Oleh: Hastjarjo B Wibowo
Awal Pendidikan DKV
Diawali dengan Jurusan Reklame, Dekorasi dan Ilustrasi Grafik (REDIG) pada 15 Januari 1950 dengan berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Pada tahun 1969 bersamaan dengan berubahnya ASRI menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) “ASRI” Jurusan REDIG dipecah menjadi Jurusan Seni Reklame, Jurusan Seni Dekorasi dan Jurusan Seni Grafis. Pada tahun 1972 STSRI “ASRI” menyelenggarakan ujian S-1 yang pertama kali untuk para BA Seni Reklame. Nama Jurusan Seni Reklame dipakai sampai tahun 1982. Pada tahun 1983 Jurusan Seni Reklame berubah menjadi Jurusan Disain Komunikasi. Pada tahun 1984 bersamaan dengan perubahan STSRI “ASRI” menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta melalui fusi dengan Akademi Musik Indonesia (AMI) dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), Jurusan Disain Komunikasi berubah menjadi Program Studi Disain Komunikasi Visual hingga saat ini.
Tahun 1967 dirintis Studio Grafis Jurusan Seni Rupa di FTSP ITB. Pada tahun 1973 dipecah menjadi Studio Seni Grafis dan Desain Grafis. Tahun 1984 Studio Desain Grafis berdiri sendiri. Pada tahun 1994 Studio Desain Grafis berubah menjadi Studio DKV di bawah Jurusan dan pada tahun 1997 menjadi Program Studi DKV di bawah Departemen Desain. Tahun 2006 menjadi Program Studi DKV setingkat Jurusan di bawah fakultas.
Pendidikan Tinggi DKV berdiri di IKJ pada tahun 1977, DKV Universitas TRISAKTI tahun 1979, DKV UNS tahun 1981, DKV Universitas UDAYANA (UNUD) tahun 1981 (FSRD UNUD akhirnya menjadi ISI Denpasar setelah fusi dengan STSI Denpasar).
Era 1990-2000an
1990 ditandai dengan berdiri DKV di STISI Bandung dan kemudian diikuti oleh UPH pada tahun 1994. Hingga sekarang sekitar 70an pendidikan tinggi DKV telah dan segera berdiri di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Salatiga, Solo, Malang, Surabaya, Bali, Makassar dan menyusul di beberapa kota lainnya. Saat ini beberapa universitas negeri eks IKIP bahkan eks IAIN telah dan berencana membuka jurusan/program studi DKV terutama yang mempunyai jurusan seni rupa.
Pertumbuhan pendidikan DKV tersebut tidak lepas dari perkembangan teknologi dan media informasi maupun gaya hidup. Hampir semua sektor seperti konsumsi, hiburan, media, infrastuktur, properti, keuangan, pendidikan dan sebagainya membutuhkan sentuhan desainer komunikasi visual. Fenomena ini yang membuka peluang tumbuhnya profesi-profesi baru terkait dengan DKV yang pada akhirnya meningkatkan permintaan akan jasa pendidikan DKV.
Jika dulu seseorang mempunyai cita-cita keren dengan menjadi dokter, insinyur, dan pilot namun sekarang di era ekonomi kreatif profesi-profesi di bidang kreatif mulai menjadi pilihan utama. Menjadi musisi, penulis, DJ, film maker, animator dan desainer komunikasi visual menjadi salah satu pilihan profesi favorit saat ini di samping banyak profesi di bidang kreatif lainnya.
Jenjang Pendidikan Tinggi DKV
Masalah lain yaitu rancunya jenjang pendidikan DKV, mengakunya S-1 tetapi tidak punya kemampuan akademik hanya jago mengoperasikan komputer. Orang bilang “thinking”nya nggak ada! Nggak konseptual! Padahal dalam sistem pendidikan nasional sudah jelas ada pendidikan professional stream dan academic stream (meminjam istilah pak A.D. Pirous) atau istilah mudahnya pendidikan berbasis industri dan pendidikan berbasis wacana.
Penyelenggara pendidikan tinggi DKV dalam memasarkan produknya menjanjikan lulusan sarjana S-1 yang siap pakai di industri. Akibatnya kurikulum akhirnya dikemas bak politeknik yang lebih mementingkan skill bukan kemampuan akademik semata. Dampak lainnya di antaranya tingkat riset yang bermutu di jurusan DKV sangat rendah dikarenakan dosen-dosennya juga banyak yang berasal dari produk kurikulum salah kaprah tersebut sehingga kemampuan risetnya sangat rendah.
Padahal dalam sistem pendidikan nasional jelas-jelas sudah ada wadahnya bagi PT DKV yang ingin menciptakan lulusannya seorang sarjana profesional yaitu melalui program D-4 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (SST). Alangkah bijaknya jika PT DKV membuka dua jalur program yaitu S-1 untuk yang beminat di bidang akademik dan program D-4 untuk yang ingin menjadi profesional di bidang DKV. Bagi lulusan S-1 silahkan melanjutkan ke S-2 dan S-3, sementara bagi lulusan D-4 dapat mengambil sertifikasi-sertifikasi profesional baik nasional maupun internasional.
Bagi para penyusun kurikulum juga akan lebih mudah dalam membuat kurikulum pendidikannya sehinga tujuannya dapat dicapai. Tidak seperti yang banyak terjadi mahasiwa ditekan agar menjadi sarjana profesional sekaligus konseptual dalam waktu 8 semester yang cukup pendek.
Diperlukan suatu keberanian dari penyelengara pendidikan tinggi DKV untuk secara jujur menyatakan jenjang pendidikannya D-4 atau S-1. Bukan menjadi banci atau hanya sebagai kemasan dalam strategi pemasaran yang menjurus pada penciptaan kebohongan publik.
Mahasiswa DKV
“Pokoknya kerenlah!” kuliah di DKV ujar seorang anak muda yang menganggap pilihan kuliahnya merupakan bagian dari gaya hidup kontemporer. Namun besarnya animo kuliah DKV seringkali tidak dibarengi dengan effort dalam berkarya. Hal ini dapat dirasakan makin sulitnya mengajar mahasiswa DKV jika dibandingkan 10 tahun yang lalu.
Mahasiswa DKV generasi sekarang sering mengabaikan proses dalam berkarya, inginnya serba instan. Inginnya langsung menjadi desainer yang sakti mandraguna, kaya dan terkenal tanpa mau bersusah payah. Di lorong-lorong kampus sering ditemui mahasiswa menenteng-nenteng notebook canggih MacBook Pro terbaru namun bukan untuk menyelesaikan tugas hanya cukup puas untuk mengelola “facebook”. Keadaan ini dimungkinkan terjadi karena makin sejahteranya para mahasiswa DKV. Biaya kuliah dan overhead yang harus ditanggung untuk menyelesaikan kuliah DKV cukup tinggi sehingga otomatis yang mampu berkuliah juga mempunyai tingkat ekonomi cukup baik. Sehingga seringkali daya beli lebih menjadi pertimbangan penting bagi pemilik pendidikan tinggi dalam menerima mahasiswa bukan karena kemampuannya. Kalaupun pendidikan tinggi menyediakan beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu yang berprestasi jumlahnya pun tidak signifikan. Memang tidak semua mahasiswa berperilaku buruk namun dirasakan semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Selamat bekerja keras para dosen! Dibutuhkan effort yang luar biasa bagi dosen dalam menjalankan tugasnya, juga bagi mahasiswa agar dapat menyelesaikan kuliah DKV. Bagaimana tidak? Bagi mahasiswa tidur menjadi barang yang mewah karena harus begadang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tak kunjung henti.
Semakin berkembangnya pendidikan tinggi DKV secara kuantitas juga membuat persaingan antar mahasiswa maupun lulusan DKV semakin keras. Tiap tahun ribuan mahasiswa DKV mencari tempat untuk kerja praktek dan harus bersaing dengan sengitnya mengingat keterbatasan tempat yang tersedia di industri terkait. Demikian juga lulusan DKV harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan kesempatan kerja. Waktu tunggu dalam mendapatkan pekerjaan juga semakin panjang.
Di sisi lain mahasiswa sering kali tidak mendapatkan pelayanan yang baik dalam fasilitas pembelajaran di kampus yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan dalam promosinya, kurikulum yang seringkali lebih bagus tertulis daripada implementasinya, dosen-dosen dengan kompetensi yang rendah karena kurang “gaul”. Dalam menghadapi kenyataan seperti itu seringkali mahasiswa hilang daya kritisnya hanya menerima saja tanpa menuntut hak yang sewajarnya harus diterimanya. Bermacam sanksi akan diterima mahasiswa jika tidak menuntaskan kewajibannya terhadap kampus mulai dari pembatasan SKS yang diambil, tidak boleh ikut kuliah dan sebagainya, sementara hak-hak mahasiswa seringkali diabaikan oleh penyelenggara pendidikan. Penyelenggara pendidikan selalu menyatakan diri sebagai lembaga nirlaba, jadi seolah-olah hubungannya dengan mahasiswa bukanlah hubungan antara penjual jasa dan konsumen. Dengan demikian posisi penyelenggara pendidikan ditempatkan secara lebih kuat dibandingkan dengan posisi mahasiswa. Apakah betul penyelenggara pendidikan di jaman sekarang masih murni berpikir seperti Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa nya? Sebagian kecil iya, sebagian besar tidak. Bagaimana tidak? Mengambil formulir pendaftaran yang seharusnya gratis harus ditebus dengan uang ratusan ribu rupiah! Dengan dalih untuk menyeleksi minat calon mahasiswa agar tidak sembarang orang mendaftar, jika hanya sekedar mengganti ongkos cetak tentunya tidak semahal itu. Bukankah katanya pendidikan untuk semua orang?
Pendidikan merupakan industri yang luar biasa besar karena tidak mengenal krisis ekonomi dan pendidikan merupakan kebutuhan primer setelah makan. Jadi hubungan penyelenggara pendidikan dengan mahasiswa merupakan hubungan antara penjual jasa dan konsumennya. Jadi ketika penjual jasa pendidikan lalai memenuhi kewajibannya tuntutlah mereka di pengadilan. UU Perlindungan Konsumen memberikan jaminan.
Penyelenggara Pendidikan DKV
Bagi para penyelenggara pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta, tingginya demand terhadap DKV merupakan potensi untuk mendapatkan keuntungan. Tentunya penyelenggara pendidikan membuka pendidikan DKV dengan perhitungan yang matang. Bohong besar jika membuka jurusan DKV tidak ada motivasi untuk mendapatkan keuntungan, bagaimana mungkin membiayai infrastruktur dan operasional yang cukup besar. Namun dengan makin banyaknya Perguruan Tinggi (PT) DKV akan semakin tinggi pula kompetisi dalam menjaring mahasiswa. Mekanisme pasarlah yang akan menyeleksi sehingga perguruan tinggi terbaiklah yang akan bertahan. Beberapa PT DKV terbaik setiap tahun menerima lamaran dari ribuan calon mahasiswa. Dari formulir yang dijual Rp 200 ribu – Rp 800 ribu saja PT tersebut dapat meraup ratusan juta hingga milyaran rupiah. Belum lagi dari uang pangkal, uang gedung, uang SKS, uang daftar ulang maupun sumbangan ini itu. Tidak heran semakin lama yang dapat menikmati pendidikan tinggi DKV hanya kaum berpunya. Hanya sebagian kecil mahasiswa berprestasi yang tidak mampu, mendapatkan fasilitas beasiswa. Namun mereka juga dijadikan obyek iklan pencitraan tanggung jawab sosial oleh para penyelenggara pendidikan sebagai selubung naluri kapitalisnya.
Ketika demand pendidikan DKV pada suatu PT DKV sangat tinggi, maka kelas paralel yang dibukapun semakin banyak, karena keuntungan yang diperoleh akan menjadi berlipat ganda. Seringkali PT DKV memaksakan diri dengan menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya meskipun infrastruktur pendidikan maupun rasio dosen-mahasiswa tidak menunjang. Dengan menerima mahasiswa yang sebanyak-banyaknya berarti melonggarkan parameter kriteria mahasiswa yang diterima. Laris manis!
Kegiatan marketing dilakukan dengan sangat agresif dan seringkali menafikan substansi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan menjadi komoditas ekonomi, sehingga “marketing menjadi panglima” dan para operator (struktural di jurusan/program studi/dosen) menjadi subyek penderita. Aneh subyek kok penderita? Demikian lihainya penyelenggara pendidikan mengemas kegiatannya sebagai bentuk kegiatan nirlaba namun perilakunya bak kapitalis sejati. Ironis.
UU BHP yang baru saja disahkan menuntut semua satuan pendidikan baik negeri maupun swasta menjadi Badan Hukum Pendidikan paling lambat dalam 6 tahun ke depan. Di dalam salah satu pasal UU BHP tercantum bahwa Badan Hukum Pendidikan diperkenankan mempunyai investasi dalam bentuk portofolio dan diperkenankan mendirikan badan usaha berbadan hukum. Secara tersurat dalam UU ini jelas membuka peluang bagi BHP untuk berperilaku sebagai kapitalis meskipun tujuan yang diharapkan sangat mulia yaitu untuk membiayai pendidikan. Semoga saja tidak menjadi kedok semata karena bukan tidak mungkin dengan metode “money laundring” yang canggih dapat disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Bukan tidak mungkin UU BHP ini akan memunculkan konglomerasi pendidikan. Tidak heran UU BHP ini menuai pro dan kontra yang berkepanjangan. Mencoba berpikir positif semoga UU BHP benar-benar mampu mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat banyak.
Dosen DKV
Bagaimana nasib para dosen DKV sebagai ujung tombak dari pendidikan? Apakah menjadi lebih sejahtera, lebih makmur dengan booming pendidikan DKV? Memang kebahagiaan tidak dapat hanya diukur dari kesejahteraan dan kemakmuran. Bahagia itu soal hati yang personal sifatnya, maka orang sejahtera dan orang yang makmur belum tentu orang yang berbahagia. Sebagian dari dosen menyatakan bahwa pilihan profesinya diambil karena senang mengajar bukan semata-mata mencari uang. Mungkin juga ada yang berpikir di dalam hati menjadi dosen karena profesi yang aman meskipun penghasilannya tidak banyak namun tidak terkena imbas krisis secara langsung. Daripada menanggung resiko bekerja di industri DKV yang masih labil dengan pengalaman menyakitkan ditindas klien, persaingan yang semakin keras karena harus bersaing dengan mahasiswa freelance dan sebagainya. Menjadi dosen dan alasannya merupakan suatu pilihan bebas dan personal.
Pada kenyataannya penghargaan material kepada dosen masih memprihatinkan. Masih banyak dosen DKV yang dibayar terlalu murah hanya belasan ribu per SKS plus tunjangan transpor yang sekedarnya, sehingga tidak mampu membeli buku dari gajinya sebagai dosen! Lebih celaka lagi kalau mengajar menjadi satu-satunya profesi. Mungkin dengan adanya UU Guru dan Dosen yang dampaknya semoga sudah dirasakan oleh para dosen PTN dengan menjadi lebih sejahtera. Untuk dosen PTS semoga bisa bersabar menantikan kehadiran kesejahteraan yang biasanya disertai berbagai persyaratan culas yang membuat perut mulas.
Mungkin diperlukan suatu asosiasi dosen DKV untuk memberdayakan profesi dosen sehingga mempunyai posisi tawar yang baik terhadap penyelenggara pendidikan, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Jika para buruh saja mampu berasosiasi, mengapa para dosen DKV tidak? Asosiasi akan berguna sebagai medium aspirasi para dosen DKV baik internal sebagai wadah capacity building maupun eksternal sebagai payung sekaligus senjata dalam memperjuangkan kepentingan dosen DKV secara politis. Ayo para dosen DKV bersatu dalam asosiasi!
Industri DKV
Masalah lainnya yaitu belum berdayanya industri DKV dengan masih merajalelanya free pitching, pitching fiktif, pitching massal dan sebagainya. Hal tersebut salah satunya disebabkan belum kuatnya asosiasi profesi terkait dengan DKV dalam memperjuangkan kepentingannya. Asosiasi masih enggan untuk melakukan aktivitas politis untuk memperkuat kedudukannya dengan melakukan lobi lintas asosiasi, pemerintah maupun parlemen. Tanpa melakukan itu mustahil asosiasi dapat mencapai tujuannya dan hanya menjadi wahana gathering bagi pengurus dan anggotanya. Kita dapat melihat betapa kuatnya kedudukan asosiasi-asosiasi profesi lainnya di hadapan pemerintah.
ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) sebagai salah satu asosiasi rujukan dalam profesi terkait DKV sampai saat ini masih belum selesai berkonsolidasi secara internal. Jangankan untuk beraktivitas secara politis. ADGI masih harus menyelesaikan PR dengan membuat standar perilaku usaha dan etika profesi yang harus disepakati semua pemangku kepentingan. Mungkin juga membuat standar pricing maupun standar salary berdasarkan survei sebagai acuan. Menyelesaikan masalah sertifikasi profesi desainer grafis yang masih dalam proses penggodogan dengan departemen terkait. Sertifikasi ini menjadi penting sehubungan dengan sifat terbukanya profesi desainer grafis. Seorang desainer grafis dapat dilatarbelakangi pendidikan desain namun banyak juga dengan latar belakang pendidikan berbeda bahkan otodidak. Kondisi ini juga perlu mendapat perhatian dari dunia pendidikan tinggi DKV. Pendidikan Tinggi DKV dapat berperan dalam memberikan sumbangan pemikiran kepada industri terkait jangan hanya semata-mata mengelontor industri dengan produk lulusan secara kuantitas tapi mengabaikan kualitas. Masih panjang perjalanan ADGI sebagai salah satu asosiasi profesi dalam memperjuangkan pemberdayaan profesi desainer komunikasi visual.
Penutup
Meskipun ditinjau dari sejarahnya pendidikan DKV telah dirintis sejak 59 tahun yang lalu namun masih banyak membutuhkan penyempurnaan-penyempurnaan yang harus terus dilakukan agar dapat beradaptasi dengan kemajuan jaman. Perkembangan teknologi dan media informasi telah membawa harapan bagi DKV baik sebagai disiplin keilmuan maupun disiplin praktis untuk dapat berkontribusi secara lebih luas pada peradaban manusia.
Potensi sumber daya manusia kreatif Indonesia juga membawa harapan bagi tumbuhnya kreator-kreator di bidang kreatif yang berdaya saing tinggi di era globalisasi. Selain sumber daya manusia kreatif yang melimpah, budaya dan warisan budaya Indonesia dapat menjadi sumber inspirasi yang tiada habisnya dalam berkarya. Kemajuan DKV menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan yang terlibat. Sinergi semua pemangku kepentingan akan membawa DKV lebih bermartabat.
•••
memang dunia DKV mempunyai permasalahan yang sangat sulit dipecahkan….. tapi kami punya pemecahannya tersendiri, yaitu dengan didirikannya pusat grosir desain grafis http://www.designcentre.page.tl . disitu kami mencoba menggabungkan antara seni dan bisnis….dan ternyata sangat berhasil…dan sekarang mulai banyak pelaku desainer grosiran yang meniru langkah kami…
tetap semangat desain grafis indonesia
menurut saya itu bukan pemecahan, melainkan makin membuat keruh dunia dkv di Indonesia..
desain serba Rp20.000 ?? yang benar saja
1 SKS untuk kuliah DKV saja sudah di atas Rp100.000
memang setiap pasar mempunyai ‘cara’ nya tersendiri, tapi dengan ‘cara’ anda sekarang, secara tidak langsung membuat orang awam tidak menghargai desain grafis..
yah, nggak menutup kemungkinan suatu hari di sebelah kios tambal ban juga bakal terpasang papan ‘terima jasa desain grafis kilat-murah’..
manteb to!
bener.. ga masuk akal klo harga desain Rp. 20.000
tiap desain itu mempunyai proses yg berbeda-beda.
bukan seperti kaos2 yg bisa di tembak terus dijual harga grosir..
justru hal2 seperti ini yg membuat desainer2 muda menjadi ngga bisa berkembang..
bener2 ngga masuk akal klo ini di anggep pemecahan..
klo promosi usaha anda / website jgn di sini bung..
# Dahulu tidak punya tak ada fasilitas teknologi kita menjadi lambat “bermain”, saat ini menjamurnya fasilitas teknologi instant bisa dianggap “berbuat seronok” terhadap ketimpangan sosial di negara kita.
# Banyak dunia industri hanya mementingkan “surat” sarjana atau hanya sampai ‘relasinya’, Ingin selalu melihat “hard copy”, Style exclusive dari si calon pekerja, Lihai semua aplikasi program (*gila kali yeee). Andai semua itu tak terpenuhi mereka hanya bisa bayar “seribu”.
# Cobalah kita berEMPATI.
# Ada sisi dimana ‘sense of art’ itu tidak terlihat dari portfolio. Ada sisi dimana ‘sense of art’ itu menjadi pembeda mana desainer / operator desain.
saya salah satu dari sekian banyak orang yang terinspirasi oleh desain grosiran,…dan saya juga telah menekuni usaha ini, ternyata omzetnya lebih dari yang saya bayangkan
tx
mungkin memang kalau (misalnya) abang bakso ingin buat logo.. pasti cari yang harganya terjangkau walau kualitas desainnya tidak tahu bagaimana..
tetapi kalau cara pemecahannya begitu, bagaimana caranya desainer grafis di Indonesia bisa jadi lebih dihargai?? Kasihan para ‘pejuang’ yang sudah susah payah berusaha menaikkan harkat & martabat desainer grafis di Indonesia..
waaaah ngena banget neh…harusnya hal seperti ini di sebarkan di kampus juga….
Setuju banget tuh dengan pendapatnya bung Michael, klo PGDG mau dagang, ya jangan disinilah….!! Kasian orang yg uda banyak belajar tentang konsep,brainstorming,dll.. klo cuma dikasi harga 20.000… gmna desainer indonesia mao maju, itulah sebab’y banyak pejabat/pengusaha di indonesia yg lebih memilih desainer luar untuk menciptakan logo perusahaan yg mereka punya. karena bukan hanya sekedar “tukang gambar”.!!!!!!!
Kenapa takut… ada harga ada rupa… kalau anda sadar akan kualitas, tentu loyalitas pun ada……in the end… ini adalah kompetisi, kalau mereka berani murah.. kenapa tidak dengan strategi lain? in the end it’s all about bisnis…DKV not pure art, but its applied art
jasa sekarang udah bisa digrosir ya…?
hahahah PGDG.. maaf tapi saya berani bilang itu bukan desain, tapi “tukang setting”, maaf kalau saya bilang “tukang” soalnya yang saya lihat di websitenya, hanya pakai imagebank, bukan fotografi profesional, blum ada contoh foto produk jadi; image bank nya apakah sudah resmi? tahukah anda berapa harga image bank atau jasa fotografer? apakah memakai software asli? apakah anda bertanggung jawab supervisi pekerjaan? Bila jawabannya kebanyakan tidak maka itu bukan desain.
Tapi apa yang PGDG lakukan juga bukan berarti salah karena belum tentu para desainer asli juga mau dan mampu mengerjakan apa yang anda lakukan sekarang. Yang jelas apa yang PGDG lakukan semakin membuat jasa setting grafis semakin merakyat heheheh :))
dasyat tulisannya mas,.. jadi renungan juga kalo booming begini, mendidiknya juga makin berat,… dan gak semua senior graphic design itu bisa turun ngajar.
Semoga adgi, fdgi mampu membawa DKV ini ke titik ideal
Semangat !
kenapa tidak? kalau melihat desain sebagai estetika (dalam menyelesaikan masalah).
apa iya desain melulu cuma yang lahir dari para profesional yang katanya sudah melalui brainstorming, edukasi hingga standarisasi… desain menjadi barang ekslusif..
apa bukan jatuhnya menjual brand?
…desainer Indonesia jadi lebih dihargai?
jadi, mau dihagai oleh siapa?
kalangan tinggi yang mengerti desain, atau, manusia biasa yang butuh tenaga ekstra untuk (setidaknya) melawan industri dengan para desainer ‘wah’ dibelakangnya.
hmm, kasiannya ketika desain baru dinilai pantas tidaknya jika harga yang berbicara…
memang benar ada harga ada rupa, tapi berapa persen yang sadar akan hal itu?
contoh paling gampang gini, kita semua jualan baju di satu lingkungan pasar.. nah klo tiba2 ada pedagang yang menawarkan harga rendah (walaupun kualitas nya rendah juga) otomatis akan efek ke keseluruhan pasar kan? ujung2nya jadi persaingan yang ga sehat, dan pada akhirnya industri/pasar nya akan mati sendiri..
kita ga bisa nutup mata juga akan hal ini..
di artikel di atas saja udah jelas di bilang, kalau pendidikan di Indonesia masih kurang, atau memang generasi sekarang yang sudah terlalu stress? (saking banyaknya informasi gratis di internet)
makanya saya sendiri lebih memilih berkerjasama dengan klien luar negeri, karena kalau main di lokal, (apalagi kalau baru mulai) ya saingan nya dengan yang 20.000 itu.. secara ga langsung yah..
oh, jadi pendidikan desain grafis hanya dipermasalahkan soal ‘omzet’ dari pekerjaannya? Apakah masalahnya adalah rebutan ‘rezeki’ dan playing god siapa yg berhak cari makan di dunia desain dan siapa yg tidak berhak?
Masalah pendidikan adalah masalah kualitas ilmu pendidik-nya dan juga kualitas didikannya (termasuk kualitas ilmu desain grafis itu sendiri).
Soal menjual jasa desain grafis itu adl masalah dagang. Ada sendal croc harga 50rebuan, ada 100rebuan dan ada 500rebuan. Tinggal pilih, kalo anda orang berada, pilih yg pabrik aslinya, kalo duit gak cukup tp masih mau bergaya, pilih yg pabrikan aspal berkualitas, dan tak berduit tp gak mau ketinggalan gaya juga, pilih aspal yg penting gaya murah meriah.
Itu kalo bicara memperdagangkan jasa desain grafis, bukan persoalan pendidikan dkv. Letakkan POV pada tempatnya dulu, baru diteropong, supaya tidak tumpang tindih dan salah lihat. xoxoxoxo
kereeeen bahasannya….sip,jempol 2 di acungngin..hhi..
intinya s1 dkv sekarang = D1,D3…(menurut ego saya).
@acil & @karnamustaqim
memang desain tidak bisa dinilai dari harga, tetapi dari efektifitas nya..
dan menurut pendapat saya, apa iya effort seharga 20.000 bisa efektif? Saya sih tidak munafik, untuk dapat barang bagus tentu harus dengan harga yang bagus juga.. hukum nya sudah begitu..
dan ga bisa di samakan dengan produk ‘bajakan’ crocs, eh bukan merk croc deh yang di jual, kan ga boleh hehehe hanya model nya saja yang mirip, dan ‘bahan material’ nya jelas jauh berbeda dengan yang asli kan?
kalau anda puas dengan effort dan hasil Rp20.000 ya tidak masalah, memang semua mempunyai market dan segmen sendiri2, misalnya, bagi usaha kecil yang baru memulai dan blum mengerti konsep investasi desain dalam bisnis
saya cuma menyayangkan, profesi yang seharusnya memang di hargai lebih dari itu.. tetapi ya kalau memang kualitasnya sesuai dengan harga yah saya tidak bisa bilang apa-apa lagi..
it’s your choice.. but at least jangan segitunya
karena akan berdampak secara umum.. mulailah melihat dari kacamata keseluruhan, bukan kacamata masing2 perut..
dan oh ya, pendidikan berkaitan juga dengan cara ‘berdagang desain’ yang anda sebut-sebut.. di dunia ini tidak ada yang berdiri sendiri2.. anda tahu global warming karena apa? yah itu satu contoh besar bahwa semuanya terkoneksi satu sama lain…
Versi serupa tulisan pernah dimuat di majalah Versus edisi ke-3 khusus membahas pendidikan desain di indonesia. khusus edisi ini Versus sampai mengadakan tiga kali diskusi, mulai dari kurikulum, manajemen dan aspek bisnisnya. Nothing new here. Harusnya kaitkan konvensi standarisasi kompetensi yang sebentar lagi akan dikonvensikan dengan pendidikan.
Bung Aji,
Memang benar tulisan ini bukan hal baru karena pernah dimuat di majalah Versus. Dan sudah saya sampaikan ke pak Hanny Kardinata mengenai kondisi tulisan ini pada saat akan dipublikasikan ulang melalui DGI.
Mengenai RSKKNI (Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) bidang keahlian Desain Grafis sedang saya siapkan tulisannya untuk disosialisasikan melalui DGI. Mengingat proses RSKKNI sudah menjelang dikonvensikan minggu depan.
kalau menurut saya tidak apa yang dilakukan PGDG, toh mereka juga punya pasarnya sendiri, dan para designer yang merasa di kelas berbeda juga punya pasar sendiri pula dan dengan klien yang berbeda pula cara pikir dan cara pandang dalam melihat suatu karya, Karena memang kalau dilihat itu sebagai pelaku bisnis yang menghancurkan harga pasar untuk mengeruk sebanyak-banyaknya untuk kepentingan sendiri. Akankah klien-klien multinational atau nasional akan beranjak kesana?
Saya rasa tidak, jadi menurut saya tidak perlu takut karena klien dalam melakukan pembayaran akan suatu karya, nilai nominal yang dibayarkan masih berbanding lurus dengan nilai prestise perusahaannya itulah kenapa Landor, DesignBridge, dll masih dapat bertahan tanpa goyah walaupun banyak sekali designer2 baru yang bermunculan dan tak kalah baik karyanya dibanding mereka. Salam.
hmm banyak sudut pandang bisa dipakai.., klo cuma satu susah ketemu..
IMHO, setelah sy lihat lagi sepertinya bahasannya keluar jalur dari bahasan Bpk. Hastjarjo B Wibowo, malah topiknya sepertinya menjadi topik bahasan milik PGDG… hehehe..
betul pak Budi….kayaknya PGDG karakternya terlalu kuat dan lebih menarik utk dibahas, ketimbang bahasan Bpk. Hastjarjo B Wibowo…he…he…he…
nah, efektifitasnya itu sekarang yg bagaimana???
bukankah memang desain lahir utk menyelesaikan masalah. mav2 kalau ternyata dalam menyelesaikan masalah lahir masalah baru (well, itu biasa!). industrialisasi, konsumerisme, itu kan akhirnya suatu ‘peran’ desain.. hm, rasa2nya global warming juga karena bgm estetika manusia mendesain hidupnya.
jgn salahkan antara murahan dengan berkelas
ini kah kalau desain dilihat dari skill = D4
dan mana wacana desainnya (baca: S1)?
yah, mari. kalau begitu mulailah dalam melihat yg makrokosmos (keseluruhan) itu lihat pula yg mikro
dan jangan khawatir, sangat jarang ditemukan yg kecil dapat menghancurkan kemapanan yg di atas.
dear aji & hast,
DGI tidak pernah mengharamkan tulisan yang pernah dimuat di majalah mana pun – baru atau pun lama – karena di sini akan tercipta interaksi yang nyaris tidak akan terjadi di sebuah majalah. maka apabila sebuah wacana desain (termasuk seni dan budaya) ingin diuji atau direspon oleh publik yang terkait, silakan mengirimkannya ke DGI, jangan ragu-ragu walau pasti tanpa honor
tapi ya itu tadi… dengan kemungkinan akan menarik sebuah diskusi.
met berdiskusi…
salam grafis,
han
ps. dan kepada teman-teman peserta diskusi mohon kembali ke jalur topik sebagaimana yang ditawarkan oleh pak hast. terima kasih.
IDEALISME VERSUS KOMERSIALISME
otak lawan perut.
mikir cm pake perut di kira bodoh.
mikir pake otak tapi perut kosong, kelaparan juga.
menjadi di lema saat perut dak otak menuntut kestabilan.
NETRAL AJA ! maklum masih amatir !
tpi lebih baik menitik beratkan pada pemecahan masalah,bukan saling kontra.
lanjut !!!
setelah bbrp bulan berkecimpung di design grafis,
saya berkesimpulan bahwa akar disiplin ilmu ini adalah kemampuan illustrasi.
cmiiw pliz
haha, saya udah liat PGDG tuh, edan banget desain2nya maha profesional punya dah pokonya, kalo mau liat yang serupa denga PGDG dateng deh ke pagarsih bandung.
itu tempat “desainer graPis” yang oke2 deh .hahahaha LOL
Mungkin untuk hal persaingan dengan yang 20.000
itu soal hirarki profesional.
dan prinsip nya harga tidak pernah bohong.
desainer menetapkan harga yang tinggi
itu karena desainer mengerti dengan apa yang mereka ciptakan.
bukan hanya sekedar nilai estetika saja.
tapi teknik pencitraan yang mereka pelajari diPT,
dan ide out the box yg muncul.
desainer dibayar mahal itu wajar. uang kuliah mereka saja lebih mahal dari jurusan lain.
wajar dengan perjuangan mereka untuk mendapatkan ilmu tersebut.
desainer bukan hanya sekedar teknik tapi sense of art yang tidak ternilai
tapi ini bagi mereka yg benar2 hidup dan mati mereka di sana.
kebanyakan mahasiswa dkv sekarang.
mereka menjadi anak seni rupa hanya cuma sekedar status sosial
biar keren. prestise bukan prestasi.
niat nya biar tidak belajar hitungan. “cuma” menggambar saja
tapi menggambar nya berapa lembar? haha.
mungkin ini permasalahan mindset yg harus disetting dari jenjang mereka SMA.
karena mereka tidak tahu mau nyambung kemana setelah tamat SMA.
karena jurusan mereka IPA/IPS yang ngambang.
membuat mereka kewalahan dan butuh waktu untuk
menyesuaikan diri dsaat kuliah.
untuk art. kita masih bagus dari tetangga sebelah.
kita masih masih menang dalam segi sense of art.
karena indonesia memiliki beraneka ragam kebudayaan.
akan tetapi untuk soal masalah tuition.
memang menjadi permasalahan global pada saat sekarang ini.
apalagi bagi negara berkembang seperti negara kita.
fasilitas yg ada tidak balance dengan tuition.
kenapa tidak meningkatkan kualitas dengan fasilitas dan penjurusan di dkv yang lebih khusus/menjurus dan detail?
untuk permasalahan kesejahteraan dosen n guru.
untuk melakukan pembayaran gaji saja.
negara kita harus melakukan pinjaman dari luar negri.
bayangkan negara yang kaya akan SDA ini.
dana segar itu, sudah di khitan massal oleh para koruptor.
kita janganlah hendaknya berbudaya berbondong2 untuk tes CPNS. kita mengabdi untuk negara sendiri. tapi tidak sejahtera.
trus kita-kita ini mau berbuat apa..???? rasanya kaya tubuh ada penyakit kankernya yang sangat ganas..yang tidak mungkin dibasmi……hu…hu…hu…kasihan amat gue…salah pilih profesi….nangis…nangis…nangis………………………..sssssssssssssssssssssssssssssssss
Sangatlah benar kalau desain grafis dewasa ini seakan menjadi sebuah TREND sehingga perhatian publik saat ini tertuju padanya. Berombong-rombong banyak lulusan SLTA menaruh minat pada bidang DKV. sebuah lonjakan yang mungkin membanggakan bagi perkembangan DKV itu sendiri. Namun, pada realita, tak sedikit yang benar-benar serius didalamnya, sehingga sangatlah menjadi problem jika DKV S1 diopinikan mmiliki standar setara D1. Tapi memang benar, tak sdikit mhasiswa DKV S1 yg kurang menjiwai jurusan yg dimasukinya. sprti diutarakan pd artikel diatas, DKV seperti jurusan “pelarian” bagi masyarakat yang ingin memasuki tren pendidikan dekade ini. Tapi itu bukanlah permasalahan inti, saya rasa DKV milik siapa saja yang menaruh minat didalamnya, namun setidaknya calon mahasiswa DKV S1 sedikit banyak harus mempersiapkan “art feel and graphic design skill” nya terlebih dahulu sehingga penyampaian materi Desain Komunikasi Visual dapat dicerna dan diterima dengan matang, walhasil menghasilkan SDM yang andal dan profesional pula. bukankah S1 DKV bukan tempat untuk mendalami graphic design skill secara aplikasi, melainkan untuk mengupas teori maupun kaidah2 desain secara perinci. adapun bila ada hanya merupakan sebuah tambahan saja dan tidak terlalu pokok..Untuk itu saya menyarankan calon mahasiswa DKV yang ingin mengembangkan bakat desain grafisnya dengan masuk ke level D1/ kursusan 1tahun terlebih dahulu, imbangi pula dengan mencari banyak refrensi desain grafis untuk mengetahui sejauh mana perkembangan desain internasional, hal itu tentu memperkuat grphic style seseorang..Untuk PT maupun PS, seleksi akademik yang ketat tentulah sangat menentukan output designer yang professional… SALAM DKV!!!
bner nih, jaman skrg dkv nya gak ad konsep yang matang dalam sebuat grafis yang di buat. Hanya bermodal grafis yang memiliki detail dan eye catching saja..
mungkin bagi orang awam itu biasa saja, mereka hanya menikmati desain2 yang apik dan menarik perhatian mereka.
namun bagi para desainer, bukan kah lebih baik memberi makna pada sebuah desain yang kita buat? dengan adanya konsep pada desain, maka nilai desain juga lebih tinggi kan? dan itu juga memberikan image “profesionalitas” kepada desainer itu kan? portfolio juga lbh di sorot sama perusahaan2 besar.
kalo gak mao jadi profesional sih lain cerita… hahaha, kalo nge-desain gitu2 aja, ya hidup juga gitu2 aja..
Satu hal lagi, kebanyakan desainer dkv yg ada hanya mengandalkan 1 bidang saja, (contoh: t-shirt printing). Emang bagi orang barat, desainer hanya diajar untuk menguasai suatu bidang saja, tapi ini Indonesia, di Asia, desainer “tertuntut” untuk menguasai berbagai bidang dalam desain, sperti (website html, website flash, advertising, game development, etc..) tentunya dengan kemampuan basic design yg memadai. Kalo pendidikan dkv di indonesia berkembang, saya yakin ekonomi di indonesia juga berkembang.
Sumber daya manusia kreatif bnyk, tp bnyk yg dibutakan sama kualitas pendidikan nya..
Majukan DKV indonesia!!
Sebenarnya gambaran DKV yang ideal itu seperti apa ya?
Saya kok belum ‘ngeh’.
Saya sering melihat gambaran umum seperti ini di masyarakat (maaf karena mata dan telinga saya terbatas, tentu saya tidak berani menjustifikasi secara keseluruhan):
Anda pasti punya jawaban sendiri-sendiri…
- Tamatan S1 sering terjebak dengan keeksklusifan ilmunya sehingga tidak terbuka dengan masukan-masukan baru dari industri grafis.
- Praktisi otodidak/D1 kadang terlalu menor dengan ilmu instan ‘komputer grafis’nya dan enggan mendalami teori dan konsep yang semestinya harus terus ditimba untuk mengangkat derajatnya dari cap dan cibiran sebagai ‘tukang setting’.
- Mengenai ‘derajat’ dan ‘martabat’ DKV /Industri grafis yang selama ini dianggap kurang ditempatkan pada tempat yang layak, sebenarnya standar ukurannya apa? Terus mengadu ke siapa? Sebab setahu saya (sekali lagi dengan pengamatan yang terbatas) selama ini lembaga pemerintah saja selalu membuat sayembara untuk merancang lambang lembaganya, begitu juga perusahaan-perusahaan swasta yang cukup ternama (tidak semua). Ini adalah salah satu hal yang biasanya dicap sebagai perusak perkembangan industri grafis. Sedangkan industri yang dimaksud adalah penghargaan kepada siapa?
Saya bekerja di industri grafis sudah 9 tahun sebagai sebut saja desainer. Sudah ribuan proyek desain yang menghasilkan milyaran rupiah dihasilkan dari desain-desain ini. Terus kemana larinya uang itu? Apakah sesuai penghargaannya kepada desainer? Tidak! Semua mengalir ke pemilik modal yang tidak tahu menahu tentang desain. Desainer hanya dihargai 2 - 5 jt saja sebulan untuk ganti uang makan bukan atas karya-karyanya. Benarkah ini industri yang dimaksud?
Makanya banyak desainer yang memilih bekerja lepas pada saat sekarang ini. Terus kualitas industri desain bagaimana? Saya tidak tahu…
Ma’af kalau ngelantur dan keluar dari konteks wacana.
Aneh… pada banyak yang stress dengan harga Rp. 20.000,-… biarkan sajalah…
Kalau memang Indonesia belum punya “Pricing & Ethical Guidelines” versi Indonesia.. ya sudahlah jangan menghakimi mereka…. (saya tekankan mereka tidak salah, dan jangan menghina mereka! belum ada ketentuan bakunya….)
Seandai kata harga desain itupun sudah dibuat range bakunya di Indonesia (mengacu pada perbedaan harga di tiap2 kota di Indonesia)…Setiap tahun perlu di update… mengingat karakter inflasi di Indonesia.
nah ini tugas siapa?
Siapa yang berani menyebutkan berapa harga yang layak? Gaya hidup dan kebutuhan hidup di tiap kota di Indonesia berbeda-beda. Tidak fair kalau semua dibuat standard sama dengan Jakarta misalnya.
Bila sudah ada yang membaca buku “How to Price Graphic Design and Dtp Services” Robert C Brenner.
Menurut survey harga perhour desainer grafis di tiap kota di Amerika pun berbeda2.
berfokus pada lapangan praktis dengan adanya pendidikan cepat atau bahkan instan, itu wajar dalam rangka mencari kepraktisan / efektifitas. tapi keilmuan rancang grafis murni harus tetap dijaga dan dikembangkan bersama. jangan sampai seperti menghapus operating sistem di komputer hingga menjadi blank … karena keilmuan komunikasi visual ini adalah nyawa, bahkan sekaligus power
idealisme keilmuan seringkali didakwa tidak sesuai kenyataan di lapangan. padahal tidak begitu. praktek bisnis dalam kondisi apapun, tetap saja merupakan perasan dari ilmu induk yg tebal bukunya. dalam ilmu beladiri klasik, dipelajari dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi, filosofinya dll … tapi dalam prakteknya cukup keluarkan 2 atau dua tendangan langsung efektif. jadi bagi yang hanya belajar instan 1 atau 2 tendangan saja, memang praktis tapi tetap saja ada yg kurang … pada saatnya nanti akan kembali ke ilmu induk karena membutuhkan lebih senjata untuk memecahkan problem komunikasi visualnya
setelah belajar desain komunikasi visual secara keseluruhan, baru kelak menentukan / memilih fokus yg diminatinya… ini baru mantab
@richard..
Siapa yg mengatakan di dunia ini tidak ada yg berdiri sendiri2?
tapi jelas dulu duduk landasannya… membicarakan pendidikan apakah sama artinya membicarakan ‘omzet’ dagang bisnis jasa desain?
Bahkan membedakan mana solving design problem dan mana solving marketing problem pun masih belum pada jelas.
klo pendapat gue nih….. gue ngerasa terbantu bgt dengan adanya PGDG,….be cause tiap ada tugas kuliah…gue selalu pake jasa PGDG….udah murah..cepet..dan hasilnya selalu dapet nilai tinggi ama dosen gue…jadi nurut gue PGDG sangat ngebantu..oh ya gue kul di ITB jurusan DKV….
ehm… coba baca intinya artikel ini: ‘soal duit’…, pgdg juga ngomong soal ‘duit’. Kenapa? karena tersurat dlm artikel tsb adl soal (kesejahteraan) = duit. Pendidikan -> bisnis jasa pendidikan. Mahasiswa ekonomi, manajemen, marketing, bejibun dimana-mana, ada yg mempersoalkan kesejahteraan dosen2nya? kualitas lulusan keluarannya? Well, sertifikasi utk layak menjadi ekonom, manajer, akuntan?
Apakah sertifikasi toefl, ielts, dst. berarti seseorang itu layak menjadi penerjemah? Utk menjadikan seseorang layak menjadi penerjemah adalah keilmuan bahasanya atau linguistik.
Lalu apakah izajah (sertifikasi) S-1 dari universitas tidak cukup? Kalo begitu masalahnya ada di dunia pendidikan universitas bersangkutan. Turunkan saja sertifikasi universitas tsb jadi sekolah ato kursus aja. beres. =)
Kembali lagi pada standar kualitas dan kebutuhan (kepentingan). Standar kualitas dan kebutuhan adalah berjenjang, mulai dari paling bawah sampai paling atas.
Setiap lembaga pendidikan DKV (formal dan non-formal) tentunya mempunyai positioning masing-masing yang diterapkan dalam bentuk kurikulum, bahan dan metode pengajaran (yang dijalankan dengan benar; pada kenyataannya masih banyak penyimpangan - namun merupakan kewajaran dalam sebuah proses). Positioning ini wajib disosialisasikan dengan tepat kepada calon mahasiswa/pelajar. Sebaliknya calon mahasiswa/pelajar DKV juga harus memahami dengan benar karakter lembaga pendidikan yang dipilihnya.
Maka setiap pelaku bidang DKV (institusi pendidikan, mahasiswa, desainer dan industri) perlu memiliki kesadaran akan jenjang kualitas dan kebutuhan. Supaya setiap pihak berada pada jalurnya, perlu adanya tujuan yang jelas, strategi yang tepat, dan standar yang sesuai. Pada akhirnya kualitas diciptakan untuk mengimbangi kebutuhan.
Hidup Om Richard!
Anak-anak DKV yang magang dikantor saya kebanyakan yang ancur, maunya instan, mbikin tugas akhir bayar ke orang, saya jadi bingung, salah jurusan kali ya?
kalo kata status facebook, it’s complicated!hahahaha :p
gile beneeerrrr…. bahasan PGDG lebih heboh ketimbang bank century or kasus prita……….. kesimpulan aq sich..ntar anak2 gue gak gue ijinin buat kuliah jurusan DKV…krn udah ancur bgt…..
for love or for money, sy tetap jatuh cinta dg desain grafis…
jalan berliku lebih menarik, drpd jalan lurus panjang dan membosankan… nikmati saja, sembari menunjukkan kualitas sejati kita… sambil berdoa, dan berharap besok hujan akan reda…
apalagi kampus gw di BS* gan, rasanya sangat belum pantas utk membuka jurusan AKOM Periklanan, selain ilmu nya mencakup banyak disiplin ilmu, strata sosialnya juga nampaknya tidak cocok dengan jurusan ini, mengingat anak2 yang masuk sini, asalnya menengah kebawah.
masih mending banget, bukanya dkv saja (dalemin segala macem teknik dan style graphic design, ilustrasi, artistik)
ilmu komunikasi dipelajari berdasarkan intuisi saja.
klo marketingnya mungkin jadi tambahan utk program s1 nya.
cmiiw
saya rasa tanggapan pgdg terhadap tulisan hast sangat ‘nyambung’ dalam konteks pendidikan dkv indonesia. kehadiran pgdg adalah bentuk lain dari lemahnya apresiasi desain masyarakat kita keseluruhan. tidak ada yang bisa disalahkan dari perdebatan hast dengan pgdg. yang diperlukan saat ini bagi kita adalah menyadari kelemahan tersebut dan berupaya berbenah dengan forum-forum yang ada, diskusi, asosiasi, dan workshop atau yang lainnya.
kemelut pendidikan dkv adalah kemelut dunia pendidikan kita secara keseluruhan. inilah bangsa kita… menanti campur tangan pemerintah yang ada cukup melelahkan hati. yang mendesak dan yang bisa kita kerjakan adalah forum-forum seperti blog pak hanny ini. mudah-mudahan dari langkah-langkah kecil dari teman-teman bisa menjadi lompatan besar di kemudian hari.
saya masih optimis bahwa masih ada, walau kecil jumlahnya yang bisa membedakan desain yang berharga 20 ribu dan yang berharga 20 juta.
halo rully, karena nama saya disebut, saya jadi ingin menanggapi di sini
pertama, terima kasih sekali karena telah menaruh harapan besar bagi upaya kecil dan sederhana seperti DGI ini. memang selain bermaksud merekam jejak perjalanan desain grafis indonesia, dan mengabarkannya sebagai bagian dari desain grafis internasional, DGI sebagaimana tertulis pada tagline-nya diharapkan bisa menjadi sebuah forum untuk meningkatkan saling pengertian di antara sesama desainer. perdebatan-perdebatan yang terjadi di DGI bisa menjadi semacam pengantar untuk lebih mendalami persoalan-persoalan yang mengemuka baik di sisi pendidikan mau pun industri desain grafis kita. mengingat banyak hal masih berpotensi untuk dikembangkan melalui DGI, saya bersama beberapa teman yang memiliki passion yang luar biasa, sejak beberapa bulan yang lalu mulai memikirkan konsep pengembangan DGI menjadi semacam web portal yang rencananya akan diluncurkan awal tahun depan (mudah-mudahan bisa terjadi bersamaan dengan hari ulang tahun ketiga DGI di bulan maret) dan berharap mudah-mudahan fungsi DGI menjadi optimal sejak itu. bantuan dan peran nyata teman-teman semua sangatlah dinanti untuk merealisasikan DGI versi 2 yang lebih powerful bagi perkembangan desain grafis indonesia. semoga…
halo pak hanny, wah, senangnya mendengar DGI akan menjadi web portal. kami memang butuh orang-orang seperti pak hanny dan teman-temannya yang memiliki passion yang luar biasa untuk desain grafis indonesia.
saya rasa kita perlu memberi ruang penyimpanan catatan-catatan perjalanan desain grafis indonesia. bukankah sebuah peradaban itu bisa berkembang karena mau belajar dari sejarahnya. dan dimulai dari kata-kata…
saya setuju sekali dengan anda! karena kebetulan saya angkatan 2009 ini!, dan masuk program D1, dan desain grafis bukan bidang yang orang tua saya inginkan, (saya disuruh masuk kampus perhotelan). Tapi disinilah letak passion saya terbesar, dan rela spend any hours with it. dan selalu ke rumah dosen biar mendapat ilmu mengkonsepnya, hehehe,
salam visual arts indonesia!!
wow, i love ur comment, that’s the way i fight, this the world that my blood spilled, Visual arts!!!
pak han, boleh minta konsul design ngga pleaseeeeee, aku add fb nya dunksss
hahaha lucu banget nih yg ini LOL ironis sekali
Dear Rully,
Mohon diluruskan, saya sama sekali tidak berdebat dengan pgdg, yang memperdebatkan yaitu para komentator di sini dan kebetulan ada pada tulisan saya. Saya setuju dengan pendapat anda mengenai problema lemahnya apresiasi yang terjadi dalam DKV.
Tulisan ini muncul dari kegalauan saya setelah lebih dari 15 tahun ada diindustri desain grafis dan 10 tahun terakhir di dunia pendidikan DKV. Mungkin ini hanya opini saya semata namun selama perjalanan saya mengalami sendiri dan bertukar pikiran dengan teman-teman di industri dan akademis. Hasil dari semua itu saya rangkum dalam tulisan ini sebagai bahan renungan kita semua karena semua pemangku kepentingan mempunyai tanggung jawab untuk membawa DKV lebih bermartabat.
udah deh….jangan sekali-kali lagi ngebahas PGDG lagi…. gak ada gunanya…kita disini debat habis-habisan tentang PGDG… tapi tahukah anda semua…. klo yang diperdebatkan sedang tertawa-tawa…. melihat tingkah kita yang kekanak-kanakan… tahukah anda sekalian..bahwa yang diperdebatkan saat ini sedang asyik bermain dengan mobil mewahnya hasil dari usaha PGDG-nya…udah deh..stop sampai disini….apapun reaksi kita…tetap nggak bisa menyentuh usaha PGDG tersebut…mereka akan tetap berdiri kokoh… jadi udah stop aja sampe disini
maaf, PGDG tidak pernah berdebat dengan siapapun, termasuk dengan Bp. Hastjarjo B. Wibowo
terima kasih
Dear Hastjarjo, PGDG, dan teman-teman,
Memang tidak ada perdebatan langsung antara Hast dan PGDG, yang ada adalah beberapa teman (saudara Richard Fang dan yang lainnya) yang bereaksi dengan komentar PGDG. Maaf kalau Hast terganggu dengan tulisan saya. Saya tidak bermaksud memperkeruh perbincangan teman-teman di sini.
Lagipula saya rasa perbincangan kita masih dalam batas kewajaran sebagai sebuah diskusi. Topik yang dilemparkan oleh Hast memang sangat tajam untuk mengundang orang berkomentar, contohnya komentar pertama dari PGDG dan selanjutnya bola panas terus bergulir ke teman-teman yang lain. Gak salah toh itu?
Dan kalau ternyata komentar-komentar terus bertanggapan dan ada yang merasa tidak penting diteruskan, ya, itu tergantung diri kita masing-masing.
Topik Hast menurut saya sangat baik dan perlu untuk menjadi sebuah perbincangan yang lebih luas dan panjang. Kita yang berkelindan di dunia desain grafis saat ini punya beban untuk menemukan jalan keluar yang bertanggung jawab. Bukan jalan pintas yang serba cepat dan asal.
Mental bangsa ini sudah terlalu lama dibiarkan melemah dengan cara menempuh jalan pintas. Asal cepat, asal murah, dan asal dapat uang tanpa terbebani dengan kehormatan profesionalitas.
terimakasih
gw si yakin klo segmen nya PGDG tuh menengah ke bawah (cmiiw), sedangkan kalian2 yg kuliah tinggi kan mainannya multinational company, yang tentu saja sangat menjaga artistik dan bentuk komunikasinya.
jadi kayanya ngga ada masalah deh
PDGD kan ngga mungkin dapet klien dari unilever atau orang tua grup, atau coca cola company misalnya.
atau mungkinkah, pernah liat ?
Menurut saya, yang namany perkembangan, pasti ada naik-turunnya dan baik-buruknya, hasil akhirny tambah baik atau buruk, tergantung cara pandang masyarakat juga. Kalau masyarakat sendiri kurang menghargai, bagaimana bisa industri terkait maju? Mental orang Indonesia pada umumnya memang mengacu pada pengerukan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan segala cara dan tanpa susah payah maka bisnis apapun yang banyak peminatnya pasti akan jadi laris manis dan tidak jarang diikuti menurunnya kualitas.
Nah, masalah PGDG, selama ada desainer yang merasa hidupnya tertopang oleh bisnis itu dan ada klien yang mau membeli produknya, pihak yang lain tidak akan bisa berkata apapun dan mereka akan eksis terus. Bukan berarti saya menentang keberadaan PGDG karena yang namanya murah dan cepat itu pasti disenangi di Indonesia dan juga dibutuhkan karena landasan modal yang kecil. Tapi tentunya para desainer tahu kalau kualitas ”arti” yang mereka berikanpun hanya sebatas apa yang terlihat. Bila sang pembeli merasa itu cukup untuknya, ya apa mau dikata? Saya hanya bisa berharap hasil karya desainer pro tidak sama saja kualitasnya (atau bahkan lebih buruk) dengan apa yang dijual instan karena kalau ya, semua perdebatan tentang itu seperti rengekan anak kecil yang mainannya direbut. Buktikan bahwa pekerjaan pro yang khusus memang lebih baik daripada one-stop-shopping design service!
Semoga desain di Indonesia semakin maju.
setuju nom…makin banyak aja yang ngaku graphic designer yang cuma bisa komputer doang..ditempat gw ada yang cuma tamatan SD mengaku diri nya desainer karena bisa mengoperasikan kompi dan software..gw liat desainnya ya cukuplah buat dia..tapi TAste and konsep gak nyampe..jauuuuh..
bukan jasa lagi kang idam..ampe desainer sekarang bisa di grosir..itu lah dampak buruk kemajuan teknologi…desainer yang sesungguhnya udah hilang dimakan masa
dear all,
Dari dunia industri kreatif bisa kita lihat mana yang Desain nya Dari Desainer instan sama desain yang Sarjana..tapi kebanyakan permasalahan mahasiswa desain di indonesia kebanyakan melalaikan proses dalam pembelajaran desain yang di kampus.sehingga menghasilkan desainer yang amburadul. lifestlye juga menjadi pengaruh mahasiswa desain indonesia
belum lagi dengan tempat kursus dan desainer yang instan ini, pengaruh dari faktor ekonomi di indonesia…menciptakan para desainer instan yang hasilnya bisa dilihat sendiri lah..dari layout dan warna aja udah tdk berkonsep sama sekali..
pada hakikatnya kita tidak perlu mempermasalahkan desainer instan dan desainer yang sesungguhnya….Toh masyarakat/Klien juga bisa membedakan mana hasil desain yang benar2 desainer sama desain yang dari desainer instan..
biar lah orang yang mengapresiasikan desain kita, dan mereka juga bisa membedakan mana yang cocok untuk harga desain..
pada dasarnya orang indonesia itu kreatif dalam segala hal, jadi wajar aja ada desainer instan..
tapi saya setuju dengan tulisan pak hast, klo bisa di jadikan seminar keliling kota se indonesia..biar bisa meluruskan…
salam
-DEan DEGILdesign-
yah comen gw ga ada yg comen
hehehhee
btw selama kita masih berada di negara di dunia ketiga
artistik dan kebudayaan jadi urutan paling belakang.
thats why dwisapta still exist
wah saya sekarang sudah tidak begitu aktif di industri
tapi di sini kan banyak sekali pakar yang masih aktif yang bisa jadi tempat bertanya.
terima kasih izinnya pak han . . .
sama-sama… mungkin juga akan efektif kalau berdiskusi via milis DGI > http://groups.yahoo.com/group/desaingrafisindonesia/?yguid=299919593
setuju sama anda pak…
penyelenggara pendidikan DKV sekarang makin nampak sisi kapitalis nya..bahkan muncul beberapa pendapat masuk DKV sekarang yang penting “sedia duit”. Ga perlu bisa gambar juga diterima..padahal pas jaman saya baru masuk DKV belum bermunculan pandangan seperti itu..maklum jaman saya masuk baru mau mulai booming ni jurusan…
Sayang nya biaya kuliah DKV yang makin mahal menurut saya belum di imbangi materi pendidkan yang membaik.ga taw deh dosen naik apa engga gajinya..tapi saya sebagai murid blom merasa dampak signifikan…tapi dari situlah saya paham bahwa kampus memiliki keterbatasan dalam pemberian materi sehingga self learning lebih diperlukan…
bayar mahal kuliah di universitas tapi ternyata hasil yang di dapet sama dengan orang yang ikut bimbingan belajar alias tempat les…kecewa2…
semoga pendidkan DKV ke depan jadi lebih baik dan semakin berkembang sehingga industri kreatif bisa jadi salah satu penopang ekonomi negara
haha//semakin menarik
DKV sekarang sudah hampir menjadi makanan pokok layaknya facebook//:D
Saat ini lebih dari 2/3 lulusan DKV setara dengan lulusan SMK (hasil pengamatan di kampus), bahkan lulusan SMK yang lebih mahir dari lulusan DKV, dalam hal teknik.
Sebenarnya Jurusan DKV hampir sama dengan jurusan lain seperti Ekonomi atau Sastra Inggris yang melahirkan tidak lebih dari 1/3 lulusannya yang benar- benar mumpuni dalam jurusannya.
Saya rasa in adalah salah satu jaman keemasan DKV, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari DKV adan redup dan digantikan dengan jurusan lain yang lebih populer. Tinggal menunggu waktu saja, so… bagi yang saat ini sudah masuk dalam puncak DKV, jadilah seorang yang benar- benar handal dibidangnya.
Setiap orang ada bagian rezeki masing- masing, dan setiap Desainer juga memiliki pangsa pasar masing- masing.
smangad!!
Mungkin saya mahasiswa DKV yg merasakan kurang bagusnya mutu pendidikan di kampus saya sendiri, yang mungkin saya anggap sudah cukup “mahal” bagi orang menengah keatas. Merasa kurang cocoknya dengan kurikulum kampus yang saya rasa mengenyampingkan DKV itu sendiri,lebih merasa ada ke “rasist” an di dalam kampus. Memang sih umur DKV di kampus saya belum lama, tp alangkah baiknya kalo orang2 penting di atas memberikan penyuluhan ke kampus saya, dari pada kontra.
hauhua..thanks.
Banyak cara yang lebih ajaib nanti akan muncul…
PGDG, saya salut sekali dengan teknik marketing anda… (dan saya yakin anda sudah memikirkan strategi bisnis itu melalui pemetaan segmentasi targeting positioning dengan matang )
Saya beri satu cara lagi! Agar dunia bisnis DKV Indonesia semakin meriah. yaitu: SISTEM SUMBANGAN SUKARELA!!!
Nah ini dia belum ada yang memakai teknik ini…
Ada yang berani ambil positioning ini…???
jangan anggap remeh positioning ini lho hehehheee…
Disini saya tidak bicara dengan memposisikan diri sebagai profesi desainer… tapi murni melihat dengan kaca mata marketing.
terima kasih Bp. irwan harnoko, strategi SISTEM SUMBANGAN SUKARELA!!! sudah lama kami rencanakan menjadi strategi kami selanjutnya dengan akan dibukanya “JASA DESAIN GRAFIS (HARGA SUKA-SUKA)…mohon ditunggu kehadirannya…
terima kasih
PGDG
udah liat webnya yang jual perdesign 20rebu = butut / case close!!!!
Jangan salah, PGDG juga punya kurikulum untuk para calon Desainer Gratis yang pengen masuk dalam dunia creatif…nih, coba deh lihat link di bawah…
http://www.designcentre.page.tl/Kursus-Private.htm
Great passion!! Saya yakin perjuangan anda pasti tidak akan sia2.. Berikutnya anda akan lebih mudah untuk menyerap ilmu ke-DKV-an untuk langsung mengaplikasikannya pada keahlian aplikasi desain yang satu tahun telah anda seriusi. Andai saja mahasiswa DKV saat ini memiliki keputusan memasuki keDKVan dengan persiapan dan keinginan yang serius, tentu saya yakin DKV S-1 tidak akan dicitrakan setara dengan lulusan SMK, malah saya yakin, mahasiswa D1 lebih aplikatif di bidang pengaplikasian software. karena disitulah tempatnya, S1 adalah jajaran yang lebih ke konsep teori desain yang menurut saya harus diimbangi oleh aplication skill terlebih dahulu.. GoodLuck! thanks
Saya merasa dengan adanya pitching2 yang diikuti oleh banyak designer membuat karya2 mereka menjadi terkesan murah, tetapi bgmn lagi krn kebutuhan uang d jaman skrg ini menjadi prioritas utama.
Byk designer yg memilih mencari uang dgn jalan tsb krn lelah dgn jam kerja perusahaan2 dibidang design grafis yg tidak ada jam kerjanya, setiap hari lembur, bahkan bisa2 diminta masuk pada hari libur. Hal itu tentu banyak membuat designer memilih mencari kerja dgn freelance atw sbgainya yg memiliki byk resiko dibanding mendapat gaji tetap namun hidup dengan tidak seimbang. Jauh dari keluarga, pacar, dan teman krn terus menerus d kantor..hehe
@Jon: dosen Anda sangat terpukau dengan PGDG ya? Selalu dapat nilai tinggi. Sukses Jon, maju terus!
@Richard: sabar ya Cad : ) I’m at your side (memang sangat ironis, mudah2an kita semua gk dibayar cuma dengan Rp.20.000, amin)
Ikutan ah…jadi inget cerita temen kalo ga salah dia habis ke Thailand. Di sana ada pasar seperti di Mayestik tapi penuh dengan penjual jasa desain. Di sana banting2ngan harga segala. Alhasil semua kalangan memakai jasa mereka. Dari warung kelontong sampai tempat jajanan menggunakan desain mereka hingga ke plastic bag. Akan tetapi desain yang mereka pakai hampir serupa karena memakai desain di lingkungan yang sama. Nilai positif yang dapat diambil adalah desain akan mempunyai karakter khas seperti di Thailand. Nilai negatifnya karena biasanya hampir mirip jadi awarenes masyarakat jadi biasa jadi tidak unik. Mungkin bagi negara lain itu unik. Akan tetapi mudah terbaca dan untuk berkembang agak sulit sepertinya. Anak sekarang cenderung masih mengandalkan komputer untuk mendesain karena instan. Hingga sense of art kurang mengena. Konsep ga penting yang penting gambar keren menurut mereka. Terlalu malas untuk melihat pasar dan menganalisa desain.
Wah…. kalao di Jakarta…apalagi sebagain desainer muda…tentunya lum bisa main-main sama harga degh…apalgi pake gengsi mau pasang tarif mahal…syukur-syukur digaji murah….
Kalau tujuan saya kerja selama 1tahun ini, tentunya memperbanyak link dulu dan pengalaman kerja. Perbedaan kelas pasar desain itu menurut saya hal yang wajar… apalagi konsumen yang mencari harga serendah mungkin… kalo aku sebagai produsen(sekaligus konsumen) seharusnya sudah mengerti akan hal-hal semacam ini… apalagi sudah belajar prinsip ekonomi terutama di negara berkembang (belum maju)^^
Alm. Gauri Nasution boleh dikatakan adalah desainer grafis OTODIDAK!
Dan saya kenal dgn seorang anak SMP yg bekerja dibelakang layar membantu usaha jasa wedding photography. Dia sangat profesional me-retouch foto-foto digital. Dan adik tsb mengerjakannya bukan dgn alasan ‘perut’ tp hobi dan kecintaannya pada seni visual.
Dan juga kenal dgn seorang desainer grafis perempuan lulusan jurnalistik yg juga pelukis naturalis. Beberapa karyanya diminati teman2 dari kalangan aktifis muslim.
Perbedaan mereka yg otodidak dan yg belajar di sekolahan adalah proses pembelajarannya.
Seorang otodidak akan bekerja dengan intuisinya, dan dalam perjalanannya itu ia mengasah ketajaman ‘sense’ inderawi yg tentu saja bukan cuma mata, dan tangan, tetapi juga perasaan dan imajinasi. Pengalaman2 empiris spt ini adalah tahap primodial dari keilmuan desain secara umum, sebelumnya akhir diseriusi menjadi ‘pendidikan seni dan desain’.
Seorang sekolahan mempelajari semua pengalaman itu lewat bangku kuliah. Karena itu tenaga pengajar harus menguasai bukan lagi pada tahap primodial sebagaimana orang2 yg otodidak. Tetapi mereka harus mengajarkan penalaran atau rasionalisasi dari praktek tugas2 yg diberikan. Dan itu juga bukan berarti ‘asal ada konsep2an’.
Kedua metode pembelajaran ini sama2 memberi kontrubusi terhadap pematangan keilmuan desain grafis.
Contohnya:
David Carson yg notabene cuma ikut kursus singkat tipografi, tapi karena bekas guru sekolah, dan pengalamannya bergaul dgn dunia anak muda, membuatnya mampu mengatasi segala kekurangannya pada teknikalitas software desain yg keren2, sehingga menghasilkan desain ‘nyeleneh’ yg justru dekat di hati dan menjadi aspirasi bagi golongan muda remaja.
Stefan Sagmeister desainer grafis terdidik yg bekerja banting tulang di periklanan, lalu meninggalkan semua dunia yg ‘tertata dan teratur serta penuh jargon konseptual’ itu, dan beralih terjun ke dunia yg diminatinya.
Ketika berhadapan dengan dunia ‘nyata’, dan bukan dunia penuh ‘kepalsuan’ korporat - Sagmeister boleh dibilang kembali belajar seperti seorang pemula, kembali menjadi otodidak.
Di-ulangi sekali lagi, karena pada bebal pembicaraannya:
Membicarakan pendidikan tidaklah sama artinya dgn membicarakan ‘omzet’ dagang bisnis jasa desain.
Membedakan mana solving design problem dan mana solving marketing problem pun masih belum pada jelas.
Semua punya target market & strategi bisnis yang berbeda-beda.
Saya beri contoh…
Ada desainer yang memberi design fee Rp.25.000.000,- untuk sebuah logo… (tapi 1 tahun proyek itu belum selesai juga… revisi terus menerus tanpa henti…..).. banyak sekali desainer yang terbuai dengan jumlah rupiah ini… tapi tidak memperhitungkan berapa lama dia mengerjakan proyek ini.
Ada desainer yang memberi design fee Rp. 20.000,- untuk sebuah logo… ( 10 menit logo itu langsung dibayar)
Anda bayangkan 1 jam = 6 logo = Rp. 120.000,-
Rp. 120.000 x 8 jam kerja = Rp. 960.000,-
Rp. 960.000,- x 25 hari kerja (dalam 1 bulan) = Rp. 24.000.000,- (berapa banyak desainer grafis di indonesia yang mempunyai penghasilan sebesar ini?)
(sorry PGDG saya sedikir membongkar strategi bisnis Anda hehehe)
hampir di semua buku bisnis desain grafis… mengulas sistem hourly rate ini.. untuk menjadikan acuan para desainer grafis untuk menentukan harga desainnya.
Bukan hanya kualitas dalam bisnis desain grafis yang menjadi patokan… tapi berapa lama Anda menyelesaikan proyek tersebut agar mendapatkan keuntungan yang layak.
karna, hanya ingin meluruskan saja… mengenai gauri nasution, tanggal 16 desember yang lalu, pada acara konvensi RSKKNI-ADGI, saya masih duduk makan siang satu meja –bahkan bersebelahan– bersamanya. mudah-mudahan statement karna mengenai gauri hanya salah menyebut nama saja.
statement kedua juga tidak sepenuhnya benar, ketika bersama gipsy band dikontrak main di amerika, gauri sempat berguru langsung pada milton glaser, seymour schwast dll, suatu kesempatan yang langka dimiliki oleh desainer grafis kita.
Saya pribadi sangat berharap agar ADGI dapat membuat standar perilaku usaha dan etika profesi, agar ada standard untuk pricing dan etika dalam koridor profesi DKV ini.
Karena tentu kita tidak bisa melarang desainer mengikuti free pitching di saat kebutuhan ekonomi berbicara.
hem..klo menurut saya hal tersebut bukan lah merupakan suatu pemecahan masalah, malah dengan adanya banting harga/grosir harga tersebut malah akan membuat satu masalah baru dan lainnya. contohnya. dengan harga yg murah meriah tersebut akan membuat pandangan orang luar tentang desaingrafis Indo sebagai suatu hal yang tak memiliki nilai. sehingga Saya sendiri sangat prihatin dan khawatir dengan kemajuan desaingrafis Indonesia nanti nya kedepan, jika hal ini terus berlangsung. Maaf jika ada salah kata atau hal2 yang menyingung… (n n) V peace
oh.. maaf. bukan alm. almarhum maksut saya. Tolong di-edit aja, pak Hanny. Yg almarhum kan Cahyono Abdi.
Seperti yg disebutkan pak Hanny, Gauri sendiri bisa belajar langsung tangan pertama ke desainer2 terkemuka tanpa harus melalui pendidikan universitas atau sekolah.
Jadi desainer otodidak bisa berkesempatan belajar magang entah di studio Dumbar misalnya, atau atelier2 di paris.
Apakah pak Gauri juga perlu disertifikasi ? (menurut undang-undangnya nanti, bukan menurut perasaan dan pergaulan pertemanan).
Sayang sekali buku mengenai bisnis desain grafis di indonesia sangat minim sekali jumlahnya… terlalu banyak buku yang hanya memperlihatkan visual saja.. (padahal masalah yang sering diributkan adalah masalah harga & bisnis desain grafis)
Masalah ini BUKAN ADA DI INDONESIA SAJA.
INI MASALAH DUNIA!
Di semua buku pricing & bisnis desain grafis… semua mempermasalahkan masalah ini…. rendahnya pengetahuan desainer pada masalah bisnis…
Di beberapa buku bisnis desain grafis sangat menekankan. Waktu, kualitas dan harga!
kalau klien minta waktu singkat & harga murah: kualitas desain buruk
kalau klien minta waktu singkat & kualitas baik: harga mahal
kalau klien minta harga murah & kualitas baik: waktunya… kapan2 aja dibikinnya kalo desainernya sempet hahahaa…..
wah, lebih mahal tracing logo donk. hehe… masih gobanan-kan kalo tracing satu logo, apa udah turun harga juga? =)
disertifikasi atau tidak adalah masalah pilihan bagi masing-masing individu, LSP (lembaga sertifikasi profesi) tentunya hanya akan melakukan pengujian atas pengajuan oleh mereka yang berminat saja.
klo nurut perbincangan disini, saya menarik kesimpulan bahwa ada sebuah kecemburuan kepada PGDG….. karena marketing mereka benar benar “out of the box”…sehingga bisa survive seperti sekarang….sedangkan para desainer yang lainnya masih mempermasalahkan harga diri, idalisme, kualitas karya, dan mendewakan sertifikat…ijasah…dan hal hal yang hanya bersifat birokrasi lainnya….
tx
Lalu, bagaimana dampaknya terhadap diskursu keilmuan (disiplin) desain grafis itu sendiri? Bukankah nanti akan bermunculan orang2 yg karena merasa sudah disertifikasi lalu merasa berhak untuk melegitimasi ilmu desain itu sendiri, tanpa berdialektika dan mengkritisi praktek yg sudah ada?
silakan memindahkan pertanyaan-pertanyaan seputar sertifikasi ke http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2009/12/18/adgi-membawa-desain-grafis-indonesia-menuju-standar-kompetensi-kerja-nasional-indonesia-skkni/
atau barangkali berminat bertanya pada asosiasi yang sudah berhasil melakukan sertifikasi? silakan ke RGD ONTARIO (http://www.designthinkers.com/rgd/about.html), sepengetahuan saya mereka adalah kota pertama –bukan negara (canada ataupun amerika)– yang menjalankan program sertifikasi dan sejauh ini telah menghasilkan 2800 registered graphic designer.
@Karna: kalo dalam context bicara logo Rp.20.000,- ya mungkin aja tracing logo lebih mahal. (kalo tracing logonya ribet gimana waakakaka….) kan hitungannya hourly rate…
sedangkan logo Rp.20.000,- (waktu pengerjaannya mungkin maksimal 10 menit) sangat mungkin ambil dari clipart, cuma ngetik huruf standard doang terus dikasih aksen beda warna dikit atau download internet (ituloh her****ko) masa pada ngga tau sihh… ngga etis ah nulisnya… nanti dikira saya menambah kesesatan di dunia dkv, terus pada download semua lagi waakakakaaa… (kan udah banyak yang instant)
…. saya tidak mengatakan secara form logo Rp. 20.000,- itu buruk tapi mungkin muatan content dan contextnya lemah.
@Joko:… terima kasih sudah merangkum apa yang saya jelaskan dan jabarkan di atas dengan secara singkat dan padat
Yup. Yang dituduh bikin masalah adalah klien2 yg berduit tp pelit ngeluarin duit, dan rendahnya daya apresiasi masyarakat yg masih minim, tetapi yg mau di-sertifikat-in justru desainer-desainernya. Oala dalah… bukankah ini bentuk lain dari inferioritas desainer sendiri?
Masalahnya ada di keilmuan desain grafis itu sendiri, dan problema inferioritas si desainer sendiri, tapi solusinya bukan ke diskursus disiplin keilmuan desain grafis yg ditingkatkan, disosialisasikan, tapi malah soal ‘porsi rezeki’ di lapangan.
Sedikit saya tambahkan
dalam beberapa buku bisnis desain grafis ada 2 acuan untuk mengukur nilai harga desain.
1. Hourly Rate
2. Value
Nah peperangan yang ada pada komentar2 diatas itu adalah: Hourly Rate vs value
Memang logo banyak yang menentang bila menerapkan sistem hourly rate.. karena bukan berapa lamanya desainer itu mengerjakan logo tersebut tapi berapa besar arti nilai logo tersebut pada perusahaan
Problemnya:
Hourly Rate itu lebih terukur sedangkan value sulit mengukurnya. (ini pun dibahas dibeberapa buku bisnis desain). Value salah satunya dari gengsi. Jadi seorang “super star” desain grafis tidak akan memakai pola hourly rate. Karena perusahaannya pun bangga memakai jasa desainer tersebut.
Hourly Rate itu lebih rasional sedangkan Value lebih emosional
Jadi masalah ini memang masih dilematis, bukan masalah di indonesia saja…
mm… apakah keberhasilan serifikasi itu dilihat dari jumlah pendaftarannya?
Kalau mengikut judul perbincangan : [Pendidikan], saya lebih menyarankan teman-teman untuk mengikuti isu-isu yg ditulis didebatkan oleh desainer, pengamat desain, dan kritik desain di :
http://designobserver.com/
dibandingkan dengan:
http://www.expertrating.com/awareness-tests/Graphic-Design-Awareness-Certification.asp
Desain Indonesia membutuhkan peningkatan kualitas desain dan itu hanya mungkin dicapai lewat peningkatan kualitas pendidikan.
Lalu, apakah kualitas pendidikan desain grafis hanya bisa dicapai lewat ‘standarisasi kompetensi kerja’?
Dan sudah didiskusikan oleh Ellen Shapiro dan Gunnar Swanson dlm artikel berbeda di antologi Looking Closer 2: Critical Writing on Graphic Design (1997), dan pernah dibahas di majalah Eye - bahwa sertifikasi desainer grafis adalah urusan strategi bisnis dan karir - bukan dalam lingkup ‘pendidikan’.
Dan mengingat kondisi sosio-politik serta mental dan motivasi dalam urusan pendidikan desain grafis yg kemudian disetir menjadi persoalan standar kompetensi kerja, saya kira perlu menimbangkan apa yg sudah tertuang dalam buku ini:
Human factors in certification - John A. Wise, V. David Hopkin (Eds.). (2009).
Apakah sudah melalui proses penelitian dan pengkajian mendalam entah survey kuantitatif atau wawancara kualitatif? Dan bukan sekedar sebatas ‘perasaan’ dan ‘selera’ segelintir oknum pebisnis grafis? =)
bang irwan “download internet (ituloh her****ko)” apaan sih, pm ke email saya ya hehehehhe. pnasaran abis niih
[email protected]
siapa tau bisa ikutan donlot.
kembali ke judul tulisan di atas. maka, apa yang dimaksud dengan mengkritik?
luar biasa apresiasi teman-teman. atau, jangan-jangan ini (hanya) karena menyangkut kedirian kita
selamat berargumen dan memajukan dkv. salam dari jogja
Hal yang paling penting adalah niat dari para pelakunya, baik penyelnggara, dosen maupun mahasiswa.
jadi berniatlah dari sekarang, berusaha dan lihat hasilnya untuk kemajuan bersama.
Teman-teman desainer yang tercinta,
Bersama ini ijinkan saya meluruskan pandangan-pandangan yang salah mengenai saya sehubungan dengan telah mulai disosialisasikannya masalah Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di situs DGI ini. Dalam beberapa hari terakhir ini saya telah menerima beberapa email yang ditujukan kepada saya, ada yang menyertakan pujian tapi lebih banyak lagi yang mengirimkan celaan. Apapun itu, tetaplah masalah ini harus saya koreksi mengingat baik pujian ataupun celaan kepada saya itu sepenuhnya adalah salah alamat.
Pertama-tama, harap dimengerti terlebih dulu, bahwa DGI, ADGI atau FDGI adalah 3 entitas yang berbeda, walau ketiganya acap kali bersinergi melakukan aktivitas-aktivitas bersama demi kemajuan desain grafis Indonesia. Seringnya terjadi kekeliruan terhadap ketiganya telah memunculkan banyak kejadian yang aneh-aneh. Salah satu contoh yang belum lama ini terjadi dan masih berlangsung hingga saat ini, terjadi di wilayah Kalimantan Timur dimana seseorang –atas insiatifnya sendiri– telah mendirikan Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI) cabang Bontang tapi dengan menampilkan logo DGI! Anda bisa mencermati kejadian tersebut di link ini > http://www.facebook.com/group.php?gid=204129893412.
Lalu dalam hubungannya dengan SKKNI ini, rupanya telah timbul persepsi yang keliru bahwa seolah-olah saya adalah konseptor atau pemikir di balik lahirnya SKKNI, dan sebagai konsekwensinya adalah bahwa nasib seorang pekerja desain grafis Indonesia kelak akan ditentukan oleh saya! Entah darimana asal muasalnya (bisa jadi karena tidak bisa membedakan antara DGI dan ADGI), tapi kesalahan persepsi ini sungguh sudah keterlaluan. Bila anda membaca artikel di atas, jelas sekali dinyatakan bahwa ADGI –dan tim yang dibentuknya secara khusus– adalah konseptor SKKNI. Para desainer, baik praktisi maupun akademisi –termasuk saya– diundang oleh ADGI menghadiri pra-konvensi dan kemudian juga konvensi SKKNI ini selaku stakeholder desain grafis Indonesia, demi memperkaya materi SKKNI.
Demikian, mudah-mudahan penjelasan ini bisa dipahami dan atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Salam grafis,
Hanny Kardinata
Founder DGI
[…] ini mau mengelaborasi tulisan Hastjarjo yang berjudul “Mengkritik Pendidikan dkv di Indonesia”. Tulisan ini berusaha memberi tilikan yang sifatnya taktis. Tujuan tulisan ini pun sebatas […]
@Hast: salam kenal pak…
Hanya memberi masukan utk anda, daripada hanya mengkritisi ada baiknya anda memberi solusi terbaik bagi bidang pendidikan dkv dengan penulisan yang jelas arahnya. Jadi arah, solusi, dan target yang akan dicapai sesuai dengan kriteria kelayakan anda jelas mau kemana.
jadi ada kerjasama yg lebih baik antara praktisi dengan pendidikan. dan pendidikan mendapatkan informasi lengkap tentang keadaan lapangan, yang selama ini dilakukan oleh pengajar2 tertentu dengan ketulusan hati mereka, tanpa mengharapkan imbalan yg lebih. Murni karena kesadaran hati para pengajar.
Tuhan memberkati…
Terima kasih
dan satu hal lagi mengenai desain grosir….
seharusnya mereka yg menyebut dirinya insan kreatif malah memberi applause yang hebat kepada desain grosir… itulah yg dinamakan insan kreatif sejati… kreatif dalam menghadapi hidup. bukannya malah ketakutan atau kalut takut menghancurkan apresiasi karya desain.
Kalau memang merasa dirinya menjadi insan kreatif, “be creatif in life n solution, not only design in square monitor!”
Dan kreatif tanpa menghalalkan cara2 yang picik.
Tuhan memberkati…
Terima kasih…
to: PGDG
SALUTE!!! LIMA JEMPOL UNTUK PGDG!!
TERUSKAN PERJUANGANNYA PAK!
PERJUANGAN ANDA UNTUK PENGUSAHA KECIL SUPAYA MEMPUNYAI DESAIN YANG LAYAK SANGAT MENGGEMBIRAKAN DAN MENCERAHKAN!
DAN KURSUS ANDA BENAR2 SANGAT INOVATIF!
MUDAH2AN MANTAN MESENGER SAYA YANG SD TIDAK LULUS YANG AKHIRNYA BISA PROG CORELDRAW, PHOTOSHOP, ULEAD VIDEO EDITING, MENJALANKAN MESIN LASER CUTTING, STICKER CUTTING, PRINTER DIGITAL OUTDOOR N INDOOR (3THN SAYA GOJLOK PERSONAL), AKHIRNYA BISA MELANJUTKAN BELAJARNYA DITEMPAT ANDA…
UNTUK ORANG SEPERTI DIA, ANDA ADALAH PEMBUKA MASA DEPAN YANG LEBIH CERAH, DAN MUDAH2AN BISA JADI PENGAJAR JUGA…
SAAT INI DIA SUDAH NAIK KELAS MENJADI OPERATER KOMPUTER N SEGALA MESIN PRINTING N DESAIN.. EH NTI ADA YG PROTES… TUKANG SETTING DEH…
DAN SEMANGAT HIDUPNYA MEMBARA PENUH DENGAN ANGAN2 MASA DEPAN YG JAUH LEBIH BAIK.
Saya sangat berharap orang2 seperti Anda akan semakin banyak, karena org2 seperti mantan mesenger saya tersebut memerlukan pengharapan baru yang lebih baik untuk kehidupan masa depan keluarga mereka.
Tuhan memberkati Anda dan Tim Anda!
to: Special Force Designer
Maaf sekali lagi maaf bagi yg merasa menjadi “Special Force Graphic Designer”… selama masih ngejar duit, bukan duit yg mengejar anda sebaiknya merenung diri, bukan merendahkan mereka yg berusaha menjadi desainer dengan modal tekat dan semangat, bukan dengan uang orang tua yg bisa menyekolahkan anda di sekolah mahal…
hati2 pak.. sebaiknya tidak arogan… orang2 hebat umumnya berasal dari minoritas yg paling bawah… sejarah manusia sudah membuktikan selama berabad2…
anda bayangkan, ga usah tamatan sd, mantan messenger saya TIDAK TAMAT SD dapat memakai prog corel, pshop, illustrator, ulead avi, menjadi operator mesin laser cutting, digital printing outdoor indoor, sticker cutting, sebentar lg jg akan menjadi operator autocad… dan mulai belajar desain!
Saya hanya mengajar dasar2 beberapa prog, sisanya dia mengembangkan sendiri!
tanpa uang orangtua yg mampu membiayai seperti anda2 disekolah yg cukup bergengsi, dia bisa meningkatkan levelnya dari tukang serabutan menjadi operator dan desainer, eh maaf… tukang setting deh… nti ada yg marah n merendahkan lagi…
Mohon dengan sangat, sedikit rendahkan hati anda, dan bagikan ilmu anda, bukan memamerkan…
terima kasih
software asli anda siapa yg beli? kantor ato pribadi?
font yg anda pakai, gratisan bawaan program ato anda beli?
croc yg anda pakai, asli amrik ato asli acin? eh… ga nyambung ya…
maap….
desain anda selama ini asli murni ide anda ato asli hasil liat2 buku desain ato asli dapet ide dari desainer asli inovator?
kuliah cepat kerja pun dapat !
saya juga termasuk SES C, D, E, F, G dst dst . . . .
‘the bottom of the chain food’ !!!
merasakan juga hal seperti messengernya bang hadi tan. tapi itulah takdirnya Allah, maksutnya 1 banding banyak lah, yang bisa jadi orang besar tanpa harus mengeluarkan modal yang besar juga. keberadaan warez saja sudah sangat membuat saya merasa beruntung, karena paling tidak penguasaan software bisa dengan mudah didapat.
cd 15rb, dvd 35rb, beli 5 dapet diskon. sekere2nya masih mampu lah saya belinya.
tapi untuk urusan artistik dan wawasan tunggu dulu, itu cuma kampus mahal yang punya, dan saya hargai itu.
kecuali ia benar2 berbakat dan genius, klo tidak jangan harap. disitu kita membayar “taste” sang dosen, sebagai hakim atas karya seni kita, semakin tinggi bayaran dosen semakin baik seleranya.
lantas kenapa mahal? karena mereka punya waktu berkhayal, karena mereka kaya materi, dan dapat jauh menyelami alam filsafat dengan nikmatnya. mengkuratori setiap guratan warna dan bentuk dalam sebuah lukisan misalnya. tanpa harus berfikir lagi 8 jam kemudian perutnya akan diisi apa.
mumpung lagi rame saya pribadi sangat berterima kasih buat para akademisi maupun profesional yang setidaknya reeela utk memperbincangkan dapur dan experience mereka utk dijadikan konsumsi publik.
jangan bosan utk update websitenya ya . . .
hitung2 amal.
ditunggu DGI yang baru.
ayah saya membangun rumah tidak pernah menggunakan jasa seorang arsitek..
dunia desain ini sungguh maha luas, saya seorang desainer dan seorang manusia biasa, saya berusaha menjadi desainer dan manusia yang baik, saya ingat pepatah “ono rego, onok rupo” yang artinya kualitas barang itu sebanding dengan harga yang dikeluarkan.
berapapun harga desain anda, mulai dari 20.000 sampai 20.000.000,- tetap namanya juga desain, menunurut saya harkat martabat desainer dan desain grafis bukan pada harga tetapi adalah kemampuan anda memaksimalkan diri anda untuk membuat sesuatu melebihi harga yang sudah ditentukan.
Permisi, sebagai mahasiswa DKV, saya mau berkomentar mengenai bahasan artikel Pak Hast di atas tentang kurangnya effort mahasiswa dalam berkarya..
Menurut saya, hal yang bekerja nomor 1 dalam tiap orang yang menceburkan diri di dunia kreatif adalah passion. Kalau passion sudah hilang, disuruh bikin karya, wahh malasnya bisa luar biasa….
Saya sendiri masuk jurusan DKV karena dari dulu saya memang suka dengan dunia gambar dan kreatif. Dulu saya berani bilang kalau passion saya di sana. Tapi setelah masuk jurusan DKV, saya malah suka merasa maless banget sama kerjaan-kerjaan kreatif. Saya kurang tau juga, mungkin karena terlalu banyak ‘dijejelin’ tugas-tugas kreatif dengan segala ketentuan, aturan-aturan berkarya dan deadlinenya (atau kadang-kadang ditambah dengan usaha menyesuaikan karya sesuai selera masing-masing dosen pembimbing), lama-lama pekerjaan kreatif menjadi pekerjaan yang tidak menyenangkan lagi. Akhirnya setiap dapat tugas, saya seringkali tidak berusaha maksimal mengerjakan karena tugas berkarya sudah menjadi beban, bukan hal yang menyenangkan lagi.
Dan anehnya, waktu liburan panjang kuliah 2-3 bulan, tadinya saya pikir saya benar-benar ga akan menyentuh sketchbook lagi selama libur. males bangett, senang banget bisa bebas dari gambar, komputer, layout, brainstorming untuk waktu yang cukup panjang. Taunya setelah 1 bulan libur, saya bisa tiba-tiba merasa ingin menggambar, ingin coba-coba bikin ilustrasi dll.
Saya berani sharing hal ini karena ternyata ada beberapa teman sesama anak desain yang juga merasa begitu (walau mungkin tidak banyak juga, saya tidak tau).
Cuma mau share aja sih, mungkin ini salah 1 alasan kurangnya effort mahasiswa dalam berkarya.. hehee
[…] 109 comments Mengkritik Pendidikan DKV di Indonesia […]
to: Hady Tan
Saya kurang setuju dengan pendapat anda. Menurut saya kIta sebagai desainer grafis di Indonesia bisa dibilang sudah cukup di remehkan dengan pendapatan yang bisa dibilang tidak sepadan dengan apa yang harus kita lakukan. Untuk membuat sebuah ‘desain’ kita tidak boleh hanya asal gambar, asal ambil gambar orang dan lalu di komposisikan. Kalau desain seperti itu yang di inginkan, tidak perlu mencari desainer grafis (yang murah sekalipun). Desain saja sendiri desain anda, cari saja di internet contohnya, lalu lakukan plagiat! Toh hasilnya akan lebih bagus dan sesuai dengan kemauan. Soal masalah nanti di tuntut oleh desainer aslinya, toh sama saja dengan mencaplok dan mengkomposisikan gambar di internet yang jelas - jelas sudah memiliki copyright.
Desainer grafis yang benar-benar menekuni bidangnya, (baik yang belajar melalui jalur pendidikan (kuliah) ataupun otodidak (melalui pengalaman). Tidak akan semudah itu menciptakan desain. Mereka harus memikirkan konsepnya, menentukan warna yang sesuai dengan konsep dan moodnya, dsb. Untuk proses tersebut dibutuhkan waktu dan kerja keras. Dengan proses yang sedemikian rupa, apakah kita rela bibayar murah untuk itu semua? dengan proses seperti itu berapa banyak desain yang bisa kita kerjakan dalam 1 hari? apa sepadan dengan pendapatan kita jika dijual grosir? (maaf saya membahas soal pendapatan, mengingat ini salah satu faktor fatal walaupun tidak pantas di bicarakan) Apakah dengan cara ini kita dapat mensejahterakan keluarga kita? Memang untuk bekerja di bidang ini yang paling penting adalah passion kita terhadap pekerjaan, tetapi pendapatan tetap di perhitungkan. Kalo dengan kerja yang ekstra keras dan kita tetap di bayar sama dengan orang yang pekerjaannya lebih mudah, apakah nantinya akan ada generasi penerus di bidang Desain Grafis? Saya pernah membaca sebuah thread dari sebuah website grafis Indonesia, yang dimana isinya sang author merasa sulit untuk melajutkan karirnya dibidang ini karena terbentur biaya sehari - hari yang akan di tanggung saat berkeluarga.
Dengan keadaan yang seperti ini, tidak heran jika semua desainer - desainer terbaik di indonesia akan melirik kesempatan di negara lain. Jika ini terjadi dan semua desainer memilih untuk bekerja di luar negeri, maka desain grafis di Indonesia akan mati dan yang menyebabkan itu semua, tentu salah satunya adalah desain grosir yang menjatuhkan martabat seorang desainer grafis.
Semua itu adalah pendapat saya sebagai seorang mahasiswa yang telah merasakan sulitnya membuat sebuah desain, kuliah mahal tentu ada tujuannya. Mahal karena dosen pengajarnya berkualitas dan berpengalaman, sehingga ilmu yang kita dapat adalah ilmu untuk mendesain, bukan ilmu photoshop, atau pun coreldraw. BISA desain dan MENGERTI desain adalah suatu hal yang jauh berbeda!
paman saya yg insiyur teknik sipil, malah sering terbantu oleh nasehat2 orang2 spt ayah anda, loh. Local wisdom dari orang setempat dibutuhkan oleh para insinyur.
dalam proses kreatif ada tahap yg dinamakan inkubasi. inkubasi ibarat masuknya kuman dalam tubuh itu, artinya seorang insan kreatif harus brenti dari segala apa yg dipikirnya, dikerjakannya, rutinitas menjadikan kuliah dkv tidak lagi kreatif.
Memang penting dan perlu masa senggang melepas spt yg Anda dan teman2 lakukan itu. Sebenarnya, sekolah pemograman komputer sekalipun butuh kreatifitas tinggi, bukan cuma sekolah desain.
Untuk pemilik web “JASA DESIGN GRAFIS”.. belum pernah ngerasain yg namanya “karyanya dihargai n mendapat royalty” ya….
misalkan blum pernah, pantes aja anda menjual desain-desain dalam bentuk cd murahan..
Saya harus mengatakan bahwa saya setuju dengan sdr. Johan. Kpd sdr. Hady Tan, you are not helping at all. Segala komentar Anda sangat-sangat tidak beralasan. Ilmu desain bukan ilmu yang murah, karena aplikasinya sendiri juga bukan murahan! Sebaiknya Anda mempelajari kembali definisi dari desain dan desainer, seperti yang dibahas oleh sdr. Anom.
Selain dari kemampuan mengoperasikan komputer dan software, disekolahkan di sekolah tinggi atau tidak, ada hal yang jauh lebih penting bagi seorang desainer: DIGNITY. Harga diri. Saya sempat diberi sebuah link dari teman saya, dimana sebuah web design di luar negeri hendak memberlakukan ban bagi semua desainer Indonesia karena maraknya aksi plagiat yang dilakukan oleh desainer asal Indonesia. Siapa yang tidak miris melihat hal seperti itu?
Saya tidak bisa menahan tawa melihat betapa banyak sinisme yang terlontar. Betapa tidak! Sebagai mahasiswa DKV yang sebentar lagi mau lepas landas (baca:lulus), wajar kalau saya ikut-ikutan sinis.
Melihat banyaknya diskusi diatas (bahkan ada yang sampai sikut-sikutan sampai out of topic dan saling menuduh!). Pertama, yang “panas” dulu ya (you know who)! Dari segi bisnis, cara Anda sangat brilian, dan saya yakin keuntungan yang diambil juga tentu sangat menggiurkan. Tapi masalahnya Anda mempromosikan usaha Anda di forum ini, ya wajar saja Anda akan mendapatkan reaksi buruk dari mana-mana. Mengapa, karena langkah PGDG hanya baik jika dilihat dari kacamata bisnis. Dari kacamata desain, amit-amit deh, yang ada hanya memperkeruh suasana saja. (Saya tidak heran bila setelah ini saya akan diganyang oleh beberapa yang membela dengan berapi-api).
Mengapa saya mengatakan begitu? Kita lihat saja kondisinya. Tren jurusan desain grafis yang bergengsi menghasilkan banyaknya peminat! Namun jumlah tidak sebanding dengan kualitas. Tidak ada jaminan bahwa pada tahun-tahun mendatang, para lulusan memiliki kapabilitas yang layak sebagai desainer! (Saya memakai istilah desainer dengan definisi desainer yang sebenar-benarnya. Mereka yang menghasilkan solusi melalui pemikiran kreatif, metodologi desain, dan brainstorm). Kondisi ini tentu akan menghasilkan persaingan yang berdarah-darah. Sekarang bayangkan saja mencemplungkan sebuah jasa desain grosir ke dalam peta persaingan. Life is wonderful, yeah.
Dari perspektif bisnis dan marketing, top markotop deh. Strategi bisnisnya luar biasa, dijamin untung. Namun membabat habis sisi intelektual dari desain. Di tengah galaunya pendidikan desain yang tipis batasnya antara tujuan semula desain yang makin tergeser ke komersialisasi, sama saja seperti memancing di air keruh.
Saya malah ada satu lagi Bung PGDG. Pake sistem ANDA SUKA ANDA BAYAR. Mungkin ini bisa lebih memeriahkan lagi. Terima kasih banyak.
Bung Irwan emang cerdas…satu lagi idola saya setelah PGDG. Terima kasih pencerahannya.
saya ga baca semua si… cuma klo saya sebagai mahasiswa DKV melihat comment pertama saya merasa dilecehkan…
design memang tidak harus prestis. tapi design harus mempunyai nilai jual yang sepadan dengan kreatifitas dan pendalaman akan problem yang ingin diatasi secara visual.
maka menurut saya, PGDG memberi solusi namun solusi yang murah… bila murah, saya yakin masyarakat yang mau menggunakan harus tahu konsekuensi… seperti burger yang dijual dipinggiran dengan harga kurang dari 5000, kita bandingkan dengan burger king…. (klo suruh nebak, mana yang bikin sakit perut?)
mana bisa dibanding, jelas dari riset dan bahan baku saja sudah kalah. so please jangan kategorikan diri anda sebagai designer, karena maaf kata, anda belum memperoleh kelayakan kata “designer”. walaupun saya belum cukup berpengalaman dalam bidang design, saya saja sudah bisa menilai bahwa anda / perusahaan anda sendiri tidak mempunyai jiwa dan kapabilitas dari designer (the real one).
saya tutup dengan sebuah frasa : “money talks” when you sell yourself cheap… then you are… but when you dare to sell yourself expensive… than you are, tapi dengan catatan tetap menjunjung tinggi kredibilitas seorang designer….
Pertanyaan ini saya kembalikan kepada Anda.
Dosen juga ada yg menyontek karya mahasiswanya sendiri.
Saya setuju dengan pendapat Bonita,
Kalo saya bilang sih masalahnya bukan effortnya kurang pak. Cuma istilahnya kita ga bisa menjejal 2 tangkup roti sekaligus ke dalam mulut kita kan, mesti digigit pelan2 dulu.
Kalo yang saya alami sih, karena tugasnya banyak dan deadlinenya berdekatan, jadinya kita ga bisa fokus di satu tugas saja, pikirannya bercabang, masih kepikiran sama tugas yang lain. Apalagi semester lalu pak, ujian akhirnya 3 hari berturut2 satu flash game, satu commercial ad, satu presentasi pra ta. Pas denger jadwalnya aja saya sampe yakin waktu itu saya bakalan masuk RSJ Sumber Waras gigit2 kuku di pojok ruangan rumah sakit. Tapi kalo liburan kita terus berkarya dengan ilmu yang kita dapat dari kampus kok.
Ya saya tau sih, sebenarnya yang kita alami selama kuliah ini ga beda jauh sama dunia kerja. Selama internship ini juga saya dicecer sama bos terus soal kerjaan yang ga kunjung selesai. Cuma kalau menurut saya kuliah memang lebih enak pak. Kalo kuliah setidaknya dosen mengerti dan justru menekankan pentingnya proses design yang cukup memakan waktu, kalo dunia kerja sih engga pak. Klien maunya cepat, murah dan bagus. Sedangkan mereka sama sekali ga tau yang harus kita kerjakan seperti apa. Maunya tinggal motong gambar dari internet, ga peduli ada lisensi, ga peduli hasil cetaknya pecah apa engga. Uda dibikinin yang bagus, masih dikomplain lama. Cape ati dah pak, mereka yang awam di dunia desain itu uda ngeremehin kerjaan kita, banyak komplain, sotoy. Uda dibikinin desain yang ada hirarki dan legibilitynya oke malah disuruh benerin sana sini, dan ditambah2in sampe rame kayak pasar pagi.
(Lah? Kok jadi curhat) Yawdalah, pokoknya saya setuju sama pendapat bapak, masih banyak orang diluar sama yang ngeremehin industri DKV, mereka ga tau aja pak, kalo bikin marah orang DKV kita bisa mempermalukan mereka dengan pasang iklan billboard daerah Senayan. (Just kidding pak! Hehehe~)
menurut saya tidak salah PGDG menjual jasa yang ditawarkan dengan harga grosir, itu merupakan haknya. tetapi yang saya tidak setuju, ia menulis jasa desain grosir, harusnya dia menulis jasa gambar grosir. kalo desain pastinya ada konsep, maksud,tujuan,makna sedengkan yang ia tawarkan hanya visual. jadi menurut saya perusahaan tersebut hanya tukang gambar, bukan perusahaan design. banyak juga kalimat-kalimat di webnya yang tidak enak di baca, seolah-olah mereka sangat profesional padahal jika saya melihat gallerynya tidak seprofesional yang mereka katakan.
Waahhhh topik PGDG laris manis neh, dibanding artikel dari Pak Hast…bisa makin ngetop dia(hehehe… :))
Kembali kemasalah pendidikan, Ya… saya tidak bisa berkomentar banyak, karena pada kenyataannya pendidikan di Indonesia rasa-rasanya memang masih kurang, baik dari segi SDA ataupun sistem pendidikannya. Seperti yang dapat kita lihat jumlah mahasiswa DKV makin meningkat tiap tahunnya, PT seakan sudah tidak mau tahu lagi apakah calon mahasiswa barunya itu berkualitas atau tidak, segala macam test yang dilakukan seakan hanya sebagai formalitas yang harus dilakukan, dan semua itu kembali karena ekonomi berperan lebih kuat.
Membahas soal mahasiswa yang dikatakan kurang effort dalam berkarya, saya pikir ini ada 2 macam perbedaan, 1. hebat dalam mendesain, namun meremehkan nilai, menganggap tugas-tugas kuliah itu tidak terlalu penting(mungkin)
2. baik dalam mendesain, tapi terlalu jenuh dengan banyak tugas yang diberikan, sehingga karya yang dihasilkan kurang maksimal (seperti yang dikatakan Bonita)
Semua kembali ke indivisual masing-masing, karena tidak semua mahasiswa DKV memiliki passion dalam desain. Suka menggambar bukan berarti suka mendesain, tidak bisa menggambar bukan berarti tidak bisa mendesain.
Lalu mengomentari soal PGDG,..
Apa yang mereka lakukan tidak salah(menurut saya), “Ada harga ada barang” mereka punya strategi dan pangsa pasarnya sendiri. Kita pun tidak punya landasan untuk menyatakan apakah jasa dan harga yang mereka tawarkan, layak atau tidak. Hanya……MUNGKIN PGDG perlu mengevaluasi kembali harga yang ditawarkan(walaupun mungkin sesuai dengan effort yang dikeluarkan).
Di Indonesia memang belum ada buku “Pricing & Ethical Guidelines”(seperti yang dikatakan Pak Irwan), tapi harga segitu bisa menjatuhkan pasaran harga desain yang tentunya lebih tinggi.
Kita semua juga perlu ikut serta dalam membentuk asosiasi profesi kita ini menjadi lebih kuat dan kokoh, agar hal ini tidak lagi menjadi masalah yang serius di kemudian hari.
Salam DKV! Semangatt!!
Not that I’m not aware and being totally naive.
Megkritik Pendidik DKV di Indonesia:
- Silakan di coba apa yg sudah pernah saya buat ini. Ambil buku koleksi huruf atau fonts yang lumayan lengkap. Saya yakin para dosen DKV pengajar khusus tipografi dan para mahasiswa didikannya pasti punya buku pegangan spt itu.
- Berikan koleksi huruf baku saja, jangan yang dekoratif. Anda yg dosen dan mahasiswa dkv tentu mengenal istilah2 dan maksut dari huruf baku yg non-dekoratif.
- Berikan kepada desainer jalanan, misalnya: para pembuat papan nama, atau pelukis gerobak dagan, truk, becak, dan sejenisnya.
- perhatikan pilihan-pilihan huruf dan kombinasi2 yg mereka kerjakan.
- berikan pula kepada para pekerja grafis di settin layout: misalnya di percetakan2.
- perhatikan pilihan dan kombinasi mereka.
————————
Jeffry Keedy, David Carson, Ed Fella, adalah diantara para desainer yg terinspirasi dari desain jalanan. Di situs ini juga pernah diturunkan artikel ttg ‘kesuksesan’ sebuah kampus memproduksi fonts yg diinspirasikan dari tipografi jalanan.
http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2008/05/10/tipografi-vernakular-karya-mahasiswa-deskomvis-itb-di-konferensi-tipografi-internasional-%E2%80%93-yunani/
————
Pertanyaannya adalah:
apakah mendesain ulang huruf2 tersebut sudah termasuk membicarakan local-content? Ataukah jangan2 ini hanya sebatas pembicaraan local-form (decoration)?
Kritik pertama utk para dosen dan mahasiswa yg seringkali salah memahami apa itu FORM dan CONTENT.
Kritik kedua, apakah Anda dan para mahasiswa pernah mendiskusikan bagaimana, apa, dan mengapa para desainer jalanan yg non-educated(trained) designer mempunyai ‘taste’ spt itu?
Mungkin karena Anda-anda adalah para pendidik dan mahasiswa DKV, bisa tolong dijelaskan landasan pemikiran, konsep dan teori yg dapat menceritakan bagaimana, apa dan mengapa itu.
————-
Setiap pilihan dan kombinasi dari para desainer jalanan itu perlu di apresiasi juga, bukan sekedar diambil ide-idenya sebagai inspirasi utk kemudian di bawa ke Yunani.
Kalo ada yg mengatakan desain tipografi jalanan itu jelek dan berselera rendah, silakan jelaskan sebagai dosen atau mahasiswa dkv yg berilmu, terserah mau pake teori tipografi dari danton, rob carter, otl aicher, willi kunts, brockman, ato siapa saja idola desainer tipo superstar kegemaran masing2.
Jadi ada alangkah baiknya bila pendidik dan mahasiswa dkv jangan hanya pinter mengambil inspirasi dari jalanan dan mengolahnya menjadi desain yg konon katanya ‘indah’, tetapi gagal memahami dan mendalami makna dari desain jalanan itu sendiri, dan justru malah menyalahkan desainer jalanan yg telah dicuri ide-idenya itu. =)
@Heru Wijaya, maaf pak, saran anda tidak bisa dipakai..karena sistem “ANDA SUKA ANDA BAYAR” hanya dipakai oleh desainer AMATIRAN”… dan sama sekali tidak menguntungkan
terima kasih
pa karna….memang pakar, he….he….he…..peace ah
tidak ada sejarahnya kuli bangunan mengadu dirinya seorang arsitek, dan tidak ada ceritanya seorang ahli pengobatan alternatif mengaku sebagai dokter, gitu aja kok repot sih
om…om.., tante..tente…semakin tinggi sekolah kok semakin lieur….ngomongnya ya…xixixiiiii,
Terus nanti kalo lulus, minta di bantuin PGDG juga ya jon???
Lha… kritik terhadap pendidikan desain… ya… Kenapa S1 jadi tukang, D3-D4 ngak laku?
At a time when the interplay of visual signs, icons, words, and images— design—is playing a vitally important role in shaping culture and affecting the future of the planet, who should be entrusted with the tools, responsibility, power, voicethat design now enjoys? Stylists? Functionaries? Technicians? Truth-tellers? Poets? Activists? Inventors? Visionaries? Change agents? Renaissance persons? Informed citizens?
- Warren Lehrer: Emptying the Spoon, Enlarging the Plate: Some Thoughts on Graphic Design Education, Education of A Graphic Designer.
Kurikulum butuh ideologi, sesuatu yang dipercaya memang bakal terjadi dan dicita-citakan. Pendidikan desain, dipercaya bisa meningkatkan kualitas hidup manusia. Kalau kemudian debatnya cuma soal berapa banyak duit di kantong kita, lebih baik memang ngomong kursusan saja. Saya kira Morris dan Gropius cukup jelas dalam manifesto-nya.
Tapi sayang, ini tinggal cerita ya? Utopis…
You are not your job. You are not how much money you have in the bank.
- The Fight Club.
Wow!!!
topik ini menjadi makin menarik ketika PGDG berkomentar pertama kali…
Salut dan terima kasih untuk PGDG karena cukup berani untuk share sistem kerja dan web anda kepada kita2 di sini (kalau saya punya usaha sejenis saya tidak berani post di forum ini karena saya pasti akan dihujat2 designer yg lain) menurut saya tidak ada yg salah dengan cara anda, dan bahkan lebih membuka mata saya, kalau bisnis design grafis tidak sesulit yg saya bayangkan apabila saya mau menerapkan cara kerja seperti anda.Yang saya rasakan selama 4 tahun membuka biro design sendiri, saya ingin kedepannya dipandang sebagai biro design yg bergengsi, memiliki karya2 yg bagus, unik, memiliki klien2 ternama, memiliki harga rate design yg tinggi dsb. ( yg saya rasa juga itu adalah impian banyak designer yg membuka biro design sendiri / freelancer)
Tapi yg paling penting adalah perusahaan bisa sehat secara financial…
Namun dalam kenyataannya setelah saya berpikir cukup lama, selama sifat keidealisan saya seperti diatas masih sangat melekat, sulit rasanya untuk bisa mendapatkan keuntungan yg besar sekali dalam bisnis yg saya jalankan ini. Saya bahkan sering mempersulit diri sendiri, berlama2 mengerjakan design yg ujung2nya klienpun tidak suka, atau diminta merevisi design yg tadinya sangat saya suka menjadi design yg ok hanya di mata dia, tapi tidak ok di mata saya. DESIGN ITU RELATIF tergantung penilaian org masing2
Kalau mau berpikir hanya dari segi bisnis semata, saya rasa mungkin mencoba cara bisnis anda, saya kedepannya akan lebih mendapatkan keuntungan secara financial, namun tidak memiliki kebanggaan tersendiri (no offence PGDG, ini hanya pandangan saya semata)
pertanyaan saya kepada PGDG, semoga berkenan dijawab kapan2
1. Apakah anda lulusan dri S1 graphic design atau otodidak, atau anda sama sekali tidak bisa design, anda hanya seorang businessman
2. Apakah anda tetap memiliki idealis untuk menghasilkan karya yg bagus atau yg penting klien suka, dan klien bayar, anda tidak mau pusing, biarkan anak buah yg mengerjakan
3. Apa yg melatarbelakangi anda mengambil keputusan memakai strategi bisnis ini? apakah sebelumnya emang anda sempat kecewa setelah melihat kurang apresiasinya klien akan harga design.
just curious…. hehehe terima kasih sebelumnya
salam grafis
@anton saputra
terima kasih atas pertanyaan yang diajukan kepada saya. saya akan menjawab pertanyaan No.3 karena pertanyaan No.1 dan No.2 tidak dalam topik yang dibicarakan
3. Apa yg melatarbelakangi anda mengambil keputusan memakai strategi bisnis ini? apakah sebelumnya emang anda sempat kecewa setelah melihat kurang apresiasinya klien akan harga design.
JAWABAN :
sebenarnya yang akan saya utarakan ini adalah bahan seminar saya mengenai “bisnis desain grafis”..tapi akan saya berikan disini.
di dunia ini desain grafis terbagi menjadi 2 bagian :
A). desain tanpa revisi (DTR)
B). desain banyak revisi (DBR)
Desain tanpa revisi (DTR)
adalah desain yang klien-nya kelas menengah kebawah, dalam DTR pengerjaan desain tidak memakan banyak waktu (paling lama 1-2 jam), harganya murah, klien tidak banyak permintaan, jumlah orang yang membutuhkan desain seperti ini 99% orang indonesia
Desain banyak revisi (DBR)
adalah desain yang klien-nya kelas menengah keatas (perusahaan besar), dalam DBR pengerjaan desain sangat menyita waktu-tenaga-pikiran-biaya (pengerjaan desain ada yang sampai 1 tahun belum selesai-selesai), harga sangat fantastis (mahal), klien selalu banyak permintaan akan kesempurnaan sebuah desain (mungkin karena merasa sudah bayar mahal), jumlah orang yang membutuhkan desain seperti ini 1% orang indonesia
sebagai desainer grafis tinggal dipilih saja pasar mana yang akan digarap (DTR atau DBR).
kalau DTR uang yang datang cepat sekali dan terus menerus tapi berbentuk recehan, bikin desainnya gak perlu terlalu serius dan tidak memikirkan revisi alias “sekali bikin langsung dibayar”
kalau DBR uang yang datang agak lambat tapi sekali datang jumlahnya banyak, bikin desainnya agak serius dan harus siap menerima “badai revisi” dan membuang-buang waktu-tenaga-pikiran-emosi
kalau dijumlahkan penghasilan antara DTR dan DBR, jumlahnya sama saja
hidup ini pilihan, jadi tentukan pilihan anda dari sekarang
terima kasih
http://www.ruangkreatif.com
[…] Diperlukan suatu keberanian dari penyelengara pendidikan tinggi DKV untuk secara jujur menyatakan jenjang pendidikannya D-4 atau S-1. Bukan menjadi banci atau hanya sebagai kemasan dalam strategi pemasaran yang menjurus pada penciptaan kebohongan publik. (dikutip dari http://dgi-indonesia.com/mengkritik-pendidikan-dkv-di-indonesia/) […]
dunia komersial (bisnis) vs etika profesi khususnya kehidupan desainer grafis di Indonesia, stelah baca semua ini ternyata menarik banget ya, padhal tadinya saya searching mau bikin tugas artikel tentang etika profesi, setelah baca ini jadi “W O W” sendiri saya..
sepertinya dunia komersial memang begitu sengit persaingan, dampaknya pun kemana mana. lamban laun proses membentuk masyarakat yang tidak paham akan desain, semakin lama semakin tidak paham karena persaingan persaingan bisnis middle / low entry jasa desain grafis menggunakan cara cara promosi yang scara tdk langsung mendidik masyarakat untuk memahami desainer grafis tidak sebagaimana mestinya atau salah presepsi.
pemikiran saya sih untuk membantu mengangkat kepahaman masyarakat khususnya di Indonesia tentang desainer grafis, sebaiknya diberikan penyuluhan dalam sebuah promosi oleh setiap pelaku bisnis. penyuluhan tersebut berupa edukasi utk mengenalkan kpd masyarakat bahwa profesi desain grafis itu beda dengan profesi operator setting.. dan hal hal yang menyangkut desain dapat di share kan untuk memberikan pemahaman kpd masyarakat baik itu market atau audience.. karena untuk keadaan sekarang ini point penting utamanya adalah market masyarakat Indonesia itu sndiri
heheh maaf newbie nih klo ada salah kata maafin ya
namanya juga belajar nulis dan berpendapat..
Perkembangan Desain grafis memang menggembirakan, namun tidak pada penghargaannya, baik secara finansial maupun penghormatan jika desain itu dikerjakan secara konseptual dan ide yang original.
Mungkin sudah saatnya dari ADGI atau sebuah lembaga yang menaungi para desainer memberikan sertifikat penuh kepada desainer yang berbasis akademisi namun tetap melewati test atau uji tertentu, sertifikat itu sebagai pengakuan dari lembaga yang menaungi desainer dan bisa dipublikasikan ke publik jika desainer ini telah melewati uji test sebagai seorang desainer dan layak untuk mendapatkan perhargaan finansial yang terukur dan penghormatan karyanya oleh siapapun yang memakai jasa desainer tersebut.
Dari situ mungkin lembaga yang menaungi para desainer tersebut bisa memberikan standarisasi harga minimal untuk pembuatan jasa desain mesti berapa dan bagaimana jika memakai jasa desain yang bersetifikat kelayakan sebagai seorang desainer.
Dengan sertifikat kelayakan desainer tentunya akan mengarah pada kualitas dan konsep serta ide yang original yang mesti dipegang teguh oleh setiap desainer yang mendapatkan sertifikasi kelayakan tersebut.
Desainer sendiri dapat memperlihatkan sertifikat tersebut bersamaan dengan portfolio kepada klien atau perusahaan yang mau memakai jasa mereka.
Namun sertifikat tanda kelayakan sebagai seorang desainer tidak akan berpengaruh sama sekali jika lembaga yang menaungi para desainer tersebut tidak mengkomunikasikan ke publik atau dalam hal ini mengkomunikasikan ke perusahaan-perusahaan dan masyarakat yang notabene-nya sering memakai jasa para desainer.
Saya sendiri sering berhadapan dengan masalah penghargaan baik secara finansial maupun penghormatan pengakuan sebuah karya dari klien. Memang selama kita para desainer masih didesak oleh kebutuhan ekonomi dan tidak berpendirian untuk menaikan derajat sebagai seorang desainer, maka yang terjadi adalah penghakiman kepada diri sendiri hingga menjadikan desainer yang bisa dibeli murah dan tanpa penghargaan sama sekali. Alias desainer operator bukannya konseptor.
Maaf ya bila salah kata, ini hanya saran. Karena saya juga sangat tidak rela kita belajar selama 4-5 tahun gelutin konsep dan dicekokin masalah desain, setelah selesai ternyata tidak dihargai sama sekali. Sarjana Muda Iwan Fals donk…