Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Chopin 200 Tahun

Sumber: Wikimedia Commons

Oleh Slamet A Sjukur

Dunia Chopin, dunia musik. Dan khususnya musik bagi komponis.
Singkat kata DUNIA PENDENGARAN yang kreatif.

Bagi manusia moderen yang semakin tenggelam dalam budaya kasat-mata, dunia-pendengaran terasa semakin asing.

Karenanya Peringatan 200 Tahun Chopin, sangat penting untuk mengingatkan kita pada dimensi kedalaman yang nyaris terlupakan.

Waktu bermeditasi atau pada saat-saat khusyuk berdoa, bahkan ketika menikmati kebahagiaan dalam pelukan pertama, kita memejamkan mata untuk membebaskan diri dari keterbatasan dunia visual.

Musik Chopin bisa kita resapi sepenuhnya hanya dengan cara seperti itu, dengan merasakannya dari dalam.

Apa untungnya meresapi Chopin seperti itu?

Tidak ada!

Dari segi material tidak ada gunanya! Apa lagi dengan mental bisnis yang cuma tahu menghitung ‘untung-rugi’ sebatas ukuran kebendaan jangka pendek.

Dalam kebingungan kehidupan moderen, kita sekarang ini diam-diam mempertuhankan uang. Dan hanya memikirkan diri sendiri. Persetan yang lain. Kita terpaksa harus pandai bermain sandiwara demi kebahagiaan semu (pengakuan, uang dan kekuasaan) yang dijadikan tolok ukur masyarakat. Ini adat dunia, memang. Tapi bukan satu-satunya.

Yang lain, misalnya musik. Sebagai gelombang, dia bisa bergerak ke semua penjuru dan merasuk kemana saja, tidak terkecuali ke dalam relung-relung tubuh sampai ke sistem saraf kita yang demikian rumit. Dan terjadilah persekongkolan antara musik dan jiwa kita yang paling dalam. Kita dibuatnya menyadari adanya lautan rasa yang tidak terjangkau oleh kesibukan sehari-hari, sekaligus menyadari bahwa yang sehari-hari itu bukan segalanya.

Chopin, dunia bunyi di antara bunyi-bunyi lain yang tidak terhitung banyaknya. Cirinya yang khas jika dibandingkan dengan para komponis seperti Beethoven, Mozart dan Bach, musik Chopin terasa lebih luwes, harmoninya mengaburkan perbatasan-perbatasan yang biasanya sangat jelas memisahkan suatu daerah tonalitas yang satu dengan lainnya. Dalam hal melodi, Chopin (seperti halnya Mozart) sangat tersentuh oleh getaran suara manusia. Opera-opera Rossini, Donizetti dan Bellini membuatnya begitu kagum sampai mendorongnya untuk memperlakukan piano seperti suara manusia, maka piano pun menyanyi (untuk pertama kalinya!). Chopin juga membawa tempo rubato yang seperti binatang aneh bagi kalangan musik yang fanatik pada ‘waktu yang tepat’.

Suatu ketika dia bertemu Meyerbeer yang waktu itu sedang di atas angin sebagai komponis berbagai opera. Kepadanya Chopin memperkenalkan karyanya sendiri: Mazurek (=Mazurka) C mayor op.33. Meyerbeer bilang pada Chopin “Anda memainkannya 4/4 bukannya 3/4 seperti yang tertulis”. Chopin tersinggung:” Anda mau ngajari saya memainkan musik saya sendiri?”

Karya yang sama, diajarkan kemudian pada Charles Halé, salah seorang muridnya yang dia sukai. Halé mainnya terlalu setia pada partitur, maka Chopin memberi contoh yang betul, tapi muridnya malah berpendapat seperti Meyerbeer. Chopin menjelaskan dengan tersenyum bahwa dia tidak bisa main seperti lazimnya, itu sudah menjadi suratan ciri nasional.

Rubato yang artinya ‘bebas tempo’, menjadi salah satu masalah sulit dalam musik Chopin, banyak yang menafsirkannya sekenanya, ada yang untuk menutupi kelemahan teknik bermain atau melakukannya berlebihan dan tidak pada tempatnya. Rubato bagi Chopin justru seninya merasakan ‘saat yang tepat’.

Ketepatan saat’ merupakan tuntutan mutlak bagi apa saja yang bergerak; bagi binatang untuk bisa menerkam mangsanya, bagi korban untuk menyelamatkan nyawanya, bagi petinju, bagi pemain sepak bola, untuk mengedit film, untuk merayu, mencopet dsb. Semua itu mempertaruhkan saat yang tepat. Maka ukuran mutu seorang pemusik, bukan pada lehebatannya main cepat tanpa salah, melainkan seberapa tajam kepekaannya pada waktu yang terus menerus berubah.

Sebenarnya semua komponis berpikir demikian, tapi Chopin caranya sangat tidak lazim sehingga tidak mungkin lewat begitu saja tanpa menarik perhatian.

Nasionalisme dalam musik, Chopin juga yang membawanya ke permukaan, sebagai perlawanan terhadap kekuatan yang menindas tanah kelahirannya (Polandia). Rasa kebangsaan ini kemudian diikuti komponis-komponis lain, tanpa rasa permusuhan melainkan hanya sebagai kesadaran atas jati diri yang tidak berlebihan: Smetana (1824-1884, Cekoslovakia), Grieg (1843-1907, Norwegia), Bartok (1881-1945, Hungaria), Kodaly (1882-1967, Hungaria), Amir Pasaribu (1915-2010, Indonesia).

Unsur nasionalisme yang paling jelas dalam musik Chopin: mazurka, polonaise dan krakowiak. Dalam Fantaisie Impromptu op.psth.66 dan Étude op.10 no.3, bagian-bagiannya yang lambat, digali dari musik folklor. Namun tentu saja jiwa Polandia tidak cuma di situ melainkan terdapat di seluruh karya yang menjadi bagian hidupnya.

Hal yang nyaris tidak pernah disinggung dalam buku-buku pelajaran sejarah musik ialah kenyataan bahwa Chopin ‘berpikir polifoni’ (terlampir analisa singkat atas Prelude op.28 no.1 dan Berceuse op.57), maka timbul anggapan bahwa polifoni hanya monopoli jaman renesans (abad 16) dan barok (abad 17) saja. Chopin yang hidup di abad 19 tetap menghargai Bach, Wohltemperiete Klavier menjadi modelnya untuk 24 Prelude-nya op.28.

Dalam kedua jilid Wohltemperierte Klavier yang masing masing memuat 24 pasang Prelude-Fuga, Bach menyusun urutannya secara kromatik: C mayor-c minor-C# mayor-c# minor-D mayor-d minor —dan seterusnya. Sedangkan Chopin menyusun urutan 24 Preludenya tidak secara kromatik melainkan dalam siklus-kwin yang masing-masing diikuti relatif minornya: C mayor (kemudian a-minor)-G mayor (kemudian e-minor)-D mayor (kemudian b-minor)—dan seterusnya.

Chopin yang hidup di zaman Romantik dengan ciri harmoni-kromatik yang mengaburkan tonalitas, menggunakan siklus-kwin yang menjadi medan magnit dominan-tonika yang amat penting di zaman Bach. Sebaliknya Bach sendiri sudah melompat jauh ke depan dengan menggunakan kromatik sebagai pembebasan diri dari tarikan domonan-tonika. Pembebasan diri ini bahkan berlanjut sampai ekstrim di awal abad 20!!! (Serialisme Schönberg).

Bach dengan suita–nya membuat musik tari sebagai sumber untuk dijadikan musik yang akhirnya bisa dinikmati tanpa perlu tarian lagi. Begitu pula Chopin dengan krakowiak, mazurka, polonaise, wals, ecossaise, dan bolero.

Disamping itu, Chopin membuat berbagai jenis musik yang mandiri: ballade yang dulunya suatu cerita yang dinyanyikan dan bisa sambil ditarikan, menjadi karya instrumental; prelude yang dulunya sebagai intro atau pembuka untuk karya berikutnya yang lebih penting (contoh Preludeà Fyga, Bach), menjadi karya yang berdiri sendiri (ditiru kemudian oleh Skrjabin, Debussy dll); étude yang dulunya hanya latihan teknik, menjadi karya mandiri yang intinya tetap soal teknik tapi dalam arti yang lebih luas (mencakup teknik ekspresi musik) dan bisa dinikmati seperti halnya musik jenis lain; impromptu sebagai improvisasi yang tertulis, lebih sulit di tebak dari pendahulunya (Schubert,1797-1828); sonata, juga bukan hal baru, tapi Chopin menjadidikannya lebih padat dengan cara yang khas dalam mengolah dan mengembangkan tema-temanyanya.

Disamping karya-karyanya yang sudah sangat terkenal, juga ada yang tidak banyak diketahui: sebuah Polonaise untuk cello dan piano, sebuah Polonaise dengan iringan orkes, sebuah Trio biolin-cello-piano, Fantasia dari lagu-lagu rakyat dengan iringan orkes, Gran Duo untuk cello dan piano berdasarkan tema dari opera Meyerbeer “Robert Si Setan”, Krakowiak untuk piano dan orkes.

Chopin, bagi penerbit, sering memusingkan. Naskahnya yang sudah siap untuk dicetak, sering ditariknya kembali untuk diperbaiki lagi. Dorongan untuk mencipta tidak pernah berhenti, begitu pula kebutuhannya untuk terus menyempurnakannya.

Sebagai pianis, dia lebih suka main di rumah-rumah orang yang bisa menampung sejumlah kenalan-kenalan yang berminat dari pada di gedung konser.

Sebagai guru, dia sangat hangat tapi juga sangat menuntut. Mungkin karena teladan dari ketiga gurunya: Ludwika (kakaknya sendiri yang pertama kali mengajarnya), Wojciech Zywny dan baru kemudian Józef Elsner yang tidak otoriter melainkan ‘tut wuri handayani’.

Bagi Chopin, teknik tidak terpisahkan dari musikalitas. Murid-muridnya tidak cuma dilatih jari-jarinya saja, dia menekankan pentingnya pendengaran untuk mengatur kualitas bunyi yang dihasilkan jari-jarinya. Bagaimana menemukan pernafasan kalimat-kalimat musik dan memberinya energi untuk menghidupkannya. Bagaimana memilih nuansa yang pas bagi setiap nada dan dalam hubungannya dengan nada-nada di sekitarnya. Dia sering mengeluh karena banyak muridnya yang tidak mengerti bagaimana menghubungkan nada-nada dengan legatissimo yang cantabile.

Dalam hubungan antara unsur fisik dan mekanik kibor dengan anatomi tangan, Chopin menunjukkan bahwa tangga-nada C mayor itu jauh lebih sulit dari tangga-nada F# mayor atau Db mayor. Dalam C mayor, kibor-putih dari ujung kiri piano ke ujung kanan, seluruh permukaannya rata, padahal jari-jari kita tidak sama panjangnya. Sebaliknya, dalam tangga-nada F# mayor dan Db mayor ada tiga kibor-hitam yang mudah digapai oleh tiga jari tengah yang panjang.

Etude op.10 no.2 untuk melatih jari 3-4-5 yang lemah. Etude op.10 no.5 untuk melatih jari-1 memainkan kibor-hitam (hal yang biasanya dianggap tidak lazim). Etude op.25 no.10 khusus teknik oktaf. Chopin juga mengajarkan metode Clementi.

Ferencz Liszt yang lebih muda setahun (1811-1866) mengaguminya dan menulis buku tentang riwayat hidup Chopin. Demikian pula Robert Schumann (1810-1856), dalam karyanya Le Carnaval terdapat sebuah potret (musik-) Chopin. Karya lainnya Kreisleriana yang terdiri dari 8 bagian dan merupakan salah satu karyanya yang penting, ditulis khusus untuk Chopin. Sebaliknya, Chopin sendiri mengarang Ballade F mayor untuk Schumann.

Karya Chopin Preludes op.28, Etudes op.10 dan Etudes op.25 menjadi ilham bagi Schumann (Etudes Symphoniques op.13), Liszt (Etudes Transcendants), Skrjabin (1872-1915: Preludes op.11), maupun Debussy (1862-1918, 24 Preludes).

Chopin yang kesehatannya rapuh karena menderita penyakit jantung, tidak berarti musiknya ikut sakit-sakitan, memang halus, ekspresif tapi menurut Vladimir Horowitz juga dahsyat seperti singa jantan.

Di dalam percintaan, ada nama-nama Maria Wodzińska dan Delfina Potocka dan dua nama lain. Hubungannya yang terpenting ialah dengan George Sand seorang srikandi yang suka merokok, naik kuda dan berpakaian laki-laki, seorang pengarang novel yang terkenal. Janda cantik dengan dua orang anak, dan berusia lebih tua dari Chopin. Berawal sebagai kekasih yang sederajat, kemudian dengan rela menjadi perawat setia Chopin yang tubuhnya semakin lemah, dan akhirnya berpisah sesudah sepuluh tahun. Bahkan tidak hadir pada upacara pemakaman Chopin yang diikuti sekitar 3000 orang sepanjang jalan di Paris antara gereja Madeleine dan kuburan Pere Lachaise.

Juga ada Jane Wilhelmina Stirling, muridnya yang kaya raya berkebangsaan Scotlandia. Gadis ini ingin menikah dengan gurunya, tapi Chopin sadar bahwa sakitnya semakin parah dan hidupnya tinggal sebentar lagi, maka dia tidak ingin menjadi beban Jane.

Jane inilah yang membayar apartemen Chopin yang mewah dengan tujuh kamar, bekas kedutaan Rusia di Paris. Dia juga yang membiayai seluruh upacara penguburan Chopin (termasuk ongkos pulang Ludwika kakak perempuan Chopin ke Warsawa) dan pembuatan patung di makamnya.

Upacara di gereja Madelein tertunda sampai dua minggu, karena Chopin sudah pesan agar dinyanyikan Requiem-Mozart, dan musik tersebut melibatkan paduan suara perempuan, pada hal sampai pada saat itu gereja mengharamkan perempuan menyanyi di gereja. Maka baru setelah ada kesepakatan bahwa paduan suara perempuan disembunyikan di balik korden beledru hitam, upacara bisa dilaksanakan (30 Oktober 1849).

Diantara para penyanyi itu ada mezzo-soprano Pauline, sahabat George Sand dan Chopin. Juga seorang penyanyi bersuara bas Luigi Lablache yang pernah ikut menyanyikan karya yang sama untuk kematian Bellini (1835), Beethoven (1827) dan Haydn (1809). Lablache (1794-1858) baru lahir tiga tahun sesudah Mozart menciptakan karya tersebut atas pesanan seseorang yang misterius dan ternyata musik itu untuk kematian Mozart sendiri (baru kemudian diketahui bahwa pemesan yang misterius itu tidak lain dari komponis Salieri yang iri hati).

Surabaya 7 Desember 2010
Slamet Abdul Sjukur <[email protected]>

Catatan redaksi: Tulisan ini ditulis atas permintaan panitia Peringatan 200 Tahun Kelahiran Chopin sebagai materi ceramah yang disampaikan pada tanggal 9 Desember 2010 jam 19.30. Tahun 2010 merupakan peringatan kelahiran Chopin, dan dua komponis kita meninggal dunia pada tahun ini juga: Amir Pasaribu (1915-2010), dan cucunya Ben Pasaribu meninggal pada tanggal 26 Nopember lalu. Peringatan 200 Tahun Kelahiran Chopin yang diselenggarakan di Pusat Perfilman Usmar Ismail di jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta ini juga menghadirkan konser “Tiga Pianis Besar Indonesia”: Iravati M Sudiarso, Pujiwati Insia M Effendi dan Dr. Kuei Pin Yao.

Opera dan Film tentang CHOPIN

1901: opera (satu-satunya sampai sekarang) CHOPIN oleh Giacomo Orefice.

1945: film A SONG TO REMEMBER (sutradara?).

Tahun?: film Ingmar Bergmar AUTUMN SONATA

1975: film Ken Russel LISZTOMANIA.

1991: film IMPROMPTU (sutradara?) dan LA NOTE BLEUE (sutradara?)

2002: film CHOPIN, DESIRE OF LOVE (sutradara?)

The International Fryderyk Chopin Piano Competition

Sejak 1927 diselenggarakan sayembara internasional untuk memainkan karya-karya piano Chopin. Penggagasnya: Jerzy Zurawlew seorang komponis, pianis dan pendidik. Diselenggarakan setiap lima tahun: 1932, 1937 penyelenggaranya Sekolah Tinggi Musik dan Masyarakat Warsawa. Selama Perang Dunia II, sayembara tersendat Baru bisa diteruskan 1949 dan 1955 dengan bekerjasama dengan Kementerian Kebudayaan. Selanjutnya diselenggarakan secara teratur setiap lima tahun

21 Oktober 2010 yang baru lalu diselenggarakan kompetisi yang ke-16 sebagai puncak peringatan 200 TAHUN KELAHIRAN CHOPIN. Pesertanya 148 orang. Penghargaan tertinggi diberikan pada Yuliana Avdeeva (usia 25 tahun berkebangsaan Rusia). Penghargaan kedua pada dua orang Lukas Geniuses (25 th, Rusia) dan Ingolf Wunder (20th, Austria). Penghargaan ketiga pada Daniil Tritonof (Rusia). Penghargaa keempat pada Evgene Bozhanov (Bulgaria).

Nama CHOPIN

The Internatinal Fryderyk Chopin Piano Competition

Grand Prix du Disque de F.Chopin

Fryderyk Chopin Society

Fryderyk Chopin Musium (di bekas istana Ostrogsky di Warsawa)

Frydery Chopin University

Warsawa Chopin Airport

Asteroid 3784 Chopin

Sumber

1. Jean-Jacques Eigeldinger, “CHOPIN: Pianist and Teacher As Seen by His Pupils”, (Cambridge University Press, ISBN 0-521-36709-3),

2. Tad Zulc, “CHOPIN IN PARIS: The Life And Times of Romantic Composer”, (Scribner, N.Y.,ISBN 0-684-82458-2),

3. Hans Werner Wuest, “Frédéric CHOPIN, Briefe und Zeitzeugnisse”, (Classic-Concerts-Verlag, Köln, ISBN 3-8311-0066-7),

4. David Dubal, EVENINGS WITH HOROWITZ, A Personal Portrait, (A Birch Lane Press Book ISBN 1-55972—094-8)

5. André Maurois, “LEILA, La Vie de George Sand”, (Librairie Gallimard, Paris)

6. Encyclopædia Britanica 2005,

7. Google

Slamet Abdul Sjukur

Sumber foto: Slamet A Sjukur

Pengalaman a.l.

2010: Dengan dukungan Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, bersama para pakar THT, Akustik dan sejumlah aktivis, mendirikan MASYARAKAT BEBAS-BISING.

2006-09: Dosen Pascasarjana UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Bandung.

2001-06: Dosen Pascasarjana INSTITUT SENI INDONESIA, Surakarta.

2000-~: Anggota AKADEMI JAKARTA.

1981-83: Dekan Fakultas Musik INSTITUT KESENIAN JAKARTA.

1976-87: Dosen IKJ (Harmoni, Kontrapung, Analisa dan Komposisi).

1962-76: Tinggal di Paris; Belajar di Conservatoire National Superieur de Musique de Paris (Chambure dan Messiaen), Ecole Normale de Musique de Paris (Gentil, Dandelot dan Dutilleux) dan Groupe de Recherches Musicales O.R.T.F. (Schaeffer).

1957: Pendiri PERTEMUAN MUSIK SURABAYA (berdiri selama 25 tahun s/d 1982 dengan anggota 1300 orang, bangkit kembali sejak 2006- ….).

Karya-karya Musik

Dilindungi Badan Hak Cipta Perancis SACEM sejak 1968.

Disimpan di SACEM (Société d’Auteurs, Compositeurs et Editeurs de la Musique, Paris), CDMC (Centre de Documentation de la Musique Contemporaine, Paris), RTF (Radio et Télévision Française, Paris), ARION (Paris), WERELD OMROEP (Radio Belanda, Hilversum), AMERICAN GAMELAN INSTITUTE (California)

Penghargaan a.l.

2000: Officier de l’Ordre des Arts et des Letters (Perancis).

1998: Millenium Hall of Fame (American Biographical Institute).

1996: Pioneer of Alternative Music (GATRA magazine, Jakarta).

1983: Médaille Commémoratif Zoltan Kodaly (Hungaria).

1975: Golden Record of Academie Charles Cros (Perancis).

Artikel lainnya: M U S I K, Bisa Dipegang Hidungnya?

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. salut buat DGI & artikel tentang Chopin ini, menggelitik seluruh indera.

  2. I love Chopin, the most. The music arrangement of chopin wasn’t unbound, extraordinary and out of mind. He was different and broke up the rules. The music is full of momentum, movement, and have a nice bounce between the tones. He knew his own character and hold the unique. That’s why he was different. ;)

    Thanks for sharing, DGI…Slamet A. Sjukur have a great opinion and love to share any knowledge to everyone.

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly