mampu membayar pengacara untuk menuntut sebuah perusahaan raksasa asing dalam pengadilan di luar negeri? Selain
semakin mudah untuk dieksploitasi, kemampuan kita untuk melakukan pembelaan juga semakin melemah.
Dari ulasan di atas, kita dapat melihat bahwa konsep yang diusulkan oleh WIPO berpotensi untuk mengancam integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia memicu konflik antar warga Negara Indonesia. Selain itu, ia akan mempercepat proses eksploitasi budaya Indonesia oleh pihak asing. Untuk itu kita perlu waspada. Apakah konsep yang dibawa oleh WIPO merupakan bagian dari skenario global untuk memecah Indonesia?
Untuk melindungi budaya Indonesia, kita membutuhkan sebuah terobosan baru. Hal ini dapat kita teladani dari kisah perjuangan Djuanda Kartawidjaja di Zona Ekonomi Esklusif (ZEE). Indonesia harus berani melawan dan membuat sebuah terobosan baru. Inspirasi inilah yang melatarbelakangi lahirnya konsep Nusantara Cultural Heritage State License atau disingkat NCHSL (http://budaya-indonesia.org/iaci/NCHSL), sebagai sebuah alternatif konsep perlindungan budaya Indonesia yang diinisiasi oleh Indonesian Archipelago Culture Initiatives.
Kita harus waspada terhadap konsep yang diusulkan oleh pihak asing. Bisa jadi, ia merupakan sebuah skenario global untuk menghancurkan Indonesia. Jangan sampai pemerintah dan DPR meratifikasi konsep yang dibawa oleh WIPO tersebut. Kita harus mencegahnya.
Namun selain itu, kita membutuhkan sebuah alternatif solusi. Indonesia harus mampu menjadi teladan dalam upaya perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional. Untuk itu, saya mengajak rekan-rekan sebangsa dan setanah air untuk bersama-sama menyempurnakan dan
memperjuangkan konsep NCHSL. Rekan-rekan sebangsa dan setanah air yang memiliki kepedulian (baik bantuan ide, tenaga maupun donasi) dapat menghubungi IACI di email: [email protected]
Mari kita bersama-sama bersatu dan menjadi bagian dari upaya pelestarian budaya Indonesia.
- Lucky Setiawan, 27 Oktober 2008
•••
yah harus nya pemerintah mandang ke depan… ga cuman mencla mencle bikin aturan…… mau masuk globalisasi, tapi ga ngelindungin karya anak bangsa
hello…
saya sangat prihatin dgn kondisi semakin banyaknya pencurian budaya Indonesia.
Terus terang menurut pengamatan saya, kita belum ada kesadaran soal hak paten. saya sendiripun rencana mau mematenkan suatu merk masih saja menunda.
saran saya lebih disosialisasian ke masyarakat tentang apa itu hak paten, apa pentingnya, bagaimana prosesnya, harus kemana mematenkannya. Dan yang penting lagi, dari HAKI bikin proses mematenkan jadi lebih mudah tidah bertele2 dan kalau perlu harga jangan terlalu mahal.
Kalau ini semua berjalan, moga2 bangsa kita lebih menghargai hasil karya sendiri dan sadar untuk melindungi hak paten kita.
Saya sangat berharap….
thanks
kris
sebelum kita melindungi karya anak bangsa dengan undang-undang, seharusnya kita sudah bisa menghargai karya yg telah dipatenkan terlebih dahulu dengan tidak membajaknya/ memalsukannya.
sedih….sedih…..sedih……susah kalo harus mengharapkan pemerintah yang bergerak soalnya mereka belun merasa (atau tidak akan pernah merasa berkepentingan dengan hal ini)…..ayo kita bergerak…..mungkin temen2 yang tau tentang hukum dan peduli dengan kekayaan visual dan intelektual indonesia bisa membimbing kita…..
hiduplahindonesiaraya
bangsa indonesia sendiri pun masih belum bisa mengapresiasi karya anak bangsa itu sendiri
sedih memang mendengar kabar hal seperti itu. kebaikan , keramahan, persahabatan saudara-saudara kita di Bali ini ternyata dibalas dengan kecurangan dan menggunakan ketidak pengalaman dan keluguan mereka.
kITA SEMUA PERLU BERSATU UNTUK LEBIH MENINGKATKAN KETRAMPILAN, KEJELIAN DAN PENGETAHUAN YANG MELINDUNGI CIPTA KARYA BANGSA DAN DIRI KITA iNDONESIA
Saya nggak habis pikir. Kok bisa-bisanya motif asli bali dipatenkan? Apalagi sama orang luar..
Yang dipatenkan itu desain atau motif? Di atas disebutkan secara jelas..
“motif desain asli Bali”
“desain warisan leluhur orang Bali”
Apakah bukan sebaliknya, pihak Bali/Indonesia yang harusnya menuntut?
Bagaimana prosesnya kok desain-nya Desak Suarti itu bisa dipatenkan tanpa sepengetahuan dan ijin dari Desak Suarti? Bagaiman sebenarnya “arrangement”nya pembeli dengan Desak?
Saya belum tahu banyak ttg hak paten. Tapi biasanya paten itu sangat spesifik ke bentuk, warna, ataupun format yg persis seperti yg dipatenkan. Desain bisa mengandung motif, tapi motif itu sendiri bisa berdiri bebas.
semestinya pemerintah membentuk tim pengacara untuk melakukan somasi terhadap para pelaku pelanggaran HKI seperti ini di luar negeri, bukan membuat undang-undang atau peraturan yang justru membuat susah bangsanya sendiri. Sahabat-sahabat kita yang ahli HKI (diluar negeri), sangat prihatin terhadap kreator-kreator tradisional di negeri ini, dan mereka bersedia membantu; tapi kalau pemerintah RI santai saja (mungkin karena takut), ya mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena kalau kasusnya sudah begini negara harus ikut campur: berjuang melakukan perlawanan membantu rakyatnya. Saya yakin teman-teman pengacara Indonesia pun bersedia berbondong-bondong ke luar negeri melakukan pembelaan dan berkolaborasi dengan para ahli disana, tapi-sekali lagi pertanyaannya-apakah pemerintah mau ikut???????? Mudah-mudahan mau ya Pak …
kalau begini aja deh kirim desainnya via pos ke alamat sendiri, secara nggak langsung kecatat tuh kiriman kita tertanggal segitu data desain kita, yang pentingkan tercatat
bicara soal motif, kalo gitu buku2 motif ornamentasi dekorasi yg berjilid2 itu hak ciptanya dipegang oleh siapa? Hak paten publikasinya? dan kalo kita menggunakannya dalam desain kita berarti melanggar hak cipta?
