Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Desain Grafis Indonesia itu tidak perlu ada!

Illustration: Eka Sofyan Rizal

Begitu kata para ‘fungsionalis’ yang percaya sekali bahwa ‘desain grafis itu murni masalah fungsi, bukan ekspresi’ dan ‘desain grafis itu harus jadi medium penyampaian pesan yang universal, harus mewakili semua’.

Gert Dumbar -maestro desain grafis Belanda- pernah menyatakan itu kepada pak AD Pirous -perintis pendidikan desain grafis Indonesia-, dan diskusi seru jadi tak terelakkan.

Kita tidak akan menayangkan diskusi itu disini, (tapi pada saatnya, kita harus coba minta pak Pirous untuk menggambarkan jalannya diskusi itu). Sebagai gambaran mari kita coba (berani) memperkirakan kerangka diskusinya:

Apa itu Desain Grafis?

Kubu pertama: desain visual.
Motivasi: desainer itu harus terampil visualisasi (alias menggambar dan memakai program computer graphic) dan bisa mengubah pesan menjadi visual yang menarik dan bertujuan strategis, sekaligus estetis (ekspresif).

Kubu kedua: desain solusi.
Motivasi: desainer itu selain mahir visual juga harus bisa mengembangkan pesan yang strategis, sehingga karya akhir dapat berfungsi dengan baik, yaitu diterima dan dapat memotivasi audience-nya.

Kubu ketiga: desain manfaat.
Motivasi: desainer harus bisa menguasai ilmu desain grafis dan lintas ilmunya, sehingga bisa membuat solusi karya yang bermanfaat untuk ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan dan lain-lain.

Kubu keempat: desain budaya.
Motivasi: desainer harus memahami dan menghayati makna desain grafis untuk dirinya dan lingkungannya, sehingga harus dapat membuat karya ideal yang dapat mengembangkan perilaku dan budaya untuk diri sendiri maupun kolektif.

> Dengan minimal empat kubu ini dan beragam motivasinya, akan banyak perbedaan pemaknaan dan perlakuan terhadap desain grafis.

Apa itu Indonesia?

Coba kita bahas dari arah pandang visual:

Kubu pertama: konsep tradisi (tradisional).
Motivasi: Kita punya kekayaan budaya dari beragam suku. Kita punya tradisi yang bisa diangkat menjadi daya tarik (dan daya jual): tarian, ragam hias, kerajinan, dll, sehingga Indonesia itu (harusnya) kaya. (> Kubu: Nostalgia?)

Kubu kedua: konsep politik.
Motivasi: Dengan bersatu (NKRI) kita bisa berbuat sesuatu yang lebih besar; beda tapi tetap satu. Harus satu nusa satu bangsa; boleh beda tapi kalau bisa harus terbiasa seragam, karena yang beda dianggap tidak nasionalis. Jadi Indonesia itu harus satu; misalnya, kalau bisa Indonesia itu diwakili oleh Jawa saja; oleh batik saja, itu sudah pasti Indonesia.

Kubu ketiga: konsep budaya.
Motivasi: Selain dari tradisi, kita juga punya budaya kontemporer; Indonesia yang kaya alam dan suku (potensi), memiliki daya juang untuk mempertahankan keutuhan (karena sejarah) bisa dengan cara gotong royong atau mandiri, mampu menyerap perkembangan jaman dengan cepat (politik terbuka dan konsumtif), sehingga Indonesia itu segala ada.

> Dengan minimal tiga kubu dan motivasinya akan berbeda melihat dan memvisualkan Indonesia.

Jadi, gimana?

Selamat berdiskusi :)

Eka Sofyan,
Ketua, fdgi.
Direktur+desainer, paprieka studio.
24 April 2008.

Sumber: Share #07, newsletter yang dibagikan dalam beberapa acara FDGI&Friends, bertujuan untuk
menghidupkan budaya ‘desainer yang menulis’, juga merupakan medium komunikasi antar anggota FDGI.

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. Yg perlu dimasukkan dalam desain grafis indonesia itu adalah konsep dan berpikirnya masyarakat indonesia itu sendiri dalam memecahkan masalah2nya melalui bahasa grafis, dan bukannya sekedar menempelkan dekorasi atau visual2 berbau dekorasi dari ornamen-ornamen tradisional yg disertai filsafat2an asal nyantol.
    Desain grafis itu sudah pasti fungsionalis, perlu riset yg bukan cuma riset2an sendiri tanpa pernah diuji coba ke audiens. Dan pada saat yg sama, desain yg merupakan applied art, tentu saja juga sebuah bentuk kesenian, jadi tidak pula haram mutlak bagi desainer grafis utk berkesenian mengekspresikan dirinya melalui desain.
    Yg penting jangan mutlak-mutlakan lah.

  2. saya pikir, design, entah itu grafis atau yang lainya, adalah seni yang dikotori fungsi. adalah kurang tepat jika 100% desain lahir karena fungsi dan output nya yg 100% juga demi fungsi, kenapa melupakan induk kandung dari ilmu ini sendiri? seni. sekarang semakin terpisah, yang satu begitu meghindari fungsi praktis demi estetik, sedangkan yang satu lagi mendewakan terpenuhinya fungsi. keseimbangn antara sebjektif dan objektif diri designer lah yang sebaiknya dimasukan dalam pola pikir dasar setiap masyrakat design indonesia, dan itu bisa bermacam macam tigkatan besarnya, subjektif bisa berisi kepentingan politik, budaya, identitas,ekspresi, atw hal hal lainya yang sarat akan keinginan personal diri designer yang bertujuan untk mencari ke”indonesia”anya”. tentu saja sesuai kebutuhan seberapa besar subjektif itu bisa diterima, tidak semua, tidak juga lebih besar. ketika 100% hasil design demi fungsi tanpa subjektif diri designer, maka identitas indonesia akan semakin bias

  3. itu subjktif diri saya sendiri sebenarnya, dalam berkarya yang murni(seni ketika sebelum design) sebenarnya tidak ada tuntutan apapun dari luar ketika melaksanakanya, hati bebas, perasaan kosong, tanpa memikirkan apa itu akan berguna atau tidak, tapi ketika ilmu ini dibutuhkan untuk memperbaiki kehidupan manusia, timbulah tuntutan tuntutan yang tujuanya agar hasil dari karya dapat berFungsi untuk manusia(yang membuat tuntutan itu sendiri)! setelah ini disebutlah sebagai design. beberapa orang mungkin menganggap tuntutan itu sebagai “tantangan”, tapi kan tidak sedikit juga yang merasa kehilangan esensi dalam berkarya ketika seluruh proses kreasi mereka disetir penuh oleh tuntutan2, maksud saya sebenarnya, perasaan kotor itu adalah ketika fungsi fungsi(termasuk aturan aturan lainya ketika mendesign..) tersebut terlalu mengatur segalanya, bukan berarti saya menolak fungsi, toh kotor juga ada yang berguna..
    ini saya kira sangat subjektif, mungkin saja saya salah,…
    mari sama sama kita pecahkan

  4. dalam perkembangan metode riset seni dan desain sedang dilakukan pencarian legitimasi metode self-reflexivity (refleksivitas diri) dan subjectivity agar diterima sbg metode yg lulus kajian validitas dan reliabilitas.
    Unsur relatif menjadi tolok ukur subjektifitas dan artinya karena manusia (diri kita, perasaan kita) adalah tolok ukur yg dapat berubah-ubah. Tidak ada masalah dgn subjektifitas itu, hanya saja termin2 spt itu sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu. spt maksud ‘kotor’ pengotoran yg dijelaskan diatas, supaya ada kesepakatan bersama dalam diskusi selanjutnya. ntar kalo enggak salah sangka kan jadi berabe. hehe ;)

  5. oya, sebelum desain adalah seni murni dulu!? saya ragukan itu, karena seorang pelukis, pematung, apalagi performance artist adalah omong kosong kalau tidak memulainya dgn sebuah konsep ‘desain’ di kepalanya sebelum dituangkan ke dalam bidang kerjanya.
    Bahkan kalaupun si seniman melukis dgn kuas tak bertinta dan menorehkannya diatas kanvas kosong, lalu kanvas itu dibingkai dan dipamerkan di galeri atau museum, tetap saja ada ‘desain’ sebelum menjadi seni. ;)

  6. bukunya bisa didapatkan dimana?

  7. bukan buku, tapi newsletter. dibagikan pada acara-acara FDGI&Friends yang diadakan oleh FDGI (Forum Desain Grafis Indonesia). berita-beritanya selalu dimuat di DGI, seperti pada tanggal 5 juli ini FDGI&Friends#17: “Dari Desain Grafis menuju Distro via Branding”. datang saja dan dapatkan newsletter terbarunya di lokasi.

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly