Oleh: Irwan Ahmett
Adakah kombinasi harmoni antara seni (idealisme) dan desain (fungsi)?
2 0 0 6
Siapa tak kenal permainan bola indah ala Brazil?
Kaki-kaki emas yang bermain bak irama samba menggiring, menghibur dan menyihir jutaan pasang mata diseluruh dunia. Seolah sang seniman tengah menari menghantarkan bola dengan sempurna, sebuah permainan yang membuat berdiri bulu roma pecandu bola. Insting dan intelegensi individu saling terkait menghasilkan sebuah mahakarya dalam olah raga yang penuh gempita…Brazil tempat lahirnya seniman-seniman bola yang menjadi legenda dunia.
Namun apa yang terjadi kini? Tuntutan industri modern telah merubah sepak bola menjadi sebuah drama kolosal yang menuntut pemain bola untuk tidak lagi peduli dengan ‘estetika’ bahkan nilai-nilai sportifitas dalam olah raga. Semua cara dihalalkan asalkan tim meraih kemenangan. Kesebelasan yang bermain buruk bisa jadi mencetak goal dengan cara yang buruk demi tuntutan besar sebuah kemenangan. Brazil pun berubah pola mengejar segala cara demi meraih kemenangan, termasuk mengubah ‘estetika’ mereka dalam strateginya. Hasilnya seperti kita tahu Brazil tersingkir oleh Prancis di perempat final piala dunia 2006! Lalu publik pun meringis; Tragis…Sang maestro itu kehilangan identitasnya.
Berbagai pertanyaan menggelitik hadir ditengah-tengah kejaran sebuah deadline. Dapatkah Brazil menang tanpa harus menghilangkan idealisme mereka?
Merubah taktik bermain cantik (estetik) dengan pola menyerang mengejar kemenangan (‘fungsi’ utama bermain bola) membuat tim Brazil tersungkur di piala dunia 2006.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kenapa harus peduli dengan harmonisasi art dan desain?
1 9 9 4
Kuliah adalah salah satu periode paling indah dalam hidup ini, selain begitu mudah kita untuk jatuh cinta, juga banyak hal baru yang kita tahu dan betapa hausnya kita dengan apa yang sedang dipelajari. Namun disanalah kegelisahan pertama saya muncul, sepulang dari KMDGI ke 2 di ITB saya tidak memiliki hasrat lagi untuk melanjutkan bidang Desain Grafis, rencana pun berubah; seni murni terlihat lebih menantang dibandingkan dengan seni terapan. Proposal pindah jurusan pun mulai dirancang.
Namun segalanya kembali berubah dengan kedatangan seorang maestro graphic designer berkebangsaan Jerman; Uwe Loesch, 1995 ke Jakarta.
Dengan melihat poster-posternya yang menakjubkan, sensitivitas saya terguncang hebat melihat betapa graphic design bisa melebur dengan sangat kuat, menghapus keterbatasan bahasa, menciptakan ruang pemikiran dalam keindahan filosofi tipografi berpadu dalam balutan visual dan berubah menjadi pemaknaan yang universal. Saya pun tersenyum, seolah-olah baru keluar dari sebuah galeri seni rupa dan menemukan pencerahan disana.
Saya pun bermimpi seandainya Brazil dilatih oleh ‘Uwe Loesch’ dipastikan dapat terbangun jembatan harmoni antara idealisme dan penerapannya, seperti halnya art dan desain.
Saya jadi ingat cerita seorang teman yang siang hari bekerja sebagai desainer grafis dan malamnya berubah menjadi ‘public enemy’ bersenjatakan puluhan kaleng cat semprot demi alasan ekspresi dan idealisme coretan liar tergambar di tembok-tembok kota. Sedangkal itukah sebuah keseimbangan ekspresi seni dan desain?
Poster Uwe Loesch 1
Anzettelung
Museum für Kunsthandwerk Frankfurt am Main
16 x 21 x 29,7 cm, 1989
IQ – poster against radioactive contamination after Tschernobyl (1986) karya Uwe Loesch, sebuah desain poster yang ditransformasikan kedalam sebuah instalasi ruang dan coretan karya seniman era 80’an Keith Haring yang ‘menguasai’ ruang dengan goresannya. Desain memiliki kesempatan untuk diaplikasikan kedalam sebuah medium baru berwujud seni.