Saya lebih menguatirkan satu teknologi asli milik beberapa pengrajin songket atau tenunan Indonesia yg berazaskan ‘natural dye’, dari warna, pewarnaan, penyatuan warna ke kain, teknik tenunan, semuanya menggunakan bahan alami. Yang satu ini jangan sampai, karena diteliti orang kemudian dijadikan disertasi lalu hak penemuan teknologi ‘natural dye’ ini jadi milik orang lain.
Cerita ttg Desak Suarti di atas perlu kejelasan lebih lanjut. Mungkin ini semua kesalah pahaman. Makanya saya sendiripun masih bingung..
Setuju dg Chacha. Mesti ada kejelasan dulu ttg kasus Desak Suarti ini. Apanya sih yg dipantenkan dan menjadi makanan WTO? Desainnye, motif, warna atau apa? Juga ketakutan seniman unt berkarya perlu rinciannya. Mngapa jadi takut? Takut apa? Semuanya ini perlu agar (setidaknya) “dgi” bisa tetap dingin dan tak terseret menjadi “politis”.
Saya jadi penasaran..
Apakah hal ini hanya terjadi pada kita? atau juga terjadi pada karya2 bangsa lain? Kalau ini memang terjadi, sepertinya harus ada upaya yg lebih global. Gerakan global untuk melindungi karya kultural sebuah suku atau bangsa.
Soalnya jika kita harus mendaftarkannya ke masing-masing negara tujuan ekspor tentu saja sulit.
Saya sangat prihatin dengan kondisi ini semoga saja para “penjarah seni budaya” itu belum mematenkan motif-motif dayak terutama dari suku dayak Kenyah yang terkenal memiliki kebudayaan yang tinggi dari suku-suku dayak yang ada di pulau Kalimantan yang masuk daerah NKRI. Marilah kita bersatu untuk melestarikan seni budaya bangsa kita untuk generasi berikutnya
bukankah keadaan ini justru membuat para pengerajin lebih berpikir kreatif lagi
barang curian tentunya tidak akan pernah menyamai aslinya
so pantang menyerah bagi para pengerajin teruslah ciptakan hal yang baru dan belajarlah dari pengalaman sehingga tidah terjadi lagi pencurian karya seni
god bless u
Setuju dengan rekan2 chaca, memang harus ditelaah lebih jauh. Setahu saya kalau tamu asing order keBali, mereka membawa sample atau gambar sendiri, dan kita dibali hanya sebatas mengeksekusi aja keinginan sitamu asing tadi. Setelah order selesai, sitamu asing tadi mempatenkan sendiri karyanya. Dan kadang diBali, hasil sample dari tamu asing tadi biasanya kita tawarkan dengan tamu asing lainnya tanpa sepengetahuan orang asing yang pertama.
kurang ajar tuh orang main paten-paten segala. pemerintah oy gimana ini?
terima kasih atas masukan-masukannya. berita ini diterima melalui salah seorang kontributor dgi, yang karena menyangkut kekayaan intelektual bangsa maka diterbitkan di dgi pada kategori Identitas KeIndonesiaan/Our National Identity yang memang disediakan untuk menampung isu-isu seperti ini. kejelasannya sedang ditelusuri, dan bila ternyata nuansa politiknya lebih dominan maka berita ini akan ditiadakan. mohon bantuan teman-teman di bali untuk bisa melengkapi berita ini. terima kasih dan salam.
memang kalau dengar hak2 kita di ambil orang lain apalagi pihak asing, tentunya secara emosional semua orang pasti akan marah, mudah2an kedepan akan menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk peduli dan saling menghargai karya-2 anak bangsa yang sangat beragam. harap pemerintah dapat memberikan aturan dengan cara yang mudah, kepada selurah masyarakat, khsusnya kepada seniman yang karyanya ikut mengharumkan nama bangsa.
“prihatin dengan Desak Suarti” jangan pantang menyerah kita semua harus tetap semangat.
diambilnya beberapa kekayaan intelektual karya anak bangsa, sudah terjadi sejak lama oleh orang asing. Namun yang dipertanyakan, mengapa hal tersebut masih saja terjadi sampai sekarang?…ATAU apakah ini merupakan tanda bahwa sudah tidak adanya penghargaan orang-orang Indonesia terhadap karya bangsa sendiri…ATAU pemerintah khususnya tidak mau belajar dengan apa yang telah terjadi, sehingga kasus yang sama terulang kembali… ATAU karya intelektual bukanlah hal yg penting untuk bangsa, yang penting “maju dan berkembang”(apakah itu)??… ATAU masih kita mempertahankan ungkapan “hilang satu tumbuh seribu?” untuk sebuah karya intelektual…dan masih banyak atau-atau yang lain, yang merupakan ungkapan keputus-asaan terhadap masa depan karya intelektual di Indonesia ini.
hmm…jadi miris bacanya…tapi memang bukankah sudah ada pengaturan dari salah satu departemen, kalo ga salah departemen perdagangan ya(maaf kalo salah) untuk pengaturan tentang hak paten bagi hasil-hasil karya para seniman, terutama untuk UKM.Seharusnya pemerintah harus lebih sigap menyikapi permasalahan seperti ini karena semakin banyaknya “pencurian-pencurian” seperti yang di alami Desak Suarti.
Saya bukannya tidak sedih…
Tapi hidup memang butuh perjuangan.
Apa yang sudah kita miliki, harus dipertahankan.
Kebanyakan dari kita baru mengambil tindakan pengamanan setelah kecurian…
Dulu yang dicuri dari kita, rempah-rempah…
Sekarang karya & budaya…
Itu tandanya perjuangan memang tak pernah selesai…
Tahun 1945 kita merdeka, tapi merdeka dari hal apa dulu?
Kejadian ini justru membuat saya semakin yakin kalau Indonesia sangat kaya! Dan pencuri2 itu sangat miskin!
Mungkin karena kita terlalu kaya, hingga jadi kurang awas terhadap harta-benda kita…
Tapi di satu sisi (membaca berita2 selama ini), saya juga jadi bertanya-tanya:
Sebenarnya kita ini kaya apa miskin?
Hmm…
Better bukan saya yang menjawabnya…
Yang pasti, saya setuju untuk sama-sama secara gencar mensosialisasikan masalah “Hak Paten”…
Saya juga ingin mengajak seniman tetap berkarya. Karena jika kita berhenti, akan menguatkan pendapat WTO kalau kitalah yang menjiplak. Kita harus bisa membuktikan, bahwa kitalah pemilik “sumber”nya.
Dan layaknya sumber mata air, seharusnya airnya tak berhenti mengalir…
Tetaplah miliki semangat berkarya!
Apa mungkin, intelektual2 disain/senirupa memberi “short learning” kepada para pengrajin tradisional, tentang hak paten. Mulai dari pentingnya, sampai bagaimana mengurusnya….. sepertinya perlu tuh… sekaligus mencerdaskan mereka dalam berbisnis.
Andaikan saya seniman bali, saya akan membuat karya yang banyak, menjualnya, menabung & terbang menuju luar negri sana, disana kita menetap & kembali berkarya, menabung & membuat surat kependudukan asli sana, berkarya kembali, menabung & sakses…
pemerintah tak akan memikirkan & memperhatikan seniman, rakyat saja sedikit terlupakan…hingga kita mempunyai seorang pemimpin yang mempunyai & pernah merasakan sebuah karya seni!!!
kita bersyukur menjadi bangsa yg berbudaya… bukan bangsa plagiat atau merampok… mestinya mereka maluu…. ini saatnya bersatu, seniman2 Indonesia utk peduli dg sesama… menjadikan budaya leluhur sebagai pijakan seni yang dikembangkan….
Sedikit demi sedikit pemerintah mulai menyadari pentingnya perkembangan ‘creative industry’. Di departemen perdaganagn sudah ada roadmapnya, sedangkan di Depkominfo sedikit demi sedikit sudah mulai diperhatikan dengan adanya Indoensia ICT Award yang telah berlangsung kemaren. Mungkin yang perlu ditindaklanjuti adalah follow-up dari itu semua. SEbatas konsep dah ok.. tapi implementasinya bagaimana?…mudah2an maksud baik pemerintah berkelanjutan.. mengingat era perdaganagn bebas (WTO) sudah di depan mata.
Namun melihat kasus di atas.. ada dua pertanyaan yang muncul di kepala saya: Apakah kurang sosialisasi tentang apa itu HAKI dan bagaimana prosedur HAKI?..atau kurangnya perlindungan akan HAKI kepada insan2 kreatif Indonesia?..JIka kedua hal itu benar.. maka ini adalah PR pemerintah.. khususnya departemen yang terkait langusng..
nb: Lantas sebagai masyarakat.. mari sama2 mensupport..untuk perkembangan creative industry
What had happen? Now and now is the time to Wake up. Sekarang waktunya kita bangun.Bangsa ini harus menghargai kekayaan budayanya.
Benar memang jika kita baru merasa berharga ketika kita kehilangan. Mari perjuangkan kekayaan budaya kita yang masih ada sebelum semua itu terlambat.
Fungsi MDGI lah untuk mengarsip kekayaan2 budaya indonesia. Kapan nih DGI ketemu lagi?
STOP COMPLAINING AND DO SOMETHING. Begin from ourselves. Mulai tumbuhkan apresiasi kita kepada budaya Indonesia dan tularkan pada orang lain.
Susah memang. Itulah yang kita hadapi saat ini. Beberapa waktu yang lalu Reog ponorogo diklaim punyanya Malaysia. Jangan-jangan Indonesia nanti dihakpaten oleh dunia bukan milik masyarakat Indonesia, wah bisa runyam ini. Saudara-saudaraku semua yang Cinta Tanah Air Indonesia, mari kita cari solusi bersama agar semua produk dan kepemilikan Indonesia tidak diakui secara semena-mena oleh bangsa lain.
Pernah liat di berita juga kalo ukiran khas Jepara udah dipatenkan oleh orang Belanda(kalo gk salah) yg menerbitkan sebuah buku katalog berisi motif2 ukiran yg dia klaim sebagai karya dia…
hal ini menyulitkan para pengrajin Jepara karena ada beberapa orang yg sudah dituntut secara hukum, padahal sang pengrajin sudah sejak dulu menciptakan karya2 dengan disain tersebut.
btw, mustinya kita jugaingin tau siapa yang mematenkan
bagaimana hasil jadinya.
hasil versi paten
dan hasil versi asli
supaya clear dan bisa diperdebatkan
oh ternyata udah ada di jakarta post
yang versi bahasa inggris
http://www.thejakartapost.com/news/2008/07/07/foreigners-patent-hundreds-bali-jewelry-designs.html
Katanya sih,di sini posisi Indonesia lemah karena kita sendiri negara pembajak. Coba liat di Tajur brapa banyak yg pake merk asing ??? ini sepertinya tindakan balasan mereka atas apa yg telah kita lakukan.
Berikut petikan email Poriaman Sitanggang, seorang fotografer yang menyampaikan opininya atas berita tersebut:
Saya tidak setuju bila beritanya termasuk kategori sedih. Sebab persoalannya bukan pada urusan hak cipta tetapi lebih pada persaingan ekonomi. Upaya registrasi hak cipta atau paten ternyata rumit dan kompleks juga. DItambah lagi, diperlukan tanggungjawab otoritas paten dalam memahami seluruh proses kreatifnya. Untuk masyarakat Bali dan Jogja, seni membuat desain perak sudah berjalan lama. Jadi. tidak mudah untuk orang asing melahirkan hak paten tanpa argumen yang kuat.
Kecuali kalau memang orang asing itu yang membawa idenya ke Bali. Dia pantas untuk mendapat perlindungan.
Yang penting bagi kita adalah keluar dari cara berfikir manja. Saya kira untuk contoh yang baik adalah mbak Ika sebagai fashion designer. Ika sukses menghadapi persaingan di dunia yang makin dinamis sifatnya. Di dunia yang kian datar (meminjam pikiran Thomas L.Friedman: The World Is Flat), persaingan kian terbuka dan urusan hak cipta semakin kompleks. Jadi, mari kita berjuang dan berdagang terus saja.
aq turut prihatin,!!
Apakah berita tersebut benar adanya? Mudah2an tidak ya. Mohon dicek lagi supaya tidak menimbulkan rasa marah nasional seperti kasus Ambalat, batik, angklung, rasa sayange dan reog.
Saya setuju opini Ahmad Rivani. Perlu dibedakan antara pencetus dan pembuat. Mudah2an sekali lagi, berita tentang penyerobotan karya kreatif tersebut, tidak benar.
sepertinya ada kerancuan atas berita di atas, karena membahas dua hal yang sangat berbeda.
pertama, hak cipta desain perhiasan ada di bawah hak desain industri, bukan hak paten, karena hak paten menyangkut penemuan di bidang teknologi. mungkin ini cuma pengaruh kebiasaan bahasa; ‘mematenkan’ yg arti bebasnya mengakui hak sepenuhnya.
kalau ada penemuan baru dalam teknik membuat perhiasan, hal itu bisa dipatenkan.
hak cipta umumnya dipegang oleh pihak yang memberi pekerjaan, jadi tanpa perjanjian khusus pemberi pekerjaan berhak mengakui hak ciptanya. pencipta sudah mentransfer haknya, jadi tidak berhak memperbanyak karya tersebut tanpa ijin dari pemegang haknya.
kedua, motif tradisional tidak bisa diakui hak ciptanya oleh suatu pihak atau perusahaan, karena sudah milik publik. pengakuan hak cipta oleh suatu komunitas atas suatu motif tradisinya bisa dilakukan atas niatan perlindungan agar tidak terjadi penyalahgunaan makna sakral atau penghilangan makna konteks motif. ini yang dilakukan komunitas aborigin kepada pemerintah australia, supaya motif tribalnya tidak disalah aplikasikan.
jadi, yang di’patenkan’ pihak asing pastilah hasil akhir desainnya, yang boleh saja berasal dari/memuat motif tradisional, tetapi harus ada konfigurasi tambahan kreativitas sendiri yang menyebabkan tampilan akhir sangat unik/khas, karena salah satu syarat pengakuan hak cipta adalah adanya unsur original (menurut hukum).
jadi, pengrajin perak tidak usah resah untuk menggunakan motif asli bali untuk mengembangkan kreasinya.
menarik menyimak pendapat I Kadek Mustika, pemilik kerajinan perak di Bali yang mengatakan bahwa mereka yang mematenkan desain itu pemalas, tidak mau menggunakan kepalanya untuk membuat desain baru, dan bisanya hanya kerja sedikit, tapi mengharap hasil yang banyak.
wah wah wah, kacaw jg yah! jd prihatin jg
o ya 1 lg, majuuuu terusss anak bangsaaaa
Mestinya di sosialisasikan dong…gimana sih cara patennya
apa aja yang mesti di paten, kasih tips dan tricksnya, gimana sekali paten seluruh dunia tahu, ato mesti paten setiap negara?
Kita kan seniman, bukan orang hukum.
I think klo pemerintah peduli, langkah pertama adalah sosialisasi ke para praktisi.
Saya turut sedih baca pengalaman desak suarti dan pengerajin2 lainnya.
- Pertama kali saya memang melihat pemerintah kurang menghargai budaya2 Indonesia sendiri. Kayaknya bukan pemerintah Indonesia saja, mgkn banyak juga anak-anak muda saat ini lebih cenderung meniru2 budaya barat daripada tradisi budaya nasional sendiri.
Tp kenapa justru kita kebakaran jenggot pd saat pihak lain nyolong salah satu hasil budaya kita??
Intinya sih kurangnya ada kesadaran diri kita sendiri, atau pemerintah untuk menghargai harta dari negeri sendiri. Bikin hak cipta - hak paten jg sepertinya kurang didukung oleh pemerintah juga sih.
terkadang kita memang sepele terhadap suatu hal..
tp hal ini bukan yang pertama lo,…
mari sama2 menjaga budaya bangsa ini.
gw bakal bilang dan ajak siapa aja yang mw bekerjasama, untuk sama2 melestarikan budaya bangsa ini.
Kalau menurut saya yang awam masalah pemerintahan dan masalah kampanye politik. Kalau saya mau berkuasa terus saya akan terus memberi pelayanan kepada publik sampai puas, hukum ditegakan seadil-adilnya, rakyat disejahterakan dan dipintarkan(tidak ada lagi berita kemiskinan). Insyaallah mau berkuasa seumur hidup juga kita merestui
powers tend to corrupt.
masalah pencurian budaya dengan cara mematenkan secara legalitas hukum adalah hal yang tidak masuk akal, dan saya pikir, budaya kok dibajak dengan cara hukum dagang, budaya adalah hasil dari proses panjang dari suatu koloni yang terikat dalam norma, adat-istiadat,kepercayaan dan komunikasi antar individu dalam koloni itu serta faktor-faktor luar lain yang mempengaruhinya sehingga menghasilkan dengan kebudayaan, dimana hasil nyata dari budaya bisa dalam bentuk kekayaan hasil karya tari, lukis, kerajinan, bahasa, dsb. karena budaya adalah sifat, karakter dan identitas suatu koloni. saya pikir bagaimana mungkin orang mematenkan budaya suatu koloni atau bangsa untuk jadi milik individu. hak paten adalah hak yang tujuannya adalah untuk dagang, bisnis, dan industri. Nah dari pada kita bingung, menurut hemat saya biarin aja orang-orang dungu yang rakus harta itu mematenkan. Selanjutnya kita tantang dan tuntut saja mereka untuk membuktikan secara terbuka bagaimana proses mereka “menciptakan temuan” mereka didepan publik dunia dan hukum, saya yakin betul mereka tidak bisa, karena tidak memahami dasar, filosofi dan konsepnya. Karena seperti yang kita ketahui bahwa syarat mematenkan adalah orisinalitas karya, yang berarti mereka harus tahu proses “membuatnya”. Saya rasa perlu adanya pembenahan pada hukum hak cipta atau paten, dan permasalahan ini sebenarnya berada di tangan pemerintah kita untuk melindungi karya cipta anak-anak bangsanya, tapi yah….begitulah pemerintah kita kayaknya acuh, oleh karena itu si seniman atau kreator di bantu masyarakat kita sendirilah yang harus menuntutnya, karena menunggu pemerintah kita bergerak kayaknya seperti menegakkan benang basah.
seharusnya kita jangan asal percaya ama orang luar,dan pemerintah kita jangan cuman bisa bilang perduli, tapi do nothing,..tp ini juga teguran buat seniman indonesia,yang suka menjeplak karya luar dan mengatakan bahwa itu hasil karya mereka,…terutama dalam hal cinema,..sebab banyak tuh film2 korea atau jepang yang ceritanya dijeplak orang indonesia trus dijadiin sinetron…bagi gua mau orang indonesia ataupun orang luar yang mematenkan karya orang lain,atau mengakui karya orang lain sebagai karyanya its a biggg loser…
Daripada rusuh2 sendirian (alias kebakaran jenggot gak jelas), mending kita harus ambil langkah nyata sebarin berita ini ke luar negri. Coba wawancara langsung ke Bu Desak Suarti dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris. Kumpulkan data2, seperti surat2 dari WTO dlsb.
Setelah itu, buatlah website atau blog dalam bahasa inggris yang memuat cerita ini dan segala kelanjutannya. Masukkan ke dalam website berita web2.0 (reddit, digg, del.icio.us, YOUTUBE) tentang masalah ini atau kirimkan dalam bentuk email forward ke teman2 anda di luar negeri. Buat suatu perjuangan untuk memboikot orang2 yang mempatenkan.
Kalau semua orang terlibat dan bisa membuat suara kita didengar di dunia ini (via dunia maya), pasti kita bisa membuat perubahan. Bila vendor2 di luar negeri sana yang menjual barang tukang paten (baca: maling) bisa mendengar hal ini, semoga Ibu Desak bisa mendapatkan imbalan yang sepantasnya dia menerima.
JANGAN CUMA MENJADI KORBAN DAN KOMPLEN DOANK!!! MARI MEMBUAT HAL YANG NYATA DEMI HARGA DIRI BANGSA!!! Gaung suara di internet lebih keras daripada ! Suarakan suara anda!
Salah satu perampok kekayaan intelektual Indonesia:
http://www.johnhardy.com/
http://www.sustainableadvertising.org/bamboo.asp
sepertinya bangsa Indonesia Harus lebih banyak lagi untuk belajar bersabar dan Instrospeksi..
dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa ternyata banyak orang asing yang lebih cinta dan lebih peduli dengan budaya Indonesia.
sebagai generasi muda tulisan ini bisa membuat rasa nasionalisme dan kebangsaan saya bertambah..mari bersama-sama kita lestarikan dan lindungi budaya asli Indonesia
Tuhan Maha Adil… saya hanya minta pada Nya semoga segala masalah di negeri kita tercinta selesai dalam damai dan ada di jalan Tuhan, semua ada karmanya sendiri.. rejeki gak akan tertukar.
untuk someone, anda jangan trlalu naif, disini permasalahannya bukan masalah menjiplak karya seni orang lain tapi mengambil kepemilikan alias mencuri suatu ide orisinal suatu karya, suatu budaya diakui menjadi mlik orang lain itulah masalahnya, yang anda maksud itu adalah membajak karya orang lain, memang benar yang anda utarakan bahwa indonesia negara tempat pembajakan hak cipta, memang ini mentalitas big looser tapi bukan mengambil kepemilikan ide itu sendiri. tapi memang baik pencuri maupun pembajak sama2 brengsek, dan mau gak mau harus kita akui kita bangsa yang suka mengunakan pembajakan untuk kepentingan bisnis. hal ini bukan salah kita semata tapi menurut saya kesejangan kesejahteraan ekonomi antar bangsa dan bukan lagi kesejangan ekonomi masyarakat kita saja yang menyebabkannya.
kenapa ya warisan bangsa Indonesia bernasib malang?
menurut pendapat saya, sebaiknya pertukaran pelajar tuh jangan terlalu dibebaskan untuk mempelajari kesenian bangsa Indonesia. Jika kesenian kita dipelajari, sebaiknya di laporan mereka (pelajar asing) harus ada surat kuasa dari yang berwenang, kalo bisa sampe di-ACC ke bapak Presiden, bahwa kesenian yang dipelajari itu ada sumbernya dari propinsi, daerah apa (masih di kepulauan Indonesia).
jadi, jika negara asing tertarik untuk mencuri dan ada dalihnya kalo itu hasil karya mereka, yaaa di surat kuasa itu jadi buktinya.
saya lahir di Bali, tapi orang tua Tasik. Waktu kuliah belajar motif Bali. Lucu, elegan, klasik, pokoke banyak deh sifat seninya. suka banget dong ama kesenian mereka.
dari yang menggambar tradisi Bali, belajar gradasi pake tinta dan kuas, dari ukuran kecil ke ukuran besar, trus ke wayang tradisi Bali.
wei, jangan-jangan wayang tradisi Bali juga ikut di-hak paten juga ama mereka. wah, harus cepat bilang ke budaya-indonesia.org
aduh, jadi panes nih hati gue!
oh iya, ada situs yang hasilnya mirip karang sae tapi ada perpaduan robotnya. dari situ saya jadi gerah melihat motif dari Bali kok jadi mereka yang duluan memodifikasi jadi gaya urban.
Trus gimana ending ceritanya? apakah WTO melakukan further investigasi mengenai produk tersebut? Apakah ada yang membantu sdri Desak? what to do for this matter and other similar problems?
berita terakhir di detiknews: http://www.detiknews.com/read/2008/09/12/122816/1005036/10/pemerintah-harus-advokasi-kasus-paten-perajin-perak-bali atau http://www.detiknews.com/read/2008/09/12/174908/1005320/10/john-hardy-patenkan-motif-unik-terinsipirasi-keindahan-bali
simak juga “HAKI, Melindungi atau ‘Menjajah’ Kita? di: http://komunitaskreatifbali.wordpress.com/2008/09/22/haki-melindungi-atau-menjajah/
wah gmn tanggapan pemerintah neh??
hal yang kecil aja gak peduli gini???
lama2 buda ya indonesia abis aja di jarah ma luar??
terus indonesia punya apa??
Berikut terlampir tanggapan Puslitbang Kebudayaan Bapak Junus Satrio A menjelaskan apa yang telah dilakukan pemerintah pada kekayaan kebudayaan Indonesia:
Pak Han dan rekan-rekan yang baik.
Walaupun saya tidak menerima langsung email dari bapak dan ibu sekalian, tetapi setelah membaca tanggapan dan usulan-unsulan yang saya peroleh dari orang lain, saya secara pribadi ingin sharing pemikiran dan imformasi tentang upaya pencatatan mata budaya yang kini tengah dilakukan oleh pemerintah.
1. Tidak benar bahwa pemerintah yang “super sibuk” tidak memikirkannya. Kita sudah mengembangkan sistem pencatatan kekayaan budaya tersebut sejak tahun 90-an, waktu itu diberi nama Sitem Informasi Kebudayaan Terpadu (SIK-T). Sayangnya, dan harus diakui bahwa setelah terjadinya penggabungan antara kebudayaan dan pariwisata pekerjaan besar ini terhenti tanpa kejelasan. Salah satu yang menjadi sebab adalah keluarnya undang-undang tentang “otonomi daerah”. Informasi yang semula secara rutin terkirim ke Jakarta ke SIK-T serta merta berhenti semenjak tahun 1999. Bahkan data dan tim yang sudah terbentuk di daerah pun hingga sekarang tidak jelas rimbanya.
2. Untuk mengatasi permasalahan ini, saat ini kami tengah membuat sistem baru yang masih perlu diuji coba konsep dan kemanfaatnnya bagi semua pihak. Untuk maksud itu beberapa bulan lalu kita sudah mendatangkan seorang ahli dari UNESCO Paris guna menyampaikan protokol mereka didalam pengakuan mata budaya tertentu sebagai “warisan dunia”. Di dalam pertemuan ini banyak unsur LSM, pemerhati, dan pelaku kebudayaan, dan guru yang diundang. Topik yang diangkat adalah pencatatan karya non-fisik (tak benda, intangible). Dalam kesempatan itu beliau memuji upaya yang tengah dilakukan Indonesia karena di kawasan Asia baru India, Cina, Vietnam, dan Tahiland yang mengembakan pemikiran ini dan mengambil langkah-langkah nyata untuk memanganinya. Cina misalnya, selama beberapa ‘puluh” tahun telah berhasil mendata lebih kurang 500 entry yang mereka kategorikan sebagai “warisan budaya nasional”. seluruhnya dilakukan oleh pemerintah sesuai sistem politik yang berlaku di sana. India, dengan cara yang berbeda, juga mengumpulkan informasi yang cukup besar. Bedanya, mereka melakukannya dengan sistem “open source” dimana setiap orang dapat memasukkan usulan dan memberi informasi apa yang mereka anggap perlu. Semacam WIKIPEDIA FREE ENCYLOPEDIA yang populer di internet. Vietnam baru menyelesaikan konsep mereka dan tengah melaksanakan pengumpulan data. On going project ini sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah bekerjasama dengan banyak lembaga di daerah. Fokus mereka adalah pengumpulan data berdasarkan kewilayahan.
3. Apa yang tengah dikerjakan oleh Indonesia? Pertama, yang dapat saya sampaikan bahwa kita sekarang tengah membuat landasan hukum untuk melakukan pendaftaran itu. Depdagri dan Kominfo mungkin akan dilibatkan untuk memudahkan pengumpulan data. Sifat data itu sendiri adalah terbuka, dimana setiap orang atau lembaga dapat mengusulkannya. Kita memilih konsep ini setelah mempertimbangkan sistem pemerintahan yang terbagi menjadi beberapa wilayah. Masalah siapa berhak melakukan apa harus jelas benar, supaya sistem yang dibangun benar-benar jalan. Sistematika berjenajng tentang usulan pun hingga sekarang belum sepenuhnya diterima. Salah astu kendala adalah keengganan banyak pemerintah daerah untuk mendukung pekerjaan kebudayaan karena “tidak menguntungkan” Hal ini tampaknya sudah menjadi pengetahuan kita semua…. Saya yakin bahwa membangun sistem secara konseptual mudah, tetapi memeliharanya yang sukar. Pengalaman sejauh ini membuktikan bahwa di awal proses semua orang menggebu-gebu, tetapi in the end of the day dengan berbagai alasan akhirnya satu per satu surut karena tidak mau direpotkan hal-hal rutin.
4. Alternatif yang sudah dijajaki -dengan mengambil contoh kasus Cina yang berat ke pemerintah dan India yang berat ke masyarakat- Indonesia mungkin akan mengerjakannya mirip Vietnam, yaitu mengabungkan proses pengumpulan informasi dari masyarakat dan pemerintah daerah kemudian pemetapannya dilakukan secara berejenjang oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah di tingkat provinsi. Ini berarti bahwa mata budaya yang dicatat sebagai kekayaan budaya harus berasal dari daerah kabupaten. Sekali lagi, pemikiran ini didasarkan atas sistem pemerintahan kita. Akan tetapi, yang berbada pengusulan itu nantinya dapat dilakukan menggunakan dua jalur. Pertama ya melalui dinas-dinas yang menangani kebudayaan, dan kedua adalah melalui unsur masyarakat (yayasan, paguyuban, kelompok, masyarakat adat, seniman, budayawan dll.) langsung menggunakan internet. Sistem ini memberi akses yang cepat dan kuantitas data yang terkumpul dalam waktu singkat. Kelemahannya akan ada pada aspek kualitas data, khusus akurasi informasi. Oleh karena itu tetap dibutuhkan pihak yang secara rutin membaca, memperbaiki, dan memilah untuk menetapkan mana yang akan tercatat sebagai “warisan budaya nasional” dan mana sebagai “warisan budaya daerah”. Hanya kelompok yang tercantum sebagai “warisan budaya nasional” saja yang dapat diusulkan ke UNESCO untuk dicatat sebagai “warisan budaya dunia”. Proses pemilihan mata budaya itu di ketiga tataran ini membutuhlkan waktu dan dukungan banyak pihak. Sebagai fasilitator, pemerintah tidak akan mengusulkan apa-apa selama belum disepakati masyarakat. Jadi, masyarakat sendirlah yang memutuskan. Cara ini untuk menghindari kesalahan bersama.
5. Guna mencapai tujuan itu, kiranya dapat lontarkan beberapa pertanyaan. a) siapa saja yang berhak mengisi database pengusulan; b) dimana data itu akan disimpan, c) bagaimana menyelesaikan permasalahan data entry yang sama — siapa yang berhak mengedit?; d) siapa yang akan memelihara sistem; siapa yang akan menangani claim; dan e) siapa yang bertanggungjawab untuk menetapkan tataran warisan budaya di tingkat nasional dan daerah. Permasalahan ini, dan masih banyak lainnya, perlu dibicarakan secara terbuka bila semua pihak mau berkosentrasi membangun sistem seperti di negara lain. Bukan hanya pemikiran tetapi juga masalah tentang jejaring, biaya, peralatan, dan standar-standar yangakan kita pakai bersama. Baru setelah itu kita akan memperoleh hasil yang diinginkan. UNESCO sendiri sudah mengatakan bahwa mereka tidak akan mencantuman usulan sebagai “warisan budaya dunia” bila bukan pemerintah negara anggota yang mengusulkan beserta bukti-bukti yang bisa diakses. Jadi, PR ini adalah milik pemangku kepentingan (stake holders) Indonesia dimana pemerintah masuk di dalamnya.
6. Dalam konteks butir 5, perlu saya klarifikasi bahwa hak paten yang dibicarakan sebenarnya hanya mengacu kepada karya cipta seseorang atau kelompok berdasarkan bukti-bukti yang saha dan bisa diuji proses penciptaannya. Sedangkan karya milik komunal (masyarakat) tradisional yang sudah dipraktekan secara turun temurun tidak akan tercakup di dalam payung protokol hak cipta, melainkan pada hak-hak komunal. Sepert halnya tari gambyong dari Jawa, tor-tor dari Sumatera Utara, atau legong dari Bali yang tidak diketahui penciptanya karena sudah diterima oleh kita sebagai sebuah warisan. Royalty (baca: kompensasi) karenanya tidak berlaku, yang wajib dilakukan oleh pihak pengguna di luar “pemilik” kesenian tersebut adalah menyampaikannya secara terbuka asal usul kesenian itu kepada publik. Hal yang sama juga berlaku untuk tempe, batik, atau keris. Walaupun demikian, pembuktian historis tentang muncul dan berkembangnya sebuah mata budaya dapat menjadi alasan untuk menolak pemanfaatan dan claim pihak lain. Hal ini pernah dilakukan oleh India yang menolak pengakuan perusahaan di Amerika bahwa kunyit merupakan temuan baru sebagai unsur obat. Menggunakan naskah-naskah kuno yang banyak jumlahnya di India mereka bisa membuktikan bahwa sudah lebih dari seribu tahun kunyit dipakai sebagai obet di India. Akibatnya tuntutan itu gugur dengan sendiri. Upaya seperti ini juga kita lakukan di Indonesia bersama ibu Edi Sedyawati yang kini tengah ditangani oleh Puslitbang Kebudayaan. Intinya, perlu dibedakan antara karya (dalam pengertian kreasi) dengan tradisi memiliki implikasi yang berbeda.
Pak Han, kasus di Bali yang menggelitik itu sudah terjadi, akan banyak lagi yang akan muncul di tahun-tahun mendatang. Sudah saatnya kita tidak menuding siapa pun yang salah. Harus kita sepakati bahwa kitalah yang salah dan masyarakat yang harus menerima akibatnya. Maka, saya sangat ingin pencatatan kekayaan budaya nasional ini dapat dikerjakan secara profesional dan proporsional demi masyarakat. Urun rembug pemerhati dan pelaku kebudayaan diharapkan supaya kita memperoleh hasil yang baik. Sinergi itu hanya mungkin terwujud bila kita bekerja dengan tulus, namun untuk mewujudkannya dibutuhkan waktu dan tekad yang terukur.
Semoga informasi dan urun pemikiran ini bisa menjadi pertimbangan Pak Han dan kawan-kawan.
Salam dan selamat berpuasa
Junus Satrio A.
Puslitbang Kebudayaan
kenapa kita mau menjual hak cipta kita? ingat kalau ada orang asing yang ingin membeli dengan cara mengambil hak cipta kita, seharusnya kita tidak usah mau. cukup kita menjual produk kita ke dia….
Kayaknya sebagian pengrajin belum paham mengenai fungsi dan manfaat dari perlindungan HaKI atas produknya. Namun di sisi lain, kita pun tidak bisa menutup mata juga bahwa ada sebagai pengusaha yang juga tidak menghargai HaKI orang lain. Indikasinya adalah Indonesia termasuk “priority watch list” yang artinya masih tergolong negara yang sering melanggar HaKI. Jadi perlu ada gerakan dan tekad bersama untuk mensosialisasikan HaKI
saya sudah 20 thn terjun didunia disain perak…dan saya kasi beberpa berusahaan terbesar dibali….tapi tidak pernah terjadi benturan dipasar internasional maupun lokal….saran saya para designer mohon pake ETIKA DESIGNNER..jangan orang pothografer coba2 terjun jadi designer aksesoris..mohon belajar lebih jauh seperti si DENY…itu..sangat memperkeruh masalah…efeknya..pengadilan si deny..memang menang dlm sidang di indonsia..coba pikir dinegara luar justru kita dijadikan korban KRISIS ..bayangkan semua jadi dirugikan…
politik luar negeri jauh lebih pintar..makanya lebih berhati2 bersikap jangan gegabah…bayangkan ..saya sebagai pengrajin dan designer dibali berapa orderan ditolak dan anehnya tanpa alasan yg pasti…itulah setelah saya pelajari..kita jauh kalah berpolitik…saya memang diam aja..tdk mau berkontar..waktu kejadian itu..tapi kenapa kita semua kena efeknya…disebabkan oelh salah seorang…jngn main api..pikir dulu sebelum bertindak…saya sedih…karyawan saya ,teman kehilangan pekerjaan..gara2 polotik
saya hanya bingung membaca artikel ini, kenapa kok bisa malah warga negara asing yang mempatenkan motif2 patra yang dmiliki orang bali dri jaman dulu, kenapa bisa seperti itu, dan knpa pmerintah tdak melarang atau mnindak lanjutinya? jika seperti ini kemungkinan kedepannya perak bali akan pudar karena kurang bebasnya para pengerajin berkarya karena hal tersebut …
Dari facebook Enin Supriyanto, 29 Januari 2015, mengomentari artikel ini:
Kasus ini sesungguhnya menunjukkan bahayanya menganut paradigma ‘ekonomi kreatif’ yang bertumpu pada paham mendapatkan untung (“nilai lebih”) dari “hak cipta” yang dianut sitem ekonomi liberal (dan global) sekarang ini. Sepuluh tahun lalu, soal ini sempat saya ajukan saat pertemuan dengan sejumlah “pakar ekonomi kreatif” Bristish Council yang menawarkan gagasan ‘pentingnya pekerja kreatif Indonesia menganut konsep ekonomi kreatif’.
Kritik dan penolakan saya pada gagasan pokok bahwa “ekonomi kreatif adalah upaya pendapatkan nilai tambah/nilai lebih dari karya kreatif berdasarkan prinsip hak cipta”, karena kenyataannya di Indonesia ada banyak jenis kerja kreatif di masyarakat tidak berjalan dan dikembangkan berdasarkan prinsip hak cipta individual; tapi berbasis tradisi, diteruskan secara turun-temurun, kolektif, komunal. Bagaimana mereka masuk dalam kerangka “hak cipta/ekonomi kreatif” tadi? Yang lebih mungkin terjadi adalah mereka dieksploitasi dan terjebak dalam mekanisme “hak cipta” itu.
Itulah sebabnya, saya tak pernah semangat mendukung penerapan konsep “ekonomi kreatif” itu, sebelum kita sungguh-sungguh paham dan punya cara tepat untuk melindungi “kekayaan kreatif” kita yang banyak berbasis kerja kolektif dan bukan individual, berkembang turun-menurun di komunitas sana-sini, menyebar ke berbagai wilayah dan beralihrupa jadi berbagai variasi.
Dan sekarang, beginilah jadinya:
http://dgi-indonesia.com/news-kisah-sedih-dari-bali/
hai, ikutan nimbrung ya … kalau sepintas saya baca dari artikel diatas dan dari komentar temen2 semua … sebenernya masalah hak paten ini memang sangat memusingkan tidak usah jauh2 mengenai hak paten desain yg begitu pelik, tentang paten nama saja banyak sekali kejadian yang kadang tidak masuk akal. Saya pribadi pernah mengetahui ada sebuah salon kecil di kota kelahiran saya yang menggunakan nama neneknya yang sudah almarhum ( dimana pemilik yg sudah generasi ketiga berusia 50 tahun ) di somasi oleh sebuah radio yang cukup terkenal karena nama salon tersebut ( nama julukan si nenek ) kebetulan sama dengan nama salon tersebut!! apakah hal ini tidak lebih lucu daripada kisah diatas? tetapi karena si pemilik salon tidak mempunyai biaya, keberanian dan kemampuan untuk bertindak maka digantilah nama salon tersebut. Saya yakin hal seperti ini sangat banyak terjadi karena adanya perubahan ekonomi, politis indonesia dan dunia yang begitu besar, saya pernah juga mempunyai klien yang melayangkan somasi ke salah sebuah distributornya yang memang membajak karya dia, dan hasilnya adalah klien saya yang kalah karena pihak distributor tersebut sudah melakukan pematenan bentuk produk dulu sebelumnya. Selama hukum paten masih bisa “diatur” oleh sejumlah duit dan alasan politis lain akan sulit untuk menghalangi hal - hal seperti ini terjadi, tetapi kita sebagai pelaku usaha, ataupun seniman, ataupun desainer sebaiknya tidak harus “takut” dengan masalah-masalah seperti ini, tetapi sebaiknya kita “mawas” dan berhati-hati dalam berkarya, sembari bekerjasama membuat hukum paten menjadi lebih baik. Anyway, … saya pribadi sangat berharap sekali pemerintah indonesia bisa benar2 memperhatikan hak kekayaan intelektual bumi indonesia
salam
klo boleh komen sih….hak paten yg diberikan itu sih sgt berguna bagi sipembuat karya,karena telah susah payah mencari bahkan menggali ide…klo dipandang dari segi ekonomi memang sangat menguntungkan dalam tanda kutip jika karyanya bisa diterima dimasyarakat, tetapi terlebih lagi pasti akan ada masanya suatu karya itu tak sepopuler pada masanya,setidaknya klo tidak populer lagi,ada catatan yg menyatakan bahwa sipolan adalah penciptanya,yaitu spt hak moral yg diberi negara pada si pembuat karya.