Oleh Slamet A Sjukur
1
Tidak terbayangkan ada seorang pemusik tuli, karena musik berurusan langsung dengan pendengaran.
Seorang komponis Beethoven mulai mengalami sulit mendengar ketika dia berusia 30 tahun, akibatnya dia punya masalah komunikasi selama sisa hidupnya yang masih 27 tahun.
Sebagai seorang komponis, hal tersebut tidak menjadi soal baginya, karena dia mempunyai daya imajinasi dan ‘pendengaran dalam’ yang luar biasa, dan membuatnya tidak tergantung pada hal-hal yang sifatnya fisik. Simfoninya yang ke-9 yang dikenal dengan nama “Symphony of Joy”, begitu pula kuartet-geseknya yang terakhir yang menjadi kekaguman Strawinsky, salah seorang tokoh musik abad-20, kedua karya tersebut dikarangnya pada waktu dia sudah dalam keadaan terpencil sama sekali dari dunia bunyi di sekitarnya.
Akan lain halnya bagi seorang pemusik yang bukan komponis tapi pemain. Dia tidak mencipta karya musik, tetapi memainkan musik, maka dia harus bisa mendengarkan musik yang dia mainkan. Kemampuan pendengarannya sangat diperlukan untuk menjaga mutu permainannya.
Bahkan sekarang ini para komponis pun tergantung pada kepekaan pendengarannya untuk dapat memilih dan mengolah milyaran bunyi baru yang ditawarkan kemajuan teknologi.
Didalam musik (terutama di Barat, tapi juga sekarang di mana-mana yang menggunakan instrumentasi musik barat), ada pemisahan keahlian seperti halnya dalam dunia arsitektur: seorang komponis atau arsitek, merancang bangunan dan menetapkan blue-print partitur-musik nya, kemudian pelaksanaannya dilakukan oleh para pemain musik berbagai instrumen (termasuk penyanyi), yaitu tukang-tukang yang ahli dalam bidangnya masing-masing dan mandor-nya seorang pemimpin orkes.
Bagi pemusik, pendengarannya tidak saja harus dijaga, tapi juga perlu diasah kepekaannya terus menerus, tidak berbeda dari olahragawan yang tiada hentinya berlatih. Namun sudah kodratnya, bahwa semua ada batasnya, termasuk tubuh yang karena usia akan berkurang kemampuannya, begitu pula telinga. Secara alami, daya-tangkap pendengaran pada frekuensi atau ketinggian bunyi akan lambat laun menurun, semakin banyak bunyi-bunyi tinggi yang tidak terjangkau oleh pendengaran. Dan yang terdengar pun terasa semakin lemah dan jauh.
Selain karena usia, berkurangnya pendengaran dapat disebabkan oleh hal lain, misalnya kebisingan yang melebihi batas kemampuan telinga.
Kalangan pemusik yang pendengarannya rentan terhadap profesinya ialah para pemain trompet, perkusi dan terutama para pemain musik rock, tidak terkecuali yang membuat rekaman audio. Mereka senantiasa berhadapan dengan neraka deciBel. Suatu ironi bahwa musik rock yang dengan keras protes terhadap kemapanan, malah telinganya sendiri yang lebih dulu menjadi korban.
Gaya hidup moderen dan teknologi melanda kita semua dengan kebisingan yang semakin berbahaya, tidak saja bagi pendengaran kita melainkan juga terhadap seluruh keseimbangan jasmani dan jiwa kita.
Sebuah penelitian menemukan bahwa pada suku Maaban di Afrika, mereka yang usianya 60 tahun, pendengarannya jauh lebih tajam dari rata-rata pemuda berusia 25 tahun di New York yang senantiasa diserbu kebisingan kota. Kerusakan pendengaran bisa secara fisiologis.
Tapi menjadi tuli bisa merupakan cara untuk mempertahankan diri. Saya mengalaminya sendiri.
Sebagai komponis yang hidup di kampung dan dekat dengan surau yang menggunakan loudspeaker untuk memompa suara jauh lebih keras dari yang diperlukan, saya tidak mampu memusatkan pikiran untuk mengarang. Saya harus berusaha keras untuk menyesuaikan ‘nasib’ saya pada keadaan seperti itu. Setelah bertahun-tahun mengalami kesulitan, saya akhirnya berhasil dapat ‘tidak mendengar’ pengeras suara. Saya menjadi tuli dengan niat sungguh-sungguh, artinya sengaja, untuk bisa mengarang yang menuntut konsentrasi penuh. Ketulian psikosomatis yang saya alami ini merupakan jalan keluar untuk mengatasi kolonialisme kebisingan yang semakin menjadi-jadi.
Pentingnya pendengaran itu sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan profesi. Jika seseorang tidak lagi dapat mendengar, dia kehilangan sesuatu yang mestinya perlu untuk dimiliki manusia, apa pun pekerjaannya.
Tubuh kita itu suatu sistim saraf yang menakjubkan, yang mempunyai kemampuan untuk menerima dan mengirim pesan dengan gelombang getaran. Telinga menerima rangsangan gelombang akustik dan meneruskannya ke otak yang kemudian akan mengolahnya menjadi persepsi dan energi. Berkat energi yang kita terima melalui pendengaran, maka kita bisa memusatkan perhatian, mengingat, waspada dan melakukan berbagai tindakan intelektual lainnya.
Tidak semua bunyi memberi energi, tergantung dari amplituda kekuatannya, frekuensi ketinggiannya dan durasi lamanya; ada bunyi yang memberi energi, ada yang sebaliknya mengkuras energi yang ada. Desau yang lembut dari air-conditioner dapat menjaga konsentrasi dengan menutupi bunyi lain yang mengganggu. Gelombang akustik antara 800-3000 hertz (terutama sekitar 1.800 Hz) dengan kekuatan tertentu, merupakan sumber energi yang paling bermanfaat, Sedangkan gelombang yang sangat rendah dan kuat sekali, misalnya yang dipancarkan oleh loudspeaker musik rock yang sampai menggetarkan lantai panggung, mengkuras energi. Semangat musiknya sangat dahsyat, demikian pula gairah yang ditimbulkan pada penonton, tapi pada waktu yang bersamaan dan sesudah pergelaran, semua terkuras energinya dan menjadi lemas. Sekilas dapat dibandingkan dengan ketegangan yang mengasyikkan dari pertandingan sepak-bola Euro atau World Cup. Bedanya, terletak dalam hal ada tidaknya frekuensi rendah yang menggelegar dengan kekuatan sampai 8000 watt dan menyerang langsung pendengaran, jantung, seluruh sistim saraf dan sel-sel tubuh kita.
Hal sebaliknya, tanpa ada bunyi, kita juga celaka. Di dalam “ruang hampa-bunyi” yang seluruh permukaannya, dari lantai, dinding sampai atapnya dibuat sedemikian rupa untuk menyerap 99% bunyi yang ada di situ dan tidak membiarkan ada yang memantul, di dalam “ruangan yang mati” seperti itu kita tidak mendengar apa pun kecuali yang ada di dalam tubuh kita sendiri, degup jantung dan 1001 suara lain yang bergetar halus sekali. Suatu kekosongan yang sangat menekan, karena otak kita tidak mendapat energi yang diperlukan untuk bisa bekerja dengan semestinya.
Pendengaran berfungsi seperti dinamo yang menunjang kerja otak yang membutuhkan sekitar 3.000.000 rangsangan setiap detik selama sedikitnya 4½ jam sehari. Lebih dari separoh rangsangan tersebut diterima dari pendengaran, sisanya dari indera yang lain, penglihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan.
Disamping sebagai radar penangkap bunyi dan dinamo yang memberi energi pada otak agar berfungsi, telinga juga mengatur keseimbangan tubuh dan semua gerak-nya.
Karena ditopang hanya dengan dua kaki, maka manusia senantiasa berhadapan dengan masalah gravitasi, bagaimana agar bisa berdiri tegak, berjalan atau lari dan tidak jatuh. Secara otomatis ini diatur oleh organ yang terdiri dari tiga bagian, masing-masing berbentuk setengah lingkaran, yang terletak di telinga sebelah dalam. Salah satunya mengatur gerak maju-mundur, dua lainnya mengatur gerak kesamping. Organ ini pula yang mengendalikan semua gerak setiap bagian tubuh kita.
Suatu penelitian di Inggris, baru-baru ini menemukan masalah aneh. Berbagai game-elektronik yang mengacu pada kecepatan, membuat anak-anak (juga orang dewasa) sulit untuk berjalan mundur. Masih dicari akibat yang lebih jauh dari hubungan antara suatu rangsangan tertentu dengan retina-mata dan thalamus yang mengatur pendengaran.
Sudah diketahui, bahwa anak-anak sampai sekitar umur tiga tahun dapat ‘mendengar’ warna dan ‘melihat’ nada. Setelah itu kemampuan melihat dan mendengarnya menjadi ‘normal’, artinya terpisah. Suatu kasus langka, kalau ada orang dewasa yang bisa menangkap gelombang cahaya dan akustik tanpa mengkotak-kotakannya. Dua orang komponis, Messiaen (Perancis) dan Wyschnegradsky (Rusia), mempunyai kemampuan sinestasia seperti itu. Tiap bunyi itu warna bagi mereka, juga yang sebaliknya, tiap warna itu bunyi. Mereka merasakannya sebagai kenyataan fisik, bahwa warna itu berbunyi dan bunyi itu berwarna.
2
Peran telinga, luar biasa, aneh dan sangat misterius. Jauh lebih penting dari yang umumnya diduga, tapi nyaris tidak mendapat perhatian semestinya.
Begitu pula letaknya di kepala, kedua lubangnya menyendiri dari kelima lubang yang lain. Dua mata, hidung dengan kedua lubangnya dan mulut, semuanya terletak di depan, sementara kedua telinga terpisah berjauhan di samping kiri dan kanan.
Karena gelombang akustik mengelilingi kita di mana-mana? Tapi oxygen juga demikian dan hidung kita tidak di samping!
Telinga kita di ‘sana’ karena harus menjaga gawang, yaitu tubuh kita. Hal ini yata sekali pada binatang, bahwa telinganya menjadi penjaga keselamatannya, membuatnya waspada dan siap terhadap bunyi-bunyi yang mencurigakan.
Mengapa ketujuh lubang terletak di kepala, sementara ‘sisa’-nya yang dua di ujung tubuh yang paling bawah?
Ada yang berpendapat bahwa kepala itu berhubungan dengan mental, dan tubuh sifatnya material.
Dikaitkan dengan numerologi dan astrologi, ketujuh hari yang kita kenal sekarang ini tidak lepas dari pandangan jaman dulu tentang benda-benda langit yang terlihat dari bumi: 1. minggu (matahari, sun-day, Sontag, solis), 2. senin (bulan, mo(-o)n-day, lundi, lunæ), 3. selasa (mars, mardi, martis), 4. rabu (mercurius, mercredi, mercurli), 5. kamis (jupiter, jeudi, jovis), 6. jumat (venus, vendredi, veneris) dan 7. sabtu (saturnus, samedi, saturday, saturni). Dan angka sembilan berhubungan dengan kesembilan planet yang mengelilingi matahari: 1. mercurius, 2. venus, 3. bumi, 4. mars, 5. jupiter, 6. saturnus, 7. uranus, 8. neptunus dan 9. pluton. Semua itu mempunyai getarannya sendiri, begitu pula setiap angka itu bukan sekadar angka, dia hidup dan mengandung makna tertentu.
Dalam bukunya “Astrology, science and superstition” (1979), Eysenck, seorang profesor emeritus psikologi di University of London. memandang astrologi dengan mata sebelah. Dia tidak percaya adanya pengaruh posisi planet terhadap keadaan di bumi, termasuk watak dan nasib orang. Tetapi kemudian setelah membuat sendiri statistik yang dilakukannya dengan sangat cermat mengenai hubungan-hubungan tersebut, dia akhirnya berkesimpulan bahwa menolak fakta itu tidak ilmiah, bahkan menganggap ketepatan perhitungan astrologi yang sudah ribuan tahun itu patut menjadi landasan sebuah ilmu yang baru: astrobiologi. Tidak berbeda dengan pandangan dunia kedokteran yang pernah lama sekali meremehkan akupuntur.
Seorang insinyur elektronik, John H. Nelson, menemukan adanya hubungan antara badai magnit (yang menggangu penerimaan gelombang radio) dengan terbentuknya sudut 180º atau 90º oleh dua planet atau lebih. Naik atau turunnya permukaan laut disebabkan oleh posisi bulan terhadap bumi. Begitu pula keadaan batin kita, tidak bebas dari hukum resonan seluruh jaringan vibrasi yang ada dialam semesta.
Dan telinga kita, fungsinya tidak mandiri dan terpencil dari semua yang dibutuhkan untuk keberadaan kita.
3
Musik, suatu tatanan yang mempunyai aturannya sendiri? Atau pengejawantahan alam, atau lagi bahasa?
Persamaannya dengan bahasa, terlihat dari adanya hubungan yang erat dalam penggunaan suara, otak dan telinga. Bahasa dan musik, keduanya terikat pada tuntutan komunikasi dan karena itu harus ada kesepakatan tata-bahasa yang mengatur penyampaian niat kedalam kalimat kalimat yang logis.
Kedua unsur-bahasa, kalimat melodi (seperti intonasi dan artikulasi suara dalam percakapan) dan bentuk (seperti paragraf atau bab) harus sampai pada pendengar sebagai ungkapan rasa dengan ‘alasannya yang tepat’. Kalau sebuah kata tidak bisa berdiri semaunya sendiri karena terikat pada konteksnya, penempatan setiap nada dalam musik tergantung pada pertimbangan yang jauh lebih banyak lagi, karena yang namanya konteks di dalam musik itu suatu dimensi yang terbuka, tidak dibatasi oleh ‘arti’(-verbal), namun tetap komunikatif dan sintaktik.
Perbandingan yang lebih sempit, misalnya perbedaan antara bahasa sajak dan bahasa hukum. Dalam bahasa hukum ada tuntutan untuk sejelas mungkin, agar kesalahpahaman bisa dihindari, sedang dalam sajak, bahasanya mengambang, akibatnya tidak jelas. Dan memang bukan kejelasan yang sempit yang menjadi tujuan sajak, sebaliknya bahasa hukum yang begitu jelasnya, akhirnya sangat terbatas.
Perbedaan antara musik dan bahasa lebih jauh dari itu.
Dengan permainan catur, musik mempunyai persamaan lebih banyak. Keduanya sama-sama berbicara tentang dunianya sendiri yang tidak mungkin diterjemahkan.
Karena itu membandingkan musik dengan bahasa (sebagai yang dilihat Chomsky) itu keliru, lebih lebih dengan semakin cepatnya perkembangan musik dibanding dengan bahasa.
Pythagoras melihat musik sebagai terapan fenomena akustik. Penemuannya atas interval-interval dalam seri-harmonik dan spiral oktaf, sangat mengagumkan dan sampai sekarang masih menjadi salah satu tiang utama di dalam ilmu mengenai bunyi.
Dia membuktikan bahwa setiap nada itu di dalamnya mengandung sejumlah nada-nada satelit yang disebut harmonik dan sudah merupakan sebuah ‘akor alam’ sendiri, dengan perbandingan interval 2:1, 3:2, 4:3, 5:4 dan seterusnya. Nantinya diketahui bahwa timber atau warna nada yang membedakan bunyi suling dari trompet, ditentukan oleh nada harmonik mana saja yang lebih menonjol dari lainnya.
Kontinum ketinggian bunyi, menunjukkan bahwa nada-nada yang semakin jauh dari titik keberangkatannya juga semakin besar perbedaannya dari nada awal, sampai pada suatu titik yang paling jauh muncul kembali nada awalnya namun dengan frekuensi yang tingginya dua kali lipat. Oktaf yang proporsi frekuensinya 2:1 ini, berlanjut terus menerus seperti spiral.
Dalam oktaf inilah berbagai budaya memilih sejumlah nada sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kita mengenal tangga-nada yang terdiri dari 7 nada, seperti mayor/minor, ada yang menggunakan kurang dari jumlah itu (misalnya pelog dan slendro) atau sebaliknya lebih dari itu (12 nada kromatik atau bahkan musik India yang menggunakan 23 nada dalam satu oktaf).
Oktaf juga ternyata berkaitan dengan sistim saraf pendengaran. Binatang yang dilatih dengan bunyi, dia akan bereaksi terhadap nada tertentu, nadanya, bukan wilayah oktafnya yang bisa di mana saja, dan tidak tertarik terhadap nada-nada lainnya.
Semua itu (termasuk amplitudo kekuatannya dan durasi waktunya) tentu ada dalam musik, tapi bukan segalanya.
Ataukah musik itu suatu tatanan yang mempunyai aturannya sendiri? David Hilbert salah seorang yang meletakkan dasar axiomatik moderen, memandang musik sebagai matematika.
Otak kita mempunyai kecenderungan selalu mencari keteraturan untuk dijadikan pegangan dalam memahami sesuatu. Dalam berbagai eksperimen, pendengaran kita seolah berenang dalam arus berbagai unsur musik yang sedang kita dengar. Dikejarnya dulu pola-pola yang mudah dikenali, berikut ulangan-ulangan dan variannya. Sebaliknya, teknik komposisi yang rumit untuk menyamarkan paliandrom, sulit ditangkap karena keterbatasan daya-ingat temporal [paliandrom = rangkaian nada-nada yang disajikan atau diperdengarkan bolak-balik dalam arah yang berlawanan, seperti misalnya huruf-huruf dalam kata: ‘taMat’, atau bunyi kata: ‘matahari ß à rihatama’].
Ringkas kata, musik itu perpaduan unsur akustik dan budaya. Latar belakang, pengalaman dan tuntutan pendengar Sunda tentu berbeda dari pendengar Batak atau Madura. Dan bagaimanapun musik tidak terlepas dari soal rasa dan kecerdasan, persis seperti permainan catur yang logis dan puitis.
Di Hungaria, pendidikan musik menjadi sesuatu yang wajib sebagai pelajaran dari taman-kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Tujuannya tidak untuk menyiapkan mereka menjadi seniman, seperti halnya pendidikan matematika tidak untuk membuat semuanya bakal menjadi pakar untuk disiplin tersebut.
Pendidikan musik di sana dalam bentuk paduan suara. Suatu pendidikan untuk menanamkan rasa kebersamaan dan percaya diri, disamping demi kesehatan pernafasan dan metabolisme, dan untuk membentuk kerdasan. Hal yang terakhir ini tentu aneh sekali bagi masyarakat kita: apa hubungan musik dengan kecerdasan?
Suatu pendidikan yang seimbang dan holistik, yang mendaya-gunakan potensi kedua sisi otak kiri dan kanan yang berbeda. Kecerdasan yang tidak hanya linier tapi juga periferik. Belajar dengan hati yang senang, lebih mudah menyerap pengetahuan dari pada belajar dengan perasaan tertekan. Istilah Indonesianya: pendidikan untuk menjadi manusia seutuhnya, sayangnya kita hanya gemar membuat slogan dan tidak pernah tahu bagaimana mengatur strategi operasionalnya.
Dengan diam-diam dan tanpa menarik perhatian, telinga kita memerankan hal sangat penting: sebagai dinamo yang menyediakan energi yang dibutuhkan otak dan menjaga keseimbangan badan kita yang kasar (dan kasat mata) dan yang halus (yang hanya bisa dirasakan).
Telinga yang kita lihat sehari-hari dengan kebersahajaannya itu secara misterius menyimpan suatu rahasia besar.
Ketika manusia masih dalam wujud janin, pendengarannya merupakan salah satu organ yang sudah berfungsi sejak dini. Dengan demikian si anak manusia itu cepat menangkap gelombang suara melalui cairan di sekitarnya: ada dunia lain di luar dirinya.
Nanti, waktu dia sudah lahir, kemudian menjalani hidup dan akhirnya sampai di suatu titik penghabisan, ketika tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi, tinggal pendengarannya saja yang masih menghubungkannya dengan dunia yang sudah demikian lama dikenalnya dan akan segera ditinggalkannya. Pada saat seperti itu, dalam menghadapi sekaratul maut, ada tradisi membisikkan tuntunan ke dalam telinganya.
Apakah ini berarti bahwa pendengaran itu awal dan akhir kesadaran?
Jakarta 29 Juni 2008
Catatan: Ditulis untuk Pertemuan Ilmiah Tahunan PERHATI-KL VII, Bandung, 29 Juli 2008.
Slamet Abdul Sjukur
-
Pengalaman a.l.2010: Dengan dukungan Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, bersama para pakar THT, Akustik dan sejumlah aktivis, mendirikan MASYARAKAT BEBAS-BISING.
2006-09: Dosen Pascasarjana UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Bandung.
2001-06: Dosen Pascasarjana INSTITUT SENI INDONESIA, Surakarta.
2000-~: Anggota AKADEMI JAKARTA.
1981-83: Dekan Fakultas Musik INSTITUT KESENIAN JAKARTA.
1976-87: Dosen IKJ (Harmoni, Kontrapung, Analisa dan Komposisi).
1962-76: Tinggal di Paris; Belajar di Conservatoire National Superieur de Musique de Paris (Chambure dan Messiaen), Ecole Normale de Musique de Paris (Gentil, Dandelot dan Dutilleux) dan Groupe de Recherches Musicales O.R.T.F. (Schaeffer).
1957: Pendiri PERTEMUAN MUSIK SURABAYA (berdiri selama 25 tahun s/d 1982 dengan anggota 1300 orang, bangkit kembali sejak 2006- ….).
Karya-karya Musik
Dilindungi Badan Hak Cipta Perancis SACEM sejak 1968.
Disimpan di SACEM (Société d’Auteurs, Compositeurs et Editeurs de la Musique, Paris), CDMC (Centre de Documentation de la Musique Contemporaine, Paris), RTF (Radio et Télévision Française, Paris), ARION (Paris), WERELD OMROEP (Radio Belanda, Hilversum), AMERICAN GAMELAN INSTITUTE (California)
Penghargaan a.l.
2000: Officier de l’Ordre des Arts et des Letters (Perancis).
1998: Millenium Hall of Fame (American Biographical Institute).
1996: Pioneer of Alternative Music (GATRA magazine, Jakarta).
1983: Médaille Commémoratif Zoltan Kodaly (Hungaria).
1975: Golden Record of Academie Charles Cros (Perancis).
Artikel lainnya:
Chopin 200 Tahun
M U S I K, Bisa Dipegang Hidungnya?•••
Menyadari betapa selama ini diri kita dicerai-beraikan daripada sebuah manusia yang utuh. Pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, pengecapan, masing-masing diorganisasi sedemikian rupa oleh sistim masyarakat yang tidak peduli terhadap kemuliaan dan keutuhan jiwa-raga.
Tulisan ini mengingatkan tentang panca tunggal indera yang kita miliki dan keutuhan yang seharusnya dijalani. ‘Noise’ mengingatkan pada visual noise, ‘bahasa dan musik’ menghantarkan pada tipografi, ‘otak yang mencari keteraturan’ adalah semacam law of similarity dalam Gestalt.
Dan ‘Mendengar warna & melihat nada’, di suatu hari saya yakin kita semua akan mengalaminya lagi secara pribadi dengan Sang pemberi hidup.
Salut untuk Bapak Slamet A. Sjukur dan DGI yang telah memberi pencerahan. Ditunggu artikel-artikel selanjutnya seputar pendengaran-suara-musik.