Green Spaces
International Posters for environmental protection
Museum für Kunsthandwerk Frankfurt am Main
119 x 168 cm, 1992
installation view
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Masih adakah batasan seni dan desain dalam dinamika budaya visual global?
2 0 0 4
Dalam satu kesempatan saya diwawancara oleh seorang kurator dari Prancis untuk berpameran disana (walaupun tim Prancis favorit saya, namun kali ini tidak ada hubungannya dengan sepak bola). Beberapa karya dipresentasikan dengan sempurna, setelah sekian lama berdialog maka muncullah sebuah pertanyaan yang paling sulit saya jawab sepanjang hidup ini. Pertanyaannya sederhana: “Are you an artist or a designer?” Keringat dingin muncul, telapak tangan menjadi basah, saya tidak pernah berfikir dia akan bertanya seperti itu. Lalu saya jawab dengan tegas; “I’m a graphic designer”. Perubahan muka langsung terlihat di wajah sang kurator dan tampak malas untuk berdialog lebih lanjut, bad news; saya pun gagal berpameran di Paris.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Adakah kombinasi yang tepat untuk menyatukan keduanya?
2 0 0 8
Jantung saya berdegup keras di stadion indoor Senayan, bendera-bendera unik sekilas tampak seperti suku terasing di pedalaman Tibet. Playlist diputar, lagu-lagu dengan unsur ethnic kental membuat suasana ruang kian pekat dengan sesuatu yang bisa menyihir saya selama beberapa jam…musik berdentum…kilatan lampu menyambar…seorang perempuan cantik bertelanjang kaki berlari kesana kemari, ribuan pasang mata mengikuti kemana ia melangkah, menggerakkan badan dalam harmoni yang sangat tak wajar. Saya tidak percaya melihat seorang Bjork sedang menyanyi dengan suara yang powerful didepan mata sendiri. Perkusi digital, synthesizer touch screen dan peralatan musik menghasilkan ritme yang sangat sulit dimengerti oleh banyak orang di studio tempat saya bekerja. Tapi kenapa saya tidak dapat menghentikan histeris selama 2 jam melihat performance tersebut, tiket seharga 750.000 terasa sangat murah untuk sebuah apresiasi jenis musik yang bisa jadi tidak dimengerti oleh ibu saya. Secara sadar saya telah menjadi sebuah obyek dari idealisme Bjork dan saya sangat rela untuk itu.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Manakah yang lebih penting estetika atau fungsi?
2 0 0 8
Akhir-akhir ini saya memiliki kesibukan baru yaitu meneliti keaslian payudara artis-artis papan atas di media massa, dari bentuk balon ala Victoria Beckham hingga buah melon Pamela Anderson, parahnya saya jadi pragmatis sering menghakimi beberapa artis yang bisa jadi memiliki barang orisinal tapi 70% saya meragukan keasliannya; Megan Fox, Jessica Alba, Christina Aguilera, Jessica Biel. Fashion pun berubah, BCL semakin menurunkan kembennya, bajupun kian rendah. Belahan dada tampak semakin mengkilat menjadi bentuk estetika yang dapat menyedot arah kamera kemana sang idola melangkah…Yaaa ampun itu semua demi keindahan semata? Apakah payudara itu masih memiliki fungsi yang baik?
Bahkan kini di Indonesia dengan uang 23 juta kita bisa mempermak sesuai dengan bentuk apa yang kita mimpikan.
Setahu saya pemilik implant harus memutuskan hal terbesar dalam hidupnya, yakni memilih estetika dan mengesampingkan fungsi. Sekali lagi itu sebuah pilihan hidup! Namun bagi saya payudara adalah organ tubuh kompleks yang memiliki banyak makna dan fungsi. Menghilangkan fungsinya sama saja dengan meng-install Windows di MacBook Pro.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Bagaimana perpaduan sempurna estetika dan fungsi?
2 0 0 7
Ini adalah sebuah kisah sedih yang membahagiakan, tentang si Mobi. Setiap hari saya mengajaknya berjalan keliling komplek, mukanya yang lucu dan bulunya yang berjuntai seperti boneka, berlari riang kesana kemari, menghampiri setiap anak kecil, mengajaknya bermain petak umpet. Seorang gadis cilik berujar dengan mata yang berbinar; ”Pertama kali liat, aku langsung sayang si Mobi”. Mobi telah kehilangan kepribadian sebagai seekor anjing, dia telah merasa menjadi bagian dari kehidupan tuannya, ingin naik mobil, bermain bola, berenang, dan menikmati ice cream walls favoritnya. Bagaimana binatang sekelas srigala ini melakukan evolusi begitu besar sehingga menjadi man best friend?
Ternyata manusia berperan dalam penciptaan breed tersebut, para breeder menggabungkan ras yang unggul kemudian menghilangkan genetic negatif yang tidak mereka inginkan. Tepatnya evolusi anjing telah dikontrol sedemikian rupa demi kesempurnaan estetika dan menciptakan fungsi baru dari binatang pemburu menjadi mahluk sosial dengan temperamen ‘ciptaan’ yang sudah dihilangkan kebuasannya.
Ditahun kelima Mobi mengalami gagal ginjal, kombinasi sempurna estetika dan fungsi ternyata tidak didasari oleh ‘basic genetic’ yang kuat. Anjing setia itu terkulai lemas tak berdaya, saya pun menangis melepas kepergiannya.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Lessons I have learned
• Perpaduan harmoni estetika dan fungsi dapat dicapai dengan baik apabila memiliki basic genetic (elemen dasar pembentuk) yang baik, dalam hal ini bisa menyangkut eksplorasi, riset, teknis, eksekusi dan proses kreatif.
Pada tingkatan tersebut desain memiliki visi dan sejalan dengan perkembangan seni kontemporer, bahkan telah menjadi bagian darinya. Sebegitu bebas dan mendalamnya sebuah proses dikaji lalu ditafsirkan sehingga tidak hanya dipahami secara dangkal, batasan bahwa desain itu harus menyampaikan sebuah pesan terlewati sudah, karena didalamnya mampu menafsirkan simbol yang lebih kompleks. Bahkan dengan ‘kesederhanaanya’ dapat memotret dengan baik apa yang sedang terjadi dalam dinamika sosial budaya dewasa ini. Desain punya kesempatan untuk ditanggapi dan diapresiasi layaknya sebuah karya seni.
• Walaupun batasan antara seni dan desain telah semakin kabur ternyata belum dapat dianggap equal. Desainer yang berkarya secara personal belum tentu disebut karya seni tapi secara value bisa disamakan dg karya seni. Karena desain berdiri dengan struktur yang dinilaikan sedangkan art tidak. Tapi ketika desain berani untuk keluar dari frame style, trend, tuntutan pasar, atau kebutuhan jangka pendek maka akan mampu meng attach semangat art kemudian sebuah desain bisa dimaknai sebagai sebuah karya seni.
• Art merupakan rahim desain, ketika art bertemu dengan kepentingan industri, maka disebut desain. Art dan desain memiliki platform yang berbeda; Desain bergerak kearah fungsi. Sementara Art melayani dan ‘menaklukkan’ diri sendiri serta kebebasan memilih ruang, menciptakan penafsiran baru, memiliki pemaknaan lebih dari apa yang diciptakan.
•••
terima kasih sharing nya mas Irwan ahmett, nice…
hmm… bagaimana dengan keberadaan craft? berada di posisi seperti apa?
Menarik sekali. Trims utk berbagi. Yang lucu, tampaknya banyak seniman yang gak mau kalau seni itu dianggap sama dengan desain. Mungkin itu sejenis pelecehan utk mereka ya…
Buat saya bisa disederhanakan. Ketika seorang seniman sudah berkutat dengan dirinya sendiri dan karyanya dan geo-sosial-politiknya, maka ketika ingin menghadirkannya ke khalayak untuk diapresiasi, dia membutuhkan tangan seorang desainer grafis, atau interior untuk membantunya mengomunikasikan karya2nya itu. Bukan siapa yg lebih penting atau lebih diakui, tetapi masing2 ada porsinya, dan yang penting sebenarnya adalah apakah kedua2nya, seni dan desain, mau mengakui keterbatasan2 dirinya, atau ingin merasa serba bisa?
cool bgt… artikelnya om irwan ahmett. btw, kasih tau dong om, tips yg baik untuk menjadi desainer grafis serta art desainer yg baik dan memiliki nilai dan kualitas.
duLs
sip… gelisah itu dinamis…
Hehehe… bagian Victoria Beckham-nya itu lho… Nakal!
Terimakasih atas dicantumkannya keterangan gambar di bawah poster karya Uwe Loesch dan Keith Haring ttg kontaminasi radioaktif, sehingga saya dengan cepat bisa menangkap mau mereka. Kalau tidak, mungkin saya bisa salah tebak, atau paling tidak akan makan waktu cukup lama untuk dapet fungsinya. Mudah-mudahan cuma saya yang telmi… trimakasih.
Wang pertanyaan gue masih sama dan sama dengan kurator perancis itu. “Are you an artist or a designer?”
Dari kacamata awam, katakanlah klien atau pemirsa, dari tulisan ini, gue belum menemukan secara tegas dan keras indikasi ke arah industri desain bagi Ahmett - Salina yang sudah elo paparkan kemarin di Adgi Zoom-in.
Ga nyesel luangin waktu untuk ngebaca artikel ini
menurut gw sangat menarik pengalaman mas irwan,dan saya sangat tertarik dengan sebuah pertanyaannya sederhana: “Are you an artist or a designer?” dan hanya karena sebuah jawaban “I’m a graphic designer” telah membuat kegagalan untuk berpameran di prancis..
sedemikin parahkah batasan antara seni dan desain?
padahal seni dan desain sama2 mendukung untuk berbagai hal, dan itu juga sangat berpengaruh dengan hasil yang akan didapat jika kita menggabungkan dua hal tersebut.seperti halnya dengan comment mas/mbak “K4rna”yg udah ditulis tentang persepsi dan hubungan antara seniman dan designer..dan ini juga harus menjadi koreksi bagi para seniman yg masih menganggap bahwa seni lebih dibandingkan dengan desain,atau bahkan sebaliknya.mereka harus mengerti sejatinya seni dan desain adalah suatu kesatuan yg berkutat di bidang yg hampir sama, hanya sebuah porsi yg membedakan mereka.dan terimakasih buat mas irwan yg telah berkenan membagi pengalaman tentang seni dan desain
Aku sepaham dengan mas Budi. Memang, aku pernah kena batunya dalam hal ‘seni’ dan ‘desain’. Aku tinggal di Bali, dan 95% klienku berasal dari luar negeri (alasannya mudah: orang Ind pelit-pelit he.. he..) - dan tak jarang aku harus bepergian ke beberapa negara untuk ‘ngambil bahan’.
Aku sering sekali dapet lontaran dari orang asing yang pesen desain : “Aku nggak pesen lukisan.. aku mau bikin iklan!” .. so? memang, di luar negeri sono pembedaan antara ‘design terapan’ (ads) dengan ‘seni design’ (arts) sudah sangat tegas.
Coba aja check portfolioku di Gravis Design Semua desain yg pesenan luar negeri pasti simpel-simpel. Bukannya nggak mampu, tapi mereka sudah merasa ‘sangat cukup’ dengan itu. Yang ku tahu, yang ‘paling parah’ adalah saat aku diminta untuk bikin desain untuk even ulang tahun ke 100 kota Port Neill-Australia Selatan (Port Neill Centenary) dan Nuit Blanche di Paris.
Hal yang sama juga saya alami waktu masih kerja di Marjan Pejoski (fashion designer untuk Miss Universe, Bjork, Rihanna, dsb) - di London (sekarang produksinya udah dipindah ke Bali - saya ikutan). Saya disana bikin desain untuk gambar-gambar tekstilnya. Tapi waktu di sana saya juga suka ‘nyambi’ bikin desain untuk orang/perusahaan lain - dan beberapa kali selalu terbentur pada masalah Art vs Ads.
Memang, kalo kita orang Indonesia lebih suka desain yang banyak variasinya, kreatif, nyeni (atau apalah..) ; tapi mereka lebih suka desain yang lugas tegas dan jelas. (mungkin ini cuma masalah selera.. semoga)
btw.. this was a nice article.. thanks..
Desain terkadang berselingkuh dengan seni, dan seni pun seringkali bercinta dengan desain. SOME ART IS BAD AS DESIGN AND SOME DESIGN IS AS GOOD AS ART. Demikian seketul kalimat yang saya jumpai di halaman 189 dari sebuah buku berjudul ‘Design and Art: documents of contemporary art’ yang diedit oleh Alex Coles. kata mereke,”WE DON’T SEE GRAPHIC DESIGN AS ART, BUT WE DO SEE ART AS A FORM OF DESIGN di halama 16. Buku ini sebuah survey atas diskusi tentang seni dan desain sejak 1957 - 2006.
Desain atau karya seni yang baik tetap saja dianggap berhasil kalau dia “laku” memenuhi kriteria2 publik secara umum, yang berarti penikmatannya dilakukan secara umum atau masal. Musik Dangdut kalau ditinjau dari kacamata intelektualis ( kaidah2 universal ) tentu dia akan dikesampingkan orang. Namun sampai saat ini tingkat appresiasi mayoritas masyarakat kita ya sebatas itu saja. Menurut hemat kami para kritikus ataupun mereka2 yang “berprofesi” demikian gagal menjembatani proses interaksi antara masyarakat umum dengan karya2 seni ataupun desain. Seni dan desain saat ini terbatas pada lingkungan tertentu yaitu kalangan sosialita yang lebih mengekspresikan seni sebagai status sosial seseorang ataupun sebagai komoditi dagangan dan investasi. Jadi tantangan kedepan pengetahuan yang berhubungan dengan kearifan lokal harus lebih digiatkan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
waaa…..nice statement..
sebagai pecinta dunia desain, saya juga kadang berpikir sama, tapi kadang muncul dilema pikiran saya yaitu antara desain idealis dengan desain yang harus mengikuti kemauan klien, yang kadang bertabrakan. Karna biasanya penerjemahan bentuk suatu ide, berbeda satu dengan lainnya, dan kadang proses berpikir ini hanya dihargai murah, karena masih banyak org berpikir ” ah cuma bikin kyk gt mah gw juga bisa..” bagaimana cara kita mengajak orang lain utk merubah apresiasi tentang sebuah masterpiece disain?
jangan salah lho mas… sekarang seni ( khususnya painting) udah merujuk ke industri, masa kanvas kosong udah dibooking kolektor sesuai apa yg di pingin kan beliau…masi untung gak pake revisi2… hehehe
Suka bagian ini:
“Sekali lagi itu sebuah pilihan hidup! Namun bagi saya payudara adalah organ tubuh kompleks yang memiliki banyak makna dan fungsi. Menghilangkan fungsinya sama saja dengan meng-install Windows di MacBook Pro.”
Hahaha… sastra yang nakal…
“estetika dan fungsi” sangat bermanfaat untuk diulas memang…
Kebiasaan baru meneliti payudara artis papan atas, pekerjaan yang seru, butuh ketelitian yang sangat tajam tuh wang
bagus tulisannya
Iwang memang dahsyat, sanggup menarik persoalan hingga masuk pada sebuah keharusan memilih…dan kejelasan batas pada setiap pilihan adalah suatu keniscayaan.
Kapan kita ngopi lagi, Wang?
Hemm…paparan yang menarik…
Dalam desain punya batasan yang gak kalah penting, namanya Budget. Entah untuk desain fee-nya, foto sesien, ilustrasi, atau produksi-nya. Pernahkah kita menuntaskan ekspresi seni ketika di awal eksplorasi sudah memikirkan jumlah duit di kantong untuk produksi ?
kekurangan membuat orang jadi lebih kreatif. asal jangan males mikirnya aja. huehehe…
Kalau gak saya, kebanyakan orang-orang Barat (Eropa-Amerika) telah dibekali pengetahuan mendalam tentang - minimal - sejarah seni sejak dini. Bahkan bagi mereka yang kurang memiliki talenta di bidang ini, setidak-tidaknya mampu menjabarkan sejarah seni klasik lengkap dengan aliran dan contohnya. Namun mereka nampaknya masih sulit memberi ruang pada karya seni visual kontemporer seperti hasil produk dari seorang graphic designer.
Memang salah satu perbedaan mendasar dari keduanya terletak pada cara produksi. Hasil karya seni umumnya (bagi orang Barat: “seharusnya”) memiliki keunikan sehingga tidak bisa diproduksi lebih dari satu (dalam takaran dan citarasa yang sama) meskipun dengan peralatan dan teknik yang sama. Sedangkan hasil karya (audio visual) graphic designer, seperti kita ketahui, akan dan selalu bersifat mass production dan bahkan pada berbagai macam platform industri media. Namun anehnya, ketika seorang seniman seperti James Montgomery Flagg, 1917, direkrut untuk memvisualisasi ajakan wajib militer di Amerika Serikat dalam bentuk poster yang terkenal dengan kalimat “I want you for US ARMY”, ia masih tetap dianggap seorang seniman.
Meskipun dekat dengan dunia industri, bagi saya graphic designer (GN) tetaplah seorang seniman. Ia adalah seorang yang memiliki talenta seni dan secara kebetulan menuangkannya pada media yang dekat dengan industri graphis: media digital. Hasil karya mereka yang menggugah, tetaplah bisa dinikmati / diapresiasi dalam kaca mata dan literatur seni. Ini sungguh berbeda dengan Pekerja Graphis yang lebih banyak mengulang (dan mungkin karena belum menemukan bakatnya sehingga bisanya jadi follower
) cara dan bentuk dari karya orang lain. Namun anehnya lagi, di dunia seni, para seniman sering menyebut diri mereka “pekerja seni”, … entah dimana batasannya? 
Apapun itu, saya lebih memahaminya sebagai sebuah kearifan berbahasa. Indonesia yang kita cintai ini memang kaya dan harus bangga dengan hal-hal seperti itu. Contoh sederhana: pantun, yang jumlahnya jutaan bertebaran disekeliling kita (jika anda peduli). Coba … satu kalimat saja diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris atau Perancis, niscaya nilai dan cita rasanya tidak akan sama dengan penutur aslinya, yang tentu saja hanya orang Indonesia yang bisa memahami.
Itulah sebabnya saya bisa memaklumi orang Perancis pragmatis (dan umumnya orang Barat) yang anda temui itu bersikap demikian.
Wassalam
Maaf … Ralat
seharusnya “Kalau gak salah …..” pada awal comment di atas
maaf.
ini salah satu kebiasaan kita, selalu minta maaf, meskipun gak salah atopun kesalahan itu sebenarnya gak masalah. hehe… kebiasaan mantun kali ya?
Kalo diperhatikan, desain grafis indonesia apalagi kalo yg latarbelakangnya dari dunia periklanan, lebih ngutamain (nonjolin) permainan kata2nya, visual saja dianggap tdk cukup.
hu uh euy, padahal klo mau studi lebih lanjut lagi, visual saja sudah bisa mewakili maksud dan tujuan sebuah iklan apabila caraNya benar, dan permainan kata-kata hanya sebagai pelengkap untuk menghindari salah pengertian.simple tapi ngena.
mungkin karena kebanyakan orang indonesia kurang dapat memahami kalau minim kata2, karena mereka males untuk berpikir sejenak tentang arti atau pun maksud dan tujuan sebuah iklan yg lebih banyak visualNya dibandingkan dengan kata2.mereka lebih suka yg instant..
itu hanya menurut saya, tapi klo salah y maaf..
hehehe…..
klo di lihat2 ternyata kalian senior yg hebat2 dan mengerti betul tentang seni dan desain di indonesia, aduh jadi malu gw, junior yg sok tau ini…
mohon bimbingannya:-)
Maaf boleh saya ralat komentar mas Budhi.
Permainan kata2 atau naskah dalam iklan bukanlah “pelengkap”. Tp visual dan naskah saling memperkuat untuk menyampaikan pesan iklan. Bisa jadi visual malah sebagai pelengkap atau kebalikannya…