Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Hirarki Kreatif

Oleh: Teguh Achmadi

Kreatif/creative; adalah kata sifat dari artifex (latin) = pembuat; Yang didalamnya terjadi proses pengertian (cognitive), untuk memunculkan sebuah gagasan atau konsep baru, atau hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada atau disebut juga kreatifitas. Cognitive disini dapat diartikan sebagai pemahaman mendasar terhadap sebuah masalah yang nantinya akan memunculkan solusi atau bisa juga memunculkan kesempatan baru.

Dari definisi diatas tentunya memerlukan sebuah pondasi kuat akan pemahaman masalah. Kurang tepatnya solusi kreatif sering terjadi karena pemahaman yang tidak menyeluruh. Hal ini tentu mulai berdampak dari Umbrella Idea sampai juga teknis eksekusi, karena keputusan akan sebuah eksekusi didasari atas feasibility ide itu dapat diterapkan. Batasannya ada pada craftmanship, tools dan timeline. Munculnya sebuah ide sampai dengan menjadi final artwork adalah proses kritik pedagogik, dimana ide yang muncul bukan ide dari seseorang tapi lebih merupakan ke-sinergisan tim kerja yang melibatkan beberapa orang. Hasil kerja demokratis untuk mencapai nilai ideal secara komunal, dimana semua orang menyatakan setuju dan nyaman dengan gagasan tersebut.

Lalu dengan adanya keterlibatan beberapa orang dalam pemunculan ide secara utuh untuk menjadi sebuah informasi dan di dalamnya ada alur komunikasi antar pekerja kreatif, tentunya menuntut keterbukaan pikiran dan kejujuran akan melihat sebuah keadaan nyata (existing), bukan sebuah garis komando dimana atasan akan memutuskan dan bawahan menjalankan tanpa terjadi komunikasi dua arah. Dalam dunia desain (dalam hal ini Desain Komunikasi Visual) atau bisa menyempit lagi dunia periklanan (advertising), pelibatan antara Brand Agency, Production House, Post Production House adalah pola yang lazim terjadi saat ini. Hubungan ini hendaknya dilihat sebagai alur komunikasi pengejawantahan sebuah ide, bukan sekedar hubungan antara pemberi pekerjaan dan penerima pekerjaan.

Setiap lini dalam proses di atas tentu mempunyai nilai-nilai penting, karena di sini pun akan terjalin lagi alur komunikasi yang lebih mendetail akan kemungkinan ide itu dapat direalisasikan. Standarisasi teknis ini yang harus dipahami oleh pihak penggagas. Bagaimanapun goresan pensil tidak akan menyamai brush stroke cat air, disinilah keterbatasan sebuah tools dengan segala spesifikasi teknisnya dibenturkan dengan gagasan dan time line. Benturan ini berubah menjadi berjalan selaras apabila kita memilih human resources yang tepat. Profesi dan jam terbang menjadi pengaruh signifikan dalam mensiasati perwujudan sebuah ide yang menuntut ketepatan waktu, profesionalisme serta integritas utuh terhadap penanganan sebuah kasus, berbicara berdasar apa yang benar-benar diketahuinya terbuka terhadap sebuah masalah teknis (troubleshooting) dan semangat mencapai nilai ideal sebuah visualisasi ide. Dan tentunya bila kita berbicara Above the Line (ABL) dan Below the Line (BTL) hendaknya dipahami sebagai hubungan timbal-balik sebuah program kampanye, walaupun sering kali BTL adalah perpanjangan strategi dari ATL. Namun tidak menutup kemungkinan dari program BTL yang kuat dapat menjadi trigger dibuatnya konsep ATL.

Pemahaman bahwa BTL adalah perpanjangan ATL kadang dilihat sebagai sesuatu yang benar-benar berada di “bawah”. Menjadi semacam pendegradasian posisi baik secara manajerial maupun secara konseptual. Hal ini akan berimplikasi pada situasi yang kurang kondusif, karena tanpa disadari akan muncul sifat yang meremehkan apapun yang dianggap datang dari “lini bawah”. Bahwa gagasan dari “bawah” tidak reliable, bahkan dianggap tidak tahu apa-apa justru akan membahayakan tujuan utama yang harus dicapai dalam sebuah rangkaian program kampanye melalui ATL dan BTL. Padahal bukankah untuk mencapai sebuah gagasan kreatif perlu ada komunikasi dua arah. Kalau saja ketika perumusan masalahnya tidak terjalin komunikasi yang baik antara eksekutor ATL dan BTL, bagimana mungkin akan menghasilkan komunikasi dua arah antara sebuah artwork dengan audience, antara pesan dan respon.

Kalau ditarik lebih jauh lagi pada era vitruvius, ketika pemahaman karya seni tertinggi ada di arsitektur dan seni patung, kemudian disusul oleh seni lukis dan kriya di level terbawah karena pemahaman tingkatan indera yang terlibat dalam mengapresiasi sebuah karya tersebut, tidak kiranya dengan dunia desain grafis sebagai cucu buyut dari seni murni yang pada akhirnya melahirkan periklanan. Apakah dengan menempatkan kampanye di TV berarti lebih tinggi prestige-nya dibanding kita melakukan activation di lapangan sepak bola? Karena tentunya yang menjadi tolak ukur adalah rencana strategis dari kelola bina usaha (account service) yang didukung oleh taklimat kreatif yang efektif untuk goal komunikasi pemasaran sebuah brand.

Sangat disayangkan apabila ada pandangan seperti itu dalam melihat perkembangan usaha di periklanan oleh insan-insan kreatif. Tidak hanya akan menimbulkan lingkungan kerja yang kurang kondusif tapi juga akan menurunkan pemahaman sempit pada penerus generasi kreatif berikutnya. Justru pada society of spectacle (masyarakat tontonan) media menjadi semakin terfragmentasi berbanding dengan insight konsumen. Tidak hanya TV, radio, koran dan majalah yang menjadi sumber informasi, berbagai olahan media hybrid pun tersebar pada saat sekarang. Sebuah tantangan bagi insan kreatif ATL maupun BTL atau TTL (Through the Line) untuk dapat menghasilkan gagasan cerdas yang tidak terkungkung pada media konvensional. Pemikiran yang terbuka dan positif dalam menjalankan tugas profesional dituntut untuk dapat terus memajukan dunia kreatif.

Referensi:

- Genres Hierarchy / article of art / Wikipedia.org
- Dua Seni Rupa, sepilihan Sanento Yuliman
- Wiryomartono, Bagus P. 2001. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan. Jakarta. Gramedia
- Kritik Seni Rupa, Sem C. Bangun
- Kurasi Rizki A. Zaelani pada pameran “Critical Gauge / Dadan Setiawan, d Gallerie, Nov. 2008

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly