Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Bermain sebagai ‘Terapi’ dalam Menemukan Kebahagiaan: Wawancara bersama Irwan Ahmett

Irwan Ahmett pada Play #5: Jakarate. Courtesy of Irwan Ahmett.

Berkaitan dengan pameran online Irwan Ahmett dan Tita Salina di DGI bertema urban play yang akan berlangsung sembilan kali hingga akhir Juli ini, DGI mengadakan wawancara bersama Irwan Ahmett yang hasilnya bisa diikuti di bawah ini:

Oleh Hanny Kardinata

1. Apakah ‘bermain’ di sini anda maksudkan sebagai suatu mentalitas?

Mentalitas itu kata yang paling tepat namun dalam pikiran saya (yang sering main-main ini), sepertinya ‘bermain’ sekarang lebih cocok untuk dijadikan sebuah ideologi baru setelah modernism yaitu; ‘Playism’.

2. Mengapa bermain menjadi penting?

Bermain adalah proses alami yang tidak dihilangkan oleh panjangnya evolusi, lihat saja anak kecil yang hidup sangat bahagia, tumbuh riang dan sangat kreatif dengan daya imajinasi luar biasa, berlari, berteriak, tertawa, berjalan mundur atau mencoret-coret wajahnya sendiri. Namun seiring waktu berjalan, bermain dihilangkan oleh banyak hal; aturan orang tua, sekolah, bahkan lingkungan. Padahal bermain adalah salah satu cara merasakan kebahagiaan alami dari diri kita sendiri.

3. Bagaimana pandangan anda pada jenis-jenis permainan yang menjadi terlalu serius seperti misalnya catur, sepak bola dll? Menyimpang dari hakekatnya?

Begitulah industri, penggerak pendulumnya selalu mengarah kepada banyak kepentingan, tidak ada yang salah tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Namun seperti sudah dikatakan di judul pameran ini; Hidup jangan terlalu serius! Apalagi bermain :-D

4. Bagaimana anda melihat kehidupan di dalam kota modern dalam kaitannya dengan aktivitas bermain?

Secara hirarki, bermain selalu membutuhkan media dan ruang, namun saat ini tempat untuk bermain di perkotaan kian mahal dan sulit ditemukan, khususnya di Jakarta. Wahana dan ruang publik tidak menjadi prioritas Negara, sehingga permainan hanya dapat dilakukan dengan cara yang pasif atau membutuhkan biaya yang mahal. Padahal kurang bermain dapat mengakibatkan kita stress, lihatlah sekarang kota Jakarta pun menjadi kota yang stress!

5. Apakah anda melihat bahwa aktivitas bermain semakin berkurang seiring dengan kemajuan zaman?

Secara ‘fisik’ bermain tidak pernah hilang, industri game misalnya menjadi bisnis yang menguntungkan, lihat saja jutaan pengunduh aplikasi iPhone dengan karakteristiknya yang sangat playful membuat Apple menancapkan kukunya di lahan baru smartphone, atau rental Playstation terus tumbuh subur di desa-desa. Hal ini memunculkan dilema bahwa permainan pada akhirnya menjadi komoditas yang menyedot banyak waktu dan uang, padahal untuk bermain kita dapat melakukannya dimana saja dengan benda apa saja! Bahkan hanya dengan selembar kertas.

6. Apakah kaitan gagasan ini dalam konteks sosial masyarakat modern?

Masyarakat modern kerapkali membutuhkan banyak pembenaran dalam hidupnya, hal ini membuat pikiran menjadi terbelenggu dengan banyak kegelisahan yang tidak perlu, seperti makan ini…takut sakit, pakai barang itu…tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya bahkan ditingkat masyarakat yang lebih rendah kerapkali mereka berada dalam tekanan hidup yang berlipat, disini saya ingin menawarkan sebuah gagasan, bahwa bermain bisa menjadi sebuah ‘terapi’ dalam menemukan kebahagiaan, jika ternyata aktifitas tersebut bisa dimaknai lebih jauh misalnya berubah menjadi kritik sosial itu merupakan sebuah ‘bonus’ besar!

7. Mungkinkah mentalitas bermain bisa selalu dikedepankan oleh seorang desainer dalam menghadapi pekerjaannya, misalnya ketika memikirkan solusi bagi problematika kliennya?

Tentu saja, desain yang dikerjakan dengan perasaan yang bahagia dan menyenangkan akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa, melihat karya-karya Henricus dengan logo-logonya yang modern dan humanis mampu membuat saya bahagia, saya yakin itu semua dikerjakan dengan semangat ‘bermain’ yang melimpah, ataupun melihat kegilaan duo Benny Mice (sekarang jadi Mice saja) ‘memainkan’ potret kehidupan kaum urban, mampu membuat seisi rumah saya tertawa.

8. Bagaimana anda memaknai tanggung jawab sosial anda (designer’s social responsibility) pada karya-karya anda?

Karya desain saya dalam beberapa tahun terakhir menjadi ‘terlalu sosial’, kerapkali saya ditegur oleh Salina (partner dan istri saya): ‘kalo maen-maen terus kapan cari duitnya?’

Jadi tolong kepada para desainer yang membaca tulisan ini untuk memberi saya saran, misalnya bagaimana agar menjadi desainer yang lebih menguntungkan hahahaha….

9. Apa yang anda harapkan sebagai hasil akhir dari permainan “Urban Play” ini?

Harapan sederhana: Terinspirasi dan memberi inspirasi!

10. Anda memakai kota Jakarta sebagai lahan bermain anda, di akhir proyek ini apakah ada suatu harapan yang ingin disampaikan kepada pemerintah kota DKI?

Pemerintah DKI selalu memiliki cara pandang yang berbeda dengan rakyatnya, saya kesulitan untuk memahami apa yang ada dalam benaknya. Sebenarnya mereka tetap manusia dan harusnya masih punya hati nurani, namun ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan visinya merupakan kegagalan dalam merancang kompleksnya struktur megapolitan seperti Jakarta. Misalnya saja dengan project urban play ini bila saya berhasil mengumpulkan sejuta orang untuk protes, tetap saja mereka akan menutup telinga dan mata. Jika kita ibaratkan Pemerintah adalah orang tua maka rakyat adalah anaknya, si anak bisa melakukan protes apa saja; bolos sekolah, mengkritik, mentertawakan, menangis, namun si orang tua cuek bebek melenggang dengan rencana dan ambisinya yang absurd, satu-satunya cara yang harus ditempuh adalah dengan mengganti ‘hati nuraninya’ karena sungguh mereka adalah orang tua yang sangat buruk, menyedihkan, narsis dan tidak layak ditiru.

Jakarta, 28 Juli 2010

Artikel-artikel terkait:

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. Salah satu bentuk “main-main” dalam kreativitas adalah mereka yang berkelompok dalam grup musik. Mereka hanya mencoba dan mencoba berkumpul, merangkai susunan nada A..,Dm…, G…, terjadilah kreativitas yang mengarah kepada nilai produktivitas yang menghasilkan.

    Dibeberapa daerah jika mainan musik itu me-ngena ke kuping maka munculah RBT, entah dari siapa mulanya. Selanjutnya bermain-main didepan kamera (video klip). Lambat laun mainan itu telah banyak bermunculan.

    Main-main itu seperti juga media, dimana seseorang atau kelompok dapat menciptakan aktualisasi ditengah berbagai himpitan. Dinamika kreativitas itu akan muncul dengan sendirinya atau memang sengaja dibuat untuk mencari bentuk.

    Main main yoo…?

    Trims Mas Hanny Kardinata


    De Maulana Anggakarti

  2. menarik sekali. kembali kasih bung deden… kapan berbagi tulisan untuk komunitas desain melalui DGI? :-)

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